Memori Orang Papua tentang 1 Mei adalah ingatan penderitaan karena
sejak saat itulah sejumlah kekerasan dan penindasan terus terjadi.
Itulah ingatan 1 Mei 1962, penyerahan Papua dari tangan United Nations
Temporary Executive Authority( Untea) ke Indonesia.
Setiap
tahun Warga Papua memperingati 1 Mei sebagai hari Indonesia berhak
memerintah di daerah Papua yang menurut orang Papua adalah hari aneksasi
Papua ke Indonesia. Untuk memperingati hari tersebut pada tahun ini
Kepolisian Daerah Papua tidak memberikan izin kepada Orang Papua untuk
melakukan aksi. Namun sejumlah orang Papua yang tergabung dalam gerakan
perjuangan Papua untuk independen seperti Komite Nasional Papua Barat
(KNPB) bertekad akan tetap menggelar demo pada Selasa (1/5) .
Dalam
ingatan orang Papua penyerahan Papua ke Indonesia diawali dengan
perjanjian New York antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian
tersebut tidak melibatkan orang Papua untuk ambil bagian menentukan masa
depan tanah dan nasib orang Papua. Walaupun saat itu Pemerintah Belanda
terus berusaha mempertahankan kuasanya atas Papua serta membentuk
pemerintahan Papua sendiri.
Penyerahan tanah Papua ke
Indonesia ini terjadi pada tanggal 1 Oktober 1962, ketika United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) mengambil alih dari Belanda yang
terus mempersiapkan Papua.
Mengapa perjanjian untuk
menentukan masa depan Papua antara Belanda dan Indonesia dilaksanakan di
Amerika? Jawabannya karena Amerika tertarik dengan adanya penemuan
tambang Emas dan Tembaga terbesar di dunia di daerah Papua. Amerika
sangat berambisi untuk mengambil sumbar daya alam dari wilayah sengketa
tersebut.
Dasar pijakannya adalah,Presiden Amerika saat
itu John F Kennedy berpandangan bahwa akrabnya Soekarno dengan Komunis
bukan soal ideology Komunis tetapi Soekarno saat itu membutuhkan
bantuan senjata dan ekonomi. Sehingga Departemen Luar Negeri di Amerika
Serikat mengakui bahwa Sukarno lebih nasionalis ketimbang Komunis.
Namun
sengketa Irian Barat menimbulkan dilema bagi Amerika. Satu sisi Belanda
adalah sekutu dekat, di sisi lain Amerika pun tengah berusaha
menggandeng Indonesia. Akhirnya, Kennedy menekan Belanda di belakang
layar untuk mundur dari Irian Barat. Mundurnya Belanda membuat
perjanjian kerjasama Freeport dengan East Borneo Company mentah kembali.
Berdasarkan
penyerahan Papua ke Indonesia oleh Untea, maka niat Amerika untuk ambil
emas Papua semakin mulus. Amerika tidak lama menunggu, lima tahun
kemudian tepatnya 1967 Amerika dan Indonesia menandatangani kontrak
ambil emas di Papua. ketika UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss, dan didektekan oleh
Rockefeller, disahkan tahun 1967. Tentu untuk kedua kalinya orang Papua
tidak dilibatkan lagi. Padahal areal operasi tambang ini di Papua.
Konsekuensi
kontrak kerja antara Amerika dan Indonesia akhirnya Act of Free Choice
atau Penentuan Pendapat Rakyat Papua ( Pepera) terjadi semacam simbolis
untuk mempertegas kontrak yang sudah terjadi dua tahun sebelum
pelaksanaan Pepera tahun 1969.
Melihat skenario balas jasa
antara Indonesia dan Amerika yang mengabaikan keterlibatan Orang Papua
maka orang Papua hendak menggugat sejarah Pepera yang menjadi simbolis
penyerahan secara resmi dari Untea ke Indonesia.
Adalah
International Lawyer for West Papua (ILWP) di London, Inggris juga
adanya peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat
Australia-Pasifik adalah upaya untuk mempersoalkan scenario penyerahan
Papua ke Indonesia.
Dukungan bahwa 1 mei 1962 tak
demokratis dating dari Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota
Kongres Amerika. Pada 14 Februari 2008, telah melayangkan surat kepada
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, “…Referendum
(PEPERA 1969) bagi orang Papua tidak pernah dilaksanakan.
Sebelumnya
Pada 19 Juli 2002 silam, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan
kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi
Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA 1969 lebih daripada
lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa
Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada
pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk
asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia.
Pada
31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West
Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan
PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib
sendiri orang-orang. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada Pemerintah
Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang
menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan
pengabsahan PEPERA 1969.
Menaggapi adanya upaya
mempertanyakan sejarah 1 mei 1962 silam, Satu pelaku peserta
pelaksanaan Pepera, Ramses Ohe berpendapat Pepera Tahun 1969 tidak bisa
diganggu gugat lagi. Bisa saja diperdebatkan proses 1 Mei 1962 dan dapat
dibawa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), namun
ingat boleh yang membawa harus sebuah Negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Papua bukan sebuah Negara anggota PBB.
Saat
ini Papua telah menjadi bagian Pemerintah Indonesia sejak 1969 sehingga
orang Papua perlu dilibatkan dalam berbagai kebijakan Negara untuk
pembangunan Papua karena sejak Papua masih dalam Pemerintah Belanda
misalnya Konfrensi Meja Bundar dan Perjanjian New York, Papua dalam
pemerintahan orde Lama, Orde Baru, Orde reformasih seperti undang-undang
Otonomi Khusus hingga kini adanya kebijakan Unit Percepatan Pembangunan
Papua (UP4B) terus tidak melibat orang Papua.
Jika
Pemerintah dalam mengambil kebijakannya selalu terus tidak melibatkan
orang Papua maka tentu penolakan orang Papua terhadap kebijakan Negara
serta orang Papua tidak merasakan bagian dari Indonesia terus akan ada.
Oleh: John Pakage (Facebook)
0 komentar:
Posting Komentar