Perempuan Papua: Ekspresi perlawanan melalui cara berpakaian adat |
Setiap tanggal 25 November, Perempuan di
dunia memperingati hari internasional anti kekerasan terhadap perempuan.
Dimana, pada tanggal 25 November tahun 1960 di Republika Dominika,
aktivis perempuan, kakak beradik keluarga Mirabal (Minerva, Patricia dan
Maria Theresa) disiksa dan dibunuh secara keji oleh kaki tangan
penguasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Presiden
Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak
henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol
perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu
itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa
yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut.
Tahun 1981 Kongres Feminis Latin Amerika
dan Kepulauan Karibia mencatat dan memberi tekanan mengenai peristiwa
itu. Kongres ini kemudian menyatakan bahwa kekerasan yang didasarkan
pada jenis kelamin dan gender terjadi. Saat itu yang menjadi perhatian
di antaranya adalah pemukulan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kongres
Feminis itu kemudian memutuskan untuk mengenang 25 November sebagai Hari
lnternasional anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kemudian, di tahun 1993, Kongres Feminis
lnternasional mencanangkan bahwa setiap tahunnya selama 16 hari mulai 25
November hingga 10 Desember sebagai masa kampanye penghapusan kekerasan
terhadap perempuan. Kampanye 16 hari ini merupakan aksi internasional
untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di
seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di
Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.
Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global
Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s
Global Leadership. Aksi 16 hari dengan rentang waktu antara 25 November
sampai 10 Desember tersebut sengaja ditentukan untuk menghubungkan
secara simbolik peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan
dengan hari HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Di Papua, kekerasan terhadap perempuan
masih saja terjadi, baik secara fisik maupun non-fisik. Apakah
kekerasan yang dilakukan oleh negara, kekerasan rumah tangga atau
kekarasan dalam bentuk lainnya. Jika melihat dari aspek kebudayaan, hal
ini terkait erat dengan budaya patriarki di Indonesia dan khususnya yang
masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat Papua. Ini merupakan
salah satu faktor bagi langgengnya kekerasan terhadap perempuan dan
ketidakadilan gender secara umum.
Untuk soal ketidakadilan gender, dapat
kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan
bernegara. Misalnya, adanya pembagian-pembagian peran sosial-politik
berdasarkan jenis kelamin atau adanya pandangan bahwa hanya laki-laki
saja yang bisa memegang jabatan tertentu. Ironisnya, seringkali kita
menyaksikan bahwa dalam proses perjuangan pembebasan nasional, hal ini
juga terjadi. Misalnya, biasanya dalam organisasi, perempuan hanya
diberikan tugas pada bidang keuangan, kesekretariatan atau logistik
(urusan dapur) saja. Perempuan tidak diberikan ruang untuk memimpin
rapat-rapat atau terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan
tertinggi dalam sebuah organisasi.
Nah, pola pikir atau pandangan macam ini
harus berubah, baik di kepala kaum perempuan maupun laki-laki, sebab
ini bentuk ketidakadilan. Patriarki adalah nilai-nilai lama yang
mewakili sisistem feodalisme, dimana kaum perempuan masih diberikan
tempat nomor dua atau masih berada di bawah laki-laki, atau secara lebih
sadis lagi dianggap barang. Penghapusan tindak kekerasan bagi
perempuan, sistem patriarki dan bentuk ketidakadilan gender lainnya
harus menjadi bagian dari program perjuangan kita, apalagi dalam konteks
pembebasan nasional.
Karena itu pasti dibutuhkan pembangunan
organisasi sebagai alat perjuangan bagi tercapainya penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Organisasi perempuan
dimaksud, harus berperan juga untuk mendorong kaum perempuan berpikir
kritis mengenai persoalan-persoalan sekitarnya serta memahami akar
persoalannya. Tidak hanya berwacana, mengetahui persoalannya, akan
tetapi juga harus berpraktek untuk membesarkan organisasi perempuan.
Sejalan dengan itu, potensi bagi pembangunan organisasi perempuan harus
ada di tiap basis (sektoral) dalam masyarakat sehingga perempuan yang
kritis dan sadar akan ketertindasannya akan memperkuat perjuangan sektor
dan rakyat secara keseluruhan.
Demi memerangi kekerasan terhadap
perempuan, sekali lagi perlu di garis bawahi, aktivis perempuan wajib
turun ke basis-basis massa rakyat dan secara bersamaan mengorganisir
kaum perempuan yang tertindas. Dengan turun ke basis kita akan lebih
mengetahui dan mengenal situasi massa. Bekerja ditengah massa sambil
memberikan arah atau perspektif perjuangan pembebasan perempuan.
Dalam hemat kami, pembangunan organisasi
perempuan ini berperan penting dalam memajukan kesadaran laki-laki dan
perempuan. Karena itu, pendidikan politik yang berperspektif keadilan
gender bagi perempuan maupun laki-laki harus menjadi program organisasi
ini. Sehingga suatu saat, perempuan Papua tidak lagi sebagai sasaran
korban kekerasan kaum laki-laki, tidak termarginalkan (dalam bidang
politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan) dan menjadi lebih produktif
dalam memajukan peri kehidupan rakyat-bangsa Papua. (Sasori86)
Sumber:http://wenebuletin.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar