Home » » Selingkuh Agama dan Politik Dalam Budaya Cargoisme Papua

Selingkuh Agama dan Politik Dalam Budaya Cargoisme Papua

Unknown | 09.36 | 0 komentar
Salah satu fakta budaya (cultural) yang penting untuk di cermati dari orang Papua terkait dengan fenomena sosial politik adalah spirit gerakan Cargo Cults atau Cargoisme yang masing populer di Tanah Papua hingga kini. Jhon G. Strelan dan Jan Godschalk, kedua antropolog barat yang pernah mengamati fenomena ini mendefinisikan Cargo Cults atau Kultus Cargo sebagai gerakan-gerakan yang terkait dengan penggunaan ritus, doktrin-doktrin religi dan magis untuk mencapai tujuan/harapan suatu masyarakat.
Dalam karya mereka tentang “ Cargoism in Melanesia, 1989, “dijelaskan bahwa kultus kargo berarti semua gerakan yang mendambakan kedatangan kekayaan baik materi maupun rohani dengan cara apapun. Meski prakteknya tidak memenuhi pandangan kriteria barat karena dianggap tidak realistis dan rasional. Sebab kargosime lebih menunjuk pada doktrin-doktrin kargo, ideologi, mitos-mitos atau filsafat kargo. Sebagai refleksi atas masalah kultus kargo dan pengaruhnya terhadap ajaran Kristen di Papua, Pdt. Benny Giay, dalam karya berjudul “ Kargoisme di Irian Jaya, 1986, “ juga menjelaskan bahwa prinsip-prinsip kargoisme berhubungan dengan harapan dan impian masyarakat untuk mendapatkan sesuatu.
Ini berkaitan dengan kerinduan mengenai datangnya jaman bahagia. Impian itu menurut Giay dapat berupa perolehan pengakuan, status, kekayaan, materi, kedamaian dan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1860-an, para penjelajah Tanah Papua juga pernah melaporkan bahwa gerakan-gerakan kargoisme telah lama ada sangat erat dengan kepercayaan tradisional suku-suku asli di negeri ini. Jhon Strelan mencatat sekitar 200 gerakan yang berbaur kargoisme telah terjadi di berbagai tempat di Papua hingga tahun 2000. Sejak kontak awal orang Papua dengan pendatang melalui jalur pelayanan misionaris dan perluasan wilayah kekuasaan dengan penempatan pejabat pemerintah, gerakan ini semakin subur dalam mengembangkan bentuk-bentuk barunya yang berorientasi pada kekayaan materi produksi Eropa dan Amerika Serikat.
Dari hasil penelitian para antropolog dan teolog selanjutnya mengungkapkan bahwa sebagian besar kelompok suku-suku bangsa di Tanah Papua memiliki tradisi cultus cargo. Pada suku Biak, misalnya, gerakan kargoisme yang terkenal dinamakan gerakan Korery. Orang Dani di Pegunungan Tengah Papua dengan Nabelan Kabelan, sementara orang Amungme di Timika mempunyai Hai. Pada orang Moni mempunyai Hazi, orang Komoro di wilayah Pantai selatan Papua juga memiliki Otepe, orang Muyu juga mempunyai Ot. Sedangkan masyarakat May Brat di wilayah Sorong kepala burung Papua juga mengenal Wian-Wofle, yaitu suatu inisiasi tradisional yang dianggap memiliki pengaruh spritual, bersifat sakral dan magis.
Uniknya, kepercayaan-kepercayaan tradisional semacam ini masih di pegang kuat di kalangan generasi tua pada setiap suku-suku asli Papua yang pernah mempraktekannya. Bahkan kepercayaan trasional bermotif cultus cargo tersebut sering dikaitkan dengan Teologi Kristen. Karena itu, tak heran jika kini banyak kalangan terpelajar di Papua yang masih memegang prinsip-prinsip filosofi dari kepercayaan tradisional tersebut. Yang menarik adalah bahwa berbagai gerakan kerakyatan orang Papua yang menuntut kemerdekaan, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965 hingga masa Presidium Dewa Papua (PDP) pada tahun 2000, juga sering dikaitkan dengan spririt kargoisme.
Pengibaran bendera Bintang Kejora, misalnya, diperlakukan sebagai ritus untuk menyambut datangnya kemerdekaan.  Kibarannya dianggap sebagai panggilan suci pada leluhur. Mereka seakan-akan berdoa, “Datangnlah KerajaanMu, bebaskanlah kami dari peluru, sangkur dan bayomet. Suburkanlah kebunku dengan betatas dan keladi. Kembalikannlah hutannku agar sagu dan babi dan, rusa tersedia untuk kerabatku. Bersihkanlah sungaiku agar ikan,udang kembali melompat ke perahuku.” Antropolog Brian May yang pernah meneliti di Papua sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an, menyatakan bahwa kompleksitas dan karakteristik yang khas dari gerakan rakyat Melanesia tak dapat disebut semata-mata sebagai suatu gerakan politik atau gerakan perlawanan gerilya.
Bagi dia ini merupakan sesuatu yang secara psikologis jauh lebih kompleks dari apa yang bisa didefinisikan sebagai suatu gerakan poltik. OPM sudah dianggap suatu gerakan rakyat yang bersifat keagamaan (religi) yang isinya di jiwai suatu ideologi keselamatan, pembebasan dan pemakmuran melalui proses-proses yang bersifat gaib, yang model-modelnya terdapat dalam mitos-mitos. Menurut Brian May, pandangan yang begitu kental inilah yang sering dimanfaatkan para aktor OPM di awal 1970-an hingga sekarang untuk merekrut para simpatisannya. Dari hasil kajian seorang peneliti dari Universitas Cemderawasih bernama S.A. Patty, diketahui bahwa awalnya OPM dalam menggerakan perlawanan rakyat Papua sering menggunakan janji janji muluk bagi rakyat di kampung-kampung.
Janji-janji yang dimaksudkan sering dikaitkan dengan pandangan kargoisme sehingga mudah menarik simpati. Sementara, Muridan S. Widjojo, seorang peneliti Sospol dari LIPI mengungkapkan bahwa dari hasil wawancaranya dengan sejumlah masyarakat Amungme di Timika yang pernah aktif dalam OPM menunjukan bahwa motivasi perjuangan mereka dalam OPM lebih digerakan oleh aspirasi yang bersumber dari cargo cults. Pandangan Brian May ini mirip dengan seorang pendeta dan antropolog Belanda yang bertugas di Tanah Papua bernama Pdt. F.C. Kamma. Sebab, secara jelas terlihat bahwa gerakan OPM masih dilihat sebagai gerakan cargo cults.
Ini menunjukan bahwa salah strategi pimpinan dan pencinta OPM adalah memanfaatkan aspirasi-aspirasi kemakmuran dan keselamatan dalam mitos-mitos kargoisme untuk menarik hati rakyat. Sementara kelemahan dari strategi kargoistik sendiri bersifat mistik dan gaib dari proses kemerdekaan dan kemakmuran yang ingin di capai secara realita. Meskipun efektif untuk menarik minat rakyat di ampung-kampung, pendekatan ini menurut Muridan S. Widjojo hanya menjadi dasar affirmasi bagi mitos-mitos orang Papua mengenai jaman milenium baru. Sebagai pembelajaran sejarah terkait dengan gerakan ini, peristiwa Biak Berdarah dapat menjadi rujukannya. Dimana pada tanggal 2-6 Juli 1998, ketika dilakukan pengibaran bendera terlihat jelas bahwa aksi ini masih di jiwai oleh gerakan Koreri.
Selama lima hari orang Papua dengan berani mnempertaruhkan nyawa mereka demi mempertahankan bendera Bintang Kejora dengan melawan polisi dan tentara yang telah menekan mereka. Bendera saat itu sengaja dikibarkan di tempat yang tinggi, yaitu pada menara (tower) air kota Biak sehingga mudah terlihat dari laut. Ketika itu banyak simpatisan menyakini bahwa kapal induk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Sekertaris Jenderal PPB Kofi Annan akan datang untuk memberikan bantuan makanan, senjata dan memberikan kemerdekaan Papua. Namun, akhir dari perjuangan ini berujung pada kekerasan dan bentrokan berdarah.
Disini tampak bahwa gerakan kargoisme selalu gagal memenuhi keyakinan dan harapan secara realita. Namun, keyakinan akan penantian itu tidak pernah surut dan seakan dapat hidup kembali suatu saat. Aksi pendudukan dan pengibaran bendera Bintang kejora dilapangan terbang perintis Kapeso, Distrik Mamberamo Hilir, Kabupaten Mambermo Raya, pada13 Mei 2009 lalu, juga menjadi bukti bahwa cultus cargo pada masyarakat Papua masih ada. Peristiwa ini bermula dari ajaran bermotif Cargo Cults yang disampaikan Mama Nela Yansenen sehingga mempengaruhi masyarakat dan kelompok TPN/OPM pimpinan Decky Imbiri. Hasilnya, terjadi konsolidasi dan pengibaran bendera bintang kejora selama 2 bulan lebih yang berakhir dengan konflik berdarah antara masyarakat dan polisi.
Peristiwa ini pun mengandaskan harapan yang disandarkan pada kepercayaan cultus cargo. Sayangnya, peristiwa semacam itu belum mendorong rakyat Papua untuk memperoleh pemahaman baru dalam menerima suatu perjuangan politik yang lebih programmatik dengan pencapaian politik secara bertahap melalui perjuangan jangka panjang. Dengan begitu rakyat Papua tidak harus terus-menerus berharap pada janji-janji muluk dari kelompok perjuangan OPM yang bermotif  cargo cults. Karena tentu mereka akan kecewa karena dalam kurun waktu tertentu harapannya tidak kunjung tercapai. Disini bisa dimengerti mengapa orang Papua hari ini menjadi aktivis OPM, tapi karena suatu faktor tertentu di hari selanjutnya mereka kembali ke kota dan mendukung program pemerintah. Ini ironi tapi realita….! (Oleh : Hagana)

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger