Home » » Perjuangan Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan Papua, Butuh Organisasi Yang Solid

Perjuangan Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan Papua, Butuh Organisasi Yang Solid

Unknown | 10.17 | 0 komentar

Perempuan Papua: Ekspresi  perlawanan melalui cara berpakaian adat
Perempuan Papua: Ekspresi perlawanan melalui
cara berpakaian adat
Setiap tanggal 25 November, Perempuan di dunia memperingati hari internasional anti kekerasan terhadap perempuan. Dimana, pada tanggal 25 November tahun 1960 di Republika Dominika, aktivis perempuan, kakak beradik keluarga Mirabal (Minerva, Patricia dan Maria Theresa) disiksa dan dibunuh secara keji oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Presiden Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut.
Tahun 1981 Kongres Feminis Latin Amerika dan Kepulauan Karibia mencatat dan memberi tekanan mengenai peristiwa itu. Kongres ini kemudian menyatakan bahwa kekerasan yang didasarkan pada jenis kelamin dan gender terjadi. Saat itu yang menjadi perhatian di antaranya adalah pemukulan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kongres Feminis itu kemudian memutuskan untuk mengenang 25 November sebagai Hari lnternasional anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kemudian, di tahun 1993, Kongres Feminis lnternasional mencanangkan bahwa setiap tahunnya selama 16 hari mulai 25 November hingga 10 Desember sebagai masa kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kampanye 16 hari ini merupakan aksi internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.       Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Aksi 16 hari dengan rentang waktu antara 25 November sampai 10 Desember tersebut sengaja ditentukan untuk menghubungkan secara simbolik peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan dengan  hari HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Di Papua, kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi, baik secara fisik maupun non-fisik. Apakah  kekerasan yang dilakukan oleh negara, kekerasan  rumah tangga atau kekarasan dalam bentuk lainnya. Jika melihat dari aspek kebudayaan, hal ini terkait erat dengan budaya patriarki di Indonesia dan khususnya yang masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat Papua. Ini merupakan  salah satu faktor bagi langgengnya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender secara umum.
Untuk soal ketidakadilan gender, dapat kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Misalnya, adanya pembagian-pembagian peran sosial-politik berdasarkan jenis kelamin atau adanya pandangan bahwa hanya laki-laki saja yang bisa memegang jabatan tertentu. Ironisnya, seringkali kita menyaksikan bahwa dalam proses perjuangan pembebasan nasional, hal ini juga terjadi. Misalnya, biasanya dalam organisasi, perempuan hanya diberikan tugas pada bidang keuangan, kesekretariatan atau logistik (urusan dapur) saja. Perempuan tidak diberikan ruang untuk memimpin rapat-rapat atau terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan tertinggi dalam sebuah organisasi.
Nah, pola pikir atau pandangan macam ini harus berubah, baik di kepala  kaum perempuan maupun laki-laki, sebab ini bentuk ketidakadilan. Patriarki adalah nilai-nilai lama yang mewakili sisistem feodalisme, dimana kaum perempuan masih diberikan tempat nomor dua atau masih berada di bawah laki-laki, atau secara lebih sadis lagi dianggap barang. Penghapusan tindak kekerasan bagi perempuan, sistem patriarki dan bentuk  ketidakadilan gender lainnya harus menjadi bagian dari program perjuangan kita, apalagi dalam konteks pembebasan nasional.
Karena itu pasti dibutuhkan pembangunan organisasi sebagai alat perjuangan bagi tercapainya penghormatan, perlindungan  dan pemenuhan hak-hak perempuan. Organisasi perempuan dimaksud, harus berperan juga untuk mendorong kaum perempuan berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan sekitarnya serta memahami akar persoalannya. Tidak hanya berwacana, mengetahui persoalannya, akan tetapi juga harus berpraktek untuk membesarkan organisasi perempuan. Sejalan dengan itu, potensi bagi  pembangunan organisasi perempuan harus ada di tiap basis (sektoral) dalam masyarakat sehingga perempuan yang kritis dan sadar akan ketertindasannya akan memperkuat perjuangan sektor dan rakyat secara keseluruhan.
Demi memerangi kekerasan terhadap perempuan, sekali lagi perlu di garis bawahi, aktivis perempuan wajib turun ke basis-basis massa rakyat dan secara bersamaan  mengorganisir kaum perempuan yang tertindas. Dengan turun ke basis kita akan lebih mengetahui dan mengenal situasi massa. Bekerja ditengah massa sambil memberikan arah atau perspektif perjuangan pembebasan perempuan.
Dalam hemat kami, pembangunan organisasi perempuan ini berperan penting dalam memajukan kesadaran laki-laki dan perempuan. Karena itu,  pendidikan politik yang berperspektif keadilan gender bagi perempuan maupun laki-laki harus menjadi program organisasi ini. Sehingga suatu saat, perempuan Papua tidak lagi sebagai sasaran korban kekerasan kaum laki-laki, tidak termarginalkan (dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan) dan menjadi lebih produktif dalam memajukan peri kehidupan rakyat-bangsa Papua.  (Sasori86)



Sumber:http://wenebuletin.wordpress.com/
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger