Dalam karya mereka tentang “ Cargoism in
Melanesia, 1989, “dijelaskan bahwa kultus kargo berarti semua gerakan
yang mendambakan kedatangan kekayaan baik materi maupun rohani dengan
cara apapun. Meski prakteknya tidak memenuhi pandangan kriteria barat
karena dianggap tidak realistis dan rasional. Sebab kargosime lebih
menunjuk pada doktrin-doktrin kargo, ideologi, mitos-mitos atau filsafat
kargo. Sebagai refleksi atas masalah kultus kargo dan pengaruhnya
terhadap ajaran Kristen di Papua, Pdt. Benny Giay, dalam karya berjudul “
Kargoisme di Irian Jaya, 1986, “ juga menjelaskan bahwa prinsip-prinsip
kargoisme berhubungan dengan harapan dan impian masyarakat untuk
mendapatkan sesuatu.
Ini berkaitan dengan kerinduan mengenai
datangnya jaman bahagia. Impian itu menurut Giay dapat berupa perolehan
pengakuan, status, kekayaan, materi, kedamaian dan kehidupan yang lebih
baik. Pada tahun 1860-an, para penjelajah Tanah Papua juga pernah
melaporkan bahwa gerakan-gerakan kargoisme telah lama ada sangat erat
dengan kepercayaan tradisional suku-suku asli di negeri ini. Jhon
Strelan mencatat sekitar 200 gerakan yang berbaur kargoisme telah
terjadi di berbagai tempat di Papua hingga tahun 2000. Sejak kontak awal
orang Papua dengan pendatang melalui jalur pelayanan misionaris dan
perluasan wilayah kekuasaan dengan penempatan pejabat pemerintah,
gerakan ini semakin subur dalam mengembangkan bentuk-bentuk barunya yang
berorientasi pada kekayaan materi produksi Eropa dan Amerika Serikat.
Dari hasil penelitian para antropolog dan
teolog selanjutnya mengungkapkan bahwa sebagian besar kelompok
suku-suku bangsa di Tanah Papua memiliki tradisi cultus cargo. Pada suku
Biak, misalnya, gerakan kargoisme yang terkenal dinamakan gerakan
Korery. Orang Dani di Pegunungan Tengah Papua dengan Nabelan Kabelan,
sementara orang Amungme di Timika mempunyai Hai. Pada orang Moni
mempunyai Hazi, orang Komoro di wilayah Pantai selatan Papua juga
memiliki Otepe, orang Muyu juga mempunyai Ot. Sedangkan masyarakat May
Brat di wilayah Sorong kepala burung Papua juga mengenal Wian-Wofle,
yaitu suatu inisiasi tradisional yang dianggap memiliki pengaruh
spritual, bersifat sakral dan magis.
Uniknya, kepercayaan-kepercayaan
tradisional semacam ini masih di pegang kuat di kalangan generasi tua
pada setiap suku-suku asli Papua yang pernah mempraktekannya. Bahkan
kepercayaan trasional bermotif cultus cargo tersebut sering dikaitkan
dengan Teologi Kristen. Karena itu, tak heran jika kini banyak kalangan
terpelajar di Papua yang masih memegang prinsip-prinsip filosofi dari
kepercayaan tradisional tersebut. Yang menarik adalah bahwa berbagai
gerakan kerakyatan orang Papua yang menuntut kemerdekaan, seperti
Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965 hingga masa Presidium Dewa
Papua (PDP) pada tahun 2000, juga sering dikaitkan dengan spririt
kargoisme.
Pengibaran bendera Bintang Kejora,
misalnya, diperlakukan sebagai ritus untuk menyambut datangnya
kemerdekaan. Kibarannya dianggap sebagai panggilan suci pada leluhur.
Mereka seakan-akan berdoa, “Datangnlah KerajaanMu, bebaskanlah kami dari
peluru, sangkur dan bayomet. Suburkanlah kebunku dengan betatas dan
keladi. Kembalikannlah hutannku agar sagu dan babi dan, rusa tersedia
untuk kerabatku. Bersihkanlah sungaiku agar ikan,udang kembali melompat
ke perahuku.” Antropolog Brian May yang pernah meneliti di Papua sekitar
akhir 1960-an dan awal 1970-an, menyatakan bahwa kompleksitas dan
karakteristik yang khas dari gerakan rakyat Melanesia tak dapat disebut
semata-mata sebagai suatu gerakan politik atau gerakan perlawanan
gerilya.
Bagi dia ini merupakan sesuatu yang
secara psikologis jauh lebih kompleks dari apa yang bisa didefinisikan
sebagai suatu gerakan poltik. OPM sudah dianggap suatu gerakan rakyat
yang bersifat keagamaan (religi) yang isinya di jiwai suatu ideologi
keselamatan, pembebasan dan pemakmuran melalui proses-proses yang
bersifat gaib, yang model-modelnya terdapat dalam mitos-mitos. Menurut
Brian May, pandangan yang begitu kental inilah yang sering dimanfaatkan
para aktor OPM di awal 1970-an hingga sekarang untuk merekrut para
simpatisannya. Dari hasil kajian seorang peneliti dari Universitas
Cemderawasih bernama S.A. Patty, diketahui bahwa awalnya OPM dalam
menggerakan perlawanan rakyat Papua sering menggunakan janji janji muluk
bagi rakyat di kampung-kampung.
Janji-janji yang dimaksudkan sering
dikaitkan dengan pandangan kargoisme sehingga mudah menarik simpati.
Sementara, Muridan S. Widjojo, seorang peneliti Sospol dari LIPI
mengungkapkan bahwa dari hasil wawancaranya dengan sejumlah masyarakat
Amungme di Timika yang pernah aktif dalam OPM menunjukan bahwa motivasi
perjuangan mereka dalam OPM lebih digerakan oleh aspirasi yang bersumber
dari cargo cults. Pandangan Brian May ini mirip dengan seorang pendeta
dan antropolog Belanda yang bertugas di Tanah Papua bernama Pdt. F.C.
Kamma. Sebab, secara jelas terlihat bahwa gerakan OPM masih dilihat
sebagai gerakan cargo cults.
Ini menunjukan bahwa salah strategi
pimpinan dan pencinta OPM adalah memanfaatkan aspirasi-aspirasi
kemakmuran dan keselamatan dalam mitos-mitos kargoisme untuk menarik
hati rakyat. Sementara kelemahan dari strategi kargoistik sendiri
bersifat mistik dan gaib dari proses kemerdekaan dan kemakmuran yang
ingin di capai secara realita. Meskipun efektif untuk menarik minat
rakyat di ampung-kampung, pendekatan ini menurut Muridan S. Widjojo
hanya menjadi dasar affirmasi bagi mitos-mitos orang Papua mengenai
jaman milenium baru. Sebagai pembelajaran sejarah terkait dengan gerakan
ini, peristiwa Biak Berdarah dapat menjadi rujukannya. Dimana pada
tanggal 2-6 Juli 1998, ketika dilakukan pengibaran bendera terlihat
jelas bahwa aksi ini masih di jiwai oleh gerakan Koreri.
Selama lima hari orang Papua dengan
berani mnempertaruhkan nyawa mereka demi mempertahankan bendera Bintang
Kejora dengan melawan polisi dan tentara yang telah menekan mereka.
Bendera saat itu sengaja dikibarkan di tempat yang tinggi, yaitu pada
menara (tower) air kota Biak sehingga mudah terlihat dari laut. Ketika
itu banyak simpatisan menyakini bahwa kapal induk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Sekertaris Jenderal PPB Kofi Annan akan
datang untuk memberikan bantuan makanan, senjata dan memberikan
kemerdekaan Papua. Namun, akhir dari perjuangan ini berujung pada
kekerasan dan bentrokan berdarah.
Disini tampak bahwa gerakan kargoisme
selalu gagal memenuhi keyakinan dan harapan secara realita. Namun,
keyakinan akan penantian itu tidak pernah surut dan seakan dapat hidup
kembali suatu saat. Aksi pendudukan dan pengibaran bendera Bintang
kejora dilapangan terbang perintis Kapeso, Distrik Mamberamo Hilir,
Kabupaten Mambermo Raya, pada13 Mei 2009 lalu, juga menjadi bukti bahwa
cultus cargo pada masyarakat Papua masih ada. Peristiwa ini bermula dari
ajaran bermotif Cargo Cults yang disampaikan Mama Nela Yansenen
sehingga mempengaruhi masyarakat dan kelompok TPN/OPM pimpinan Decky
Imbiri. Hasilnya, terjadi konsolidasi dan pengibaran bendera bintang
kejora selama 2 bulan lebih yang berakhir dengan konflik berdarah antara
masyarakat dan polisi.
Peristiwa ini pun mengandaskan harapan
yang disandarkan pada kepercayaan cultus cargo. Sayangnya, peristiwa
semacam itu belum mendorong rakyat Papua untuk memperoleh pemahaman baru
dalam menerima suatu perjuangan politik yang lebih programmatik dengan
pencapaian politik secara bertahap melalui perjuangan jangka panjang.
Dengan begitu rakyat Papua tidak harus terus-menerus berharap pada
janji-janji muluk dari kelompok perjuangan OPM yang bermotif cargo
cults. Karena tentu mereka akan kecewa karena dalam kurun waktu tertentu
harapannya tidak kunjung tercapai. Disini bisa dimengerti mengapa orang
Papua hari ini menjadi aktivis OPM, tapi karena suatu faktor tertentu
di hari selanjutnya mereka kembali ke kota dan mendukung program
pemerintah. Ini ironi tapi realita….! (Oleh : Hagana)
0 komentar:
Posting Komentar