Home » » Uskup dan Presiden Bagi Rakyat Miskin Tertindas

Uskup dan Presiden Bagi Rakyat Miskin Tertindas

Unknown | 09.48 | 0 komentar
Fernando Armindo Lugo Méndez, Seorang Uskup yang kini menjadi Presiden bagi rakyat miskin Paraguay yang tertindas.   TEOLOGI Pembebasan  adalah sebuah dogma gereja yang mengajarkan tentang kemerdekaan sejati. Ini mengenai suatu indeologi tentang kemerdekaan yang diberikan Allah dan merupakan  rahasia satu-satunya kemerdekaan. Teologi yang mengajarkan pinsip-prinsip dan sifat Allah yang merdeka, mengasihi manusia dalam Yesus Kristus  dan memerdekakan manusia dalam segala bidang kehidupan – politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan agar manusia dapat  hidup dalam peri kemanusiaan sambil memuji dan memuliakanNya.
Teologi kemerdekaan yang dimaksud oleh Karl Barth sangat berbeda dengan teologi yang hanya bicara tentang neraka dan sorga yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kemerdekaan bukanlah semata-mata kebebasan memilih menurut kehendak hati,  melainkan kemerdekaan dari berbagai penindasan yakni perampasan tanah dan kekayaan alam, kekerasan, diskriminasi dan marginalisasi dan sebagainya yang dilakukan secara sistematis, sengaja maupun tidak sengaja, mengatas namakan negara, kelompok maupun individu yang merasa berkuasa.  Bukan juga Ideologi dunia merdeka yang lazim dijunjung tinggi  oleh orang–orang atau negara  yang berkuasa.  Kemerdekaan yang dimaksud lebih dari itu, merdeka sesungguhnya hidup bersama Allah dan sesama manusia dalam perikemanusiaan yang sejati.
Fernando Armindo Lugo Méndez  adalah orang yang menganut dan mempratekkan teologi pembebasan bagi “rakyat” di Paraguay. Pria kelahiran 30 Mei 1951 di  San  Solano,  Itapua, Paraguy ini menjabat sebagai kepala negara (presiden). Dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden 2008 dengan mengantongi suara 41 %. Sebelum terjun ke dunia politik, dia pernah menjadi uskup gereja Katolik Paraguay, kemudian mengundurkan diri dari kepemimpinan gereja untuk mencalonkan diri menjadi presiden atas permintaan dan desakan rakyat Paraguay.
Uskup ini dalam pelayanannya melihat persoalan umatnya secarah utuh, yakni mendalami persoalan-persoalan umatnya dari aspek politik, ekonomi dan budaya. Dia merupakan satu-satunya uskup yang menerapkan teologi pembebasan “teologi  kritis dan dialektik”. Dia benar-benar telah mendalami, merasakan dan juga mencari jalan keluar dengan cara memperjuangkan setiap hal yang menjadi persoalan umatnya.
Latar Belakang Fernando
Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas adalah seorang tokoh politik dari partai Colorado. Lugo juga memiliki latar belakang dari keluarga petani. Menamatkan pendidikan pada usia 17 tahun di sebuah sekolah milik Jesuit, kemudian bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion).
Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk Seminari. Hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengacara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977, ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun. Di tempat tersebut belajar banyak mengenai teologi pembebasan, sebuah cabang dari pemikiran Kristen yang berpendapat bahwa itu adalah misi gereja untuk melawan kemiskinan dan penindasan.
Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan keberpihakan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis, tetapi dia mengkongkritkan maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan berteori atau hanya bicara saja. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurutnya ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapisan bawah yang umumnya terlantar atau diterlantarkan.
Pada tahun 1987, kembali ke Paraguay kemudian mulai aktif membela kaum tertindas. Keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya Polisi rezim yang berkuasa meminta gereja untuk mengasingkannya. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar Licenciat dalam ilmu sosial. Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun dia menjabat sebagai uskup.
Konteks Persoalan Rakyat Paraguay
Paraguay memiliki tanah yang sangat luas, mulai dari Selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco Bolivia. Kenyataannya, tanah yang luas itu banyak  orang Eropa memiliki bersertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya lebih dari 80% sehingga dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri seperti saat ini dialami oleh rakyat Papua Barat.
Pendapatan utama negara ini bersumber dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk utama,  menyumbang lebih dari setengah hasil ekspornya, pada tahun 2007 mengjasilkan 2.390 juta dolar AS. Tingkat pertumbuhan ekonominya sebenarnya cukup baik, yaitu 6,4 persen per tahun. Jumlah penduduk hanya 6,5 juta jiwa, negara dengan luas wilayah 406.762 km persegi ini seharusnya bisa mensejahterakan rakyatnya. Namun karena negara menjual kepada pemilik modal dan dikuasai oleh kediktatoran selama 39 Tahun, korupsi dan nepotisme merajalela, dan lebih dari sepertiga penduduknya adalah petani tanpa tanah.
Paraguay memiliki dua perusahaan Hindricos, mengunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik di Brasil dan Argentina. Namun, banyak rakyat Paraguay  belum hidup dalam kegelapan, sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Kondisi ini menciptakan  Paraguai menjadi  negara paling miskin di kawasan Amerika Latin. Sekitar 60% warganya tergolong miskin, 32% berada dalam kemiskinan absolute. Masalah kesehatan, menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.
Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Mengorganisir petani dan bergabung dengan Ciudadana Resistencia (Perlawanan Sipil), sebuah serikat anti-Colorado partai politik dan organisasi sosial. Kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan  Partai Colorado  dan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang korupsi dan kekacauan ekonomi. Dia berjanji membersihkan korupsi dan mengangkat hak – hak penduduk asli Indian yang terpinggirkan.
Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup,  telah berteriak bersama umat, memperjuangkan hak-haknya yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri. Namun gerakan mobilisasi tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, seperti menghadapi tembok beton. Mekanisme korupsi sudah menjadi tradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem pemerintahan dan mengubah situasi  dari dalam.
Rakyat meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, Lugo mengajukan pengunduran diri sebagai uskup kepada Vatikan pada Januari 2005. Dia ingin terjun langsung dalam politik dan berjuang untuk mengatasi kemiskinan di negaranya. Paus Benediktus XVI terkejut saat mengetahui beberapa partai politik di Paraguay bermaksud mencalonkan Lugo sebagai kandidat dalam pemilihan Presiden. Namun permintaannya ditolak. Menurut Vatikan bila seseorang telah ditahbiskan menjadi pelayan Tuhan maka dia harus melaksanakan pengabdiannya seumur hidup hehingga menjadi presiden jelas melanggar tanggung jawab seorang uskup.
Hukum Kanon (kitab berisi dogma-dogma dalam Gereja Katolik) melarang para imam untuk berpartisipasi dalam partai politik maupun organisasi perburuhan.  Vatikan meminta agar, “dalam nama Yesus Kristus,” mempertimbangkan kembali apa yang telah dilakukannya. Kepala Konferensi Uskup Paraguay memperingatkan bahwa Lugo berisiko mendapat pengucilan. Lugo tetap mantap dengan pilihannya. “Saya mencintai gereja saya dan saya tidak ingin meninggalkannya. Saya memutuskan untuk melayani negara saya sebagai Presiden. Kalau ini mengganggu Bapa Suci, saya memohon pengampunannya,” kata Lugo. Atas pernyataannya ini ia terkena suspensi (sanksi berupa penghentian pelaksanaan tugas sebagai uskup yang ditahbiskan).
Tetapi pada Juli 2008, Vatikan mengubah keputusannya. Paus Benediktus XVI mengabulkan permohonannya untuk diberi status sebagai orang awam. Saat terpilih menjadi Presiden, mengangkat kakak Perempuannya Mercedes Lugo, untuk mendampinginya sebagai Ibu Negara Paraguay. Kemenangannya menjadi Presiden Paraguay menambah panjang barisan pemerintahan kiri di Amerika Latin.  Membawa Paraguay ke sistem soialisme, bergabung dengan Argentina, Brasil, Uruguay, Chili, Bolivia dan tentu saja Venezuela. Bersama 3 negara yang disebut pertama, Paraguay bergabung dalam grup perdagangan Mercosur. “Kemenangan Lugo segaris dengan iklim politik gerakan progresif di Amerika Latin,”
Lugo sering disebut ‘pastor merah’ atau ‘pastor si miskin’ lebih memilih disebut progresif dari pada Sosialisme. Perubahan yang dilakukan pertama kali saat menjabat sebagai presiden dengan menolak menerima gaji presiden bernilai 4.000 dolar AS atau sekitar Rp 37 juta per bulan. Gaji yang lebih rendah daripada gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkisar Rp 49 juta per bulan. Atau jauh lebih rendah dari gaji Presiden negara Indonesia sekitar Rp 62,5 juta per bulan.
Dia juga melakukan peningkatan pelayanan publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Dilakukan pula kontrol ketat atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah korupsi. Dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah, serta menciptakan kedaulatan energi. Presiden Lugo memiliki prinsip, “Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.’’.
Konteks  Teologi Pembebasan di Papua
Jika kita bertanya, apakah ada hamba Tuhan di Papua sama seperti Fernando?   Jawabanya tentu ada, mereka adalah  Dr. Benny Giay, Socrater Sofyan Yoman, Pater John Yonga, Pater Neles Tebay dan juga Uztad dan Haji Papua serta beberapa  pendeta yang lantang berbicara tentang penindasan dan perampasan hak rakyat Papua. Mereka adalah hamba Tuhan yang melihat umat manusia Papua dari semua aspek kehidupan,.Menerapkan teologi yang dialektis dan kritis, sesuai dengan kontek umat Papua supaya umat Tuhan di Papua tidak hanya bebas dari neraka tetapi bebas dari segala macam bentuk penindasan. Entah penindasan secara politik, ekonomi, budaya maupun secara rohani, sehigga terciptanya surga di bumi Papua.
Rakyat (umat) Papua membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memenuhi  rohani tetapi juga bisa  merasakan dan menjawab apa yang mereka rasakan. Mejadi pelopor seperti Lugo, seorang pemimpin yang mengorganisir basis dan turun ke kelas tertindas untuk memobilisasi massa dengan menjalankan prinsip – prinsip teologi pembebasan untuk melawan pihak rezim yang menindas dan merampas milik rakyat. Para hamba Tuhan yang tentunya memiliki basis (umat) yang besar. Dalam  konteks Papua, kaum yang tertindas adalah masyarakat adat, petani di kampung, peramu nelayan, kaum miskin kota, atau buruh yang berkumpul menjadi umat suatu gereja sehingga mereka punya tanggungjawab moral dan bagian dari misi gereja  untuk membebaskan umatnya dari segala  bentuk penindasan. Melakukan agitasi dan propaganda positif agar umatnnya bertindak menyuarahkan hak – hak mereka.
Sebaliknya, ada banyak Hamba Tuhan di Papua telah menyembunyikan kebenaran dibalik mimbar dan tidak melihat penderitaan umat secara menyeluruh. Mereka sebatas melihat jemaat dari perspektif persekutuan rohani semata. Ini terjadi karena  gerejanya dibangun dari uang pemerintah, atau dapurnya dijamin oleh uang persembahan para pejabat pemerintah. Mungkin karena diberi rumah dan kendaraan mewah, atau karena merasa umatnya sebagian besar adalah warga pendatang, sehingga takut berbicara mengenai keadilan bagi rakyat Papua. Atau jika Hamba TUHAN mengkritik pemerintah akan kehilangan semua yang di dapatkan.
Padahal, nilai kebenaran, keadilan dan perdamaian menembus semua perbedaan, suku, ras atau wilayah. Jika mimbar hanya berisi khotbah tentang sorga dan neraka tanpa melihat realita kehidupan umat, maka umat akan terus berada di lingkaran keterpurukan. Kekerdilan penafsiran mengenai keterlibatan gereja dan pendeta dalam politik adalah dosa, telah menjebak para pendeta (Hamba Tuhan) untuk tidak menyuarakan keadilan bagi rakyat Papua yang tertindas. Anehnya, mereka justru terkadang berpolitik dengan mengusung  calon gubernus, bupati/walikota di saat ada Pilkada. Ikut dalam pencalonan anggota parlemen hingga menerima uang  dan bantuan yang ternyata bermotif politik. Calon yang mereka dukung pun setelah berkuasa dalam pemerintahan yang menindas, ternyata tidak mampu menghapus penderitaan rakyat (umat) Papua. Inilah karakter para Hamba Tuhan kita hari ini…!!! (Igee-86 dan Saren).


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger