Teologi kemerdekaan yang dimaksud oleh
Karl Barth sangat berbeda dengan teologi yang hanya bicara tentang
neraka dan sorga yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kemerdekaan
bukanlah semata-mata kebebasan memilih menurut kehendak hati,
melainkan kemerdekaan dari berbagai penindasan yakni perampasan tanah
dan kekayaan alam, kekerasan, diskriminasi dan marginalisasi dan
sebagainya yang dilakukan secara sistematis, sengaja maupun tidak
sengaja, mengatas namakan negara, kelompok maupun individu yang merasa
berkuasa. Bukan juga Ideologi dunia merdeka yang lazim dijunjung
tinggi oleh orang–orang atau negara yang berkuasa. Kemerdekaan yang
dimaksud lebih dari itu, merdeka sesungguhnya hidup bersama Allah dan
sesama manusia dalam perikemanusiaan yang sejati.
Fernando Armindo Lugo Méndez adalah
orang yang menganut dan mempratekkan teologi pembebasan bagi “rakyat” di
Paraguay. Pria kelahiran 30 Mei 1951 di San Solano, Itapua, Paraguy
ini menjabat sebagai kepala negara (presiden). Dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilu presiden 2008 dengan mengantongi suara 41 %.
Sebelum terjun ke dunia politik, dia pernah menjadi uskup gereja Katolik
Paraguay, kemudian mengundurkan diri dari kepemimpinan gereja untuk
mencalonkan diri menjadi presiden atas permintaan dan desakan rakyat
Paraguay.
Uskup ini dalam pelayanannya melihat
persoalan umatnya secarah utuh, yakni mendalami persoalan-persoalan
umatnya dari aspek politik, ekonomi dan budaya. Dia merupakan
satu-satunya uskup yang menerapkan teologi pembebasan “teologi kritis
dan dialektik”. Dia benar-benar telah mendalami, merasakan dan juga
mencari jalan keluar dengan cara memperjuangkan setiap hal yang menjadi
persoalan umatnya.
Latar Belakang Fernando
Lugo berasal dari keluarga yang tidak
terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja.
Pamannya, Epifanio Menes Fleitas adalah seorang tokoh politik dari
partai Colorado. Lugo juga memiliki latar belakang dari keluarga petani.
Menamatkan pendidikan pada usia 17 tahun di sebuah sekolah milik
Jesuit, kemudian bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion).
Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk
masuk Seminari. Hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang
menginginkan dirinya menjadi seorang pengacara. Setelah menamatkan
pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD:
Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus
1977, ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama
lima tahun. Di tempat tersebut belajar banyak mengenai teologi
pembebasan, sebuah cabang dari pemikiran Kristen yang berpendapat bahwa
itu adalah misi gereja untuk melawan kemiskinan dan penindasan.
Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran
sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan keberpihakan
kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global
tidak terkungkung pada tataran teoritis, tetapi dia mengkongkritkan
maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan
dilahirkan agar tidak terkesan berteori atau hanya bicara saja. Teologi
Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurutnya
ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai
agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapisan bawah yang umumnya
terlantar atau diterlantarkan.
Pada tahun 1987, kembali ke Paraguay
kemudian mulai aktif membela kaum tertindas. Keterlibatannya mendapat
sorotan dari pemerintah hingga akhirnya Polisi rezim yang berkuasa
meminta gereja untuk mengasingkannya. Pada tahun itu pula ia dikirim
untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar Licenciat dalam ilmu
sosial. Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan
ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay.
Selama 10 tahun dia menjabat sebagai uskup.
Konteks Persoalan Rakyat Paraguay
Paraguay memiliki tanah yang sangat luas,
mulai dari Selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian
Chaco Bolivia. Kenyataannya, tanah yang luas itu banyak orang Eropa
memiliki bersertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah
menjual tanahnya lebih dari 80% sehingga dikuasai oleh segelintir orang
kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah
air sendiri seperti saat ini dialami oleh rakyat Papua Barat.
Pendapatan utama negara ini bersumber
dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk utama,
menyumbang lebih dari setengah hasil ekspornya, pada tahun 2007
mengjasilkan 2.390 juta dolar AS. Tingkat pertumbuhan ekonominya
sebenarnya cukup baik, yaitu 6,4 persen per tahun. Jumlah penduduk hanya
6,5 juta jiwa, negara dengan luas wilayah 406.762 km persegi ini
seharusnya bisa mensejahterakan rakyatnya. Namun karena negara menjual
kepada pemilik modal dan dikuasai oleh kediktatoran selama 39 Tahun,
korupsi dan nepotisme merajalela, dan lebih dari sepertiga penduduknya
adalah petani tanpa tanah.
Paraguay memiliki dua perusahaan
Hindricos, mengunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik di Brasil dan
Argentina. Namun, banyak rakyat Paraguay belum hidup dalam kegelapan,
sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual
turbin-turbin pembangkit listrik. Kondisi ini menciptakan Paraguai
menjadi negara paling miskin di kawasan Amerika Latin. Sekitar 60%
warganya tergolong miskin, 32% berada dalam kemiskinan absolute. Masalah
kesehatan, menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang
yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke
dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli
obat-obatan.
Keadaan seperti itulah yang membuka mata
Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka.
Mengorganisir petani dan bergabung dengan Ciudadana Resistencia
(Perlawanan Sipil), sebuah serikat anti-Colorado partai politik dan
organisasi sosial. Kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai
Colorado dan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang
korupsi dan kekacauan ekonomi. Dia berjanji membersihkan korupsi dan
mengangkat hak – hak penduduk asli Indian yang terpinggirkan.
Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup,
telah berteriak bersama umat, memperjuangkan hak-haknya yang dikuasai
tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang
kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari
petani apabila mereka memiliki lahan sendiri. Namun gerakan mobilisasi
tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan,
seperti menghadapi tembok beton. Mekanisme korupsi sudah menjadi tradisi
sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem
pemerintahan dan mengubah situasi dari dalam.
Rakyat meminta kesediaannya menjadi
Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, Lugo
mengajukan pengunduran diri sebagai uskup kepada Vatikan pada Januari
2005. Dia ingin terjun langsung dalam politik dan berjuang untuk
mengatasi kemiskinan di negaranya. Paus Benediktus XVI terkejut saat
mengetahui beberapa partai politik di Paraguay bermaksud mencalonkan
Lugo sebagai kandidat dalam pemilihan Presiden. Namun permintaannya
ditolak. Menurut Vatikan bila seseorang telah ditahbiskan menjadi
pelayan Tuhan maka dia harus melaksanakan pengabdiannya seumur hidup
hehingga menjadi presiden jelas melanggar tanggung jawab seorang uskup.
Hukum Kanon (kitab berisi dogma-dogma
dalam Gereja Katolik) melarang para imam untuk berpartisipasi dalam
partai politik maupun organisasi perburuhan. Vatikan meminta agar,
“dalam nama Yesus Kristus,” mempertimbangkan kembali apa yang telah
dilakukannya. Kepala Konferensi Uskup Paraguay memperingatkan bahwa Lugo
berisiko mendapat pengucilan. Lugo tetap mantap dengan pilihannya.
“Saya mencintai gereja saya dan saya tidak ingin meninggalkannya. Saya
memutuskan untuk melayani negara saya sebagai Presiden. Kalau ini
mengganggu Bapa Suci, saya memohon pengampunannya,” kata Lugo. Atas
pernyataannya ini ia terkena suspensi (sanksi berupa penghentian
pelaksanaan tugas sebagai uskup yang ditahbiskan).
Tetapi pada Juli 2008, Vatikan mengubah
keputusannya. Paus Benediktus XVI mengabulkan permohonannya untuk diberi
status sebagai orang awam. Saat terpilih menjadi Presiden, mengangkat
kakak Perempuannya Mercedes Lugo, untuk mendampinginya sebagai Ibu
Negara Paraguay. Kemenangannya menjadi Presiden Paraguay menambah
panjang barisan pemerintahan kiri di Amerika Latin. Membawa Paraguay ke
sistem soialisme, bergabung dengan Argentina, Brasil, Uruguay, Chili,
Bolivia dan tentu saja Venezuela. Bersama 3 negara yang disebut pertama,
Paraguay bergabung dalam grup perdagangan Mercosur. “Kemenangan Lugo
segaris dengan iklim politik gerakan progresif di Amerika Latin,”
Lugo sering disebut ‘pastor merah’ atau
‘pastor si miskin’ lebih memilih disebut progresif dari pada Sosialisme.
Perubahan yang dilakukan pertama kali saat menjabat sebagai presiden
dengan menolak menerima gaji presiden bernilai 4.000 dolar AS atau
sekitar Rp 37 juta per bulan. Gaji yang lebih rendah daripada gaji
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkisar Rp 49
juta per bulan. Atau jauh lebih rendah dari gaji Presiden negara
Indonesia sekitar Rp 62,5 juta per bulan.
Dia juga melakukan peningkatan pelayanan
publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Dilakukan
pula kontrol ketat atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah
korupsi. Dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah, serta menciptakan
kedaulatan energi. Presiden Lugo memiliki prinsip, “Kaki saya sudah
berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk
dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi
berdiri saya tetap untuk kaum miskin.’’.
Konteks Teologi Pembebasan di Papua
Jika kita bertanya, apakah ada hamba
Tuhan di Papua sama seperti Fernando? Jawabanya tentu ada, mereka
adalah Dr. Benny Giay, Socrater Sofyan Yoman, Pater John Yonga, Pater
Neles Tebay dan juga Uztad dan Haji Papua serta beberapa pendeta yang
lantang berbicara tentang penindasan dan perampasan hak rakyat Papua.
Mereka adalah hamba Tuhan yang melihat umat manusia Papua dari semua
aspek kehidupan,.Menerapkan teologi yang dialektis dan kritis, sesuai
dengan kontek umat Papua supaya umat Tuhan di Papua tidak hanya bebas
dari neraka tetapi bebas dari segala macam bentuk penindasan. Entah
penindasan secara politik, ekonomi, budaya maupun secara rohani, sehigga
terciptanya surga di bumi Papua.
Rakyat (umat) Papua membutuhkan pemimpin
yang tidak hanya memenuhi rohani tetapi juga bisa merasakan dan
menjawab apa yang mereka rasakan. Mejadi pelopor seperti Lugo, seorang
pemimpin yang mengorganisir basis dan turun ke kelas tertindas untuk
memobilisasi massa dengan menjalankan prinsip – prinsip teologi
pembebasan untuk melawan pihak rezim yang menindas dan merampas milik
rakyat. Para hamba Tuhan yang tentunya memiliki basis (umat) yang besar.
Dalam konteks Papua, kaum yang tertindas adalah masyarakat adat,
petani di kampung, peramu nelayan, kaum miskin kota, atau buruh yang
berkumpul menjadi umat suatu gereja sehingga mereka punya tanggungjawab
moral dan bagian dari misi gereja untuk membebaskan umatnya dari
segala bentuk penindasan. Melakukan agitasi dan propaganda positif agar
umatnnya bertindak menyuarahkan hak – hak mereka.
Sebaliknya, ada banyak Hamba Tuhan di
Papua telah menyembunyikan kebenaran dibalik mimbar dan tidak melihat
penderitaan umat secara menyeluruh. Mereka sebatas melihat jemaat dari
perspektif persekutuan rohani semata. Ini terjadi karena gerejanya
dibangun dari uang pemerintah, atau dapurnya dijamin oleh uang
persembahan para pejabat pemerintah. Mungkin karena diberi rumah dan
kendaraan mewah, atau karena merasa umatnya sebagian besar adalah warga
pendatang, sehingga takut berbicara mengenai keadilan bagi rakyat Papua.
Atau jika Hamba TUHAN mengkritik pemerintah akan kehilangan semua yang
di dapatkan.
Padahal, nilai kebenaran, keadilan dan
perdamaian menembus semua perbedaan, suku, ras atau wilayah. Jika mimbar
hanya berisi khotbah tentang sorga dan neraka tanpa melihat realita
kehidupan umat, maka umat akan terus berada di lingkaran keterpurukan.
Kekerdilan penafsiran mengenai keterlibatan gereja dan pendeta dalam
politik adalah dosa, telah menjebak para pendeta (Hamba Tuhan) untuk
tidak menyuarakan keadilan bagi rakyat Papua yang tertindas. Anehnya,
mereka justru terkadang berpolitik dengan mengusung calon gubernus,
bupati/walikota di saat ada Pilkada. Ikut dalam pencalonan anggota
parlemen hingga menerima uang dan bantuan yang ternyata bermotif
politik. Calon yang mereka dukung pun setelah berkuasa dalam
pemerintahan yang menindas, ternyata tidak mampu menghapus penderitaan
rakyat (umat) Papua. Inilah karakter para Hamba Tuhan kita hari ini…!!! (Igee-86 dan Saren).
0 komentar:
Posting Komentar