Home » » Dibalik Penjara Hanya Untuk Keadilan

Dibalik Penjara Hanya Untuk Keadilan

Unknown | 10.22 | 0 komentar
Secara kasat mata, kualitas demokrasi Indonesia saat ini mengalami ujian yang cukup berat. Dalam kurun beberapa tahun belakangan ini, tercatat berbagai gerakan penyampaian pendapat dari warga Negara mengalami tekanan baik bersifat pembubaran, pelarangan bahkan kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana. Dalam pidana tersebut memanfaatkan berbagai pasal-pasal haatzaai artikelen (hukum produk kolonial Belanda yang masih di Indonesia) dan lese majesty serta pasal-pasal “karet” lainnya yang masih berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut secara massif dilakukan dalam upaya membungkam kritik yang dilakukan oleh warga negara di Indonesia khususnya oleh aktivis mahasiswa dan pemuda pro – demokrasi.
Tindakan pembungkaman atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam kurun beberapa waktu dari era 1990‘an – hingga sekarang terus menghantam aktivis mahasiswa dan pemuda di Papua.
Kejahatan‖ apa yang mereka lakukan? mereka tidak mencuri barang tetangga atau di toko. mereka tidak mencuri triliunan uang rakyat. Mereka juga tidak merusak harta benda orang lain atau menyerang seseorang secara fisik. mereka tidak memperkosa, menyiksa, ataupun membunuh seseorang. mereka tidak melakukan pengeboman terhadap masyarakat yang tidak berdosa. Mereka hanya menyampaikan aspirasi secara damai tanpa menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Tapi, mereka harus dijerumuskan ke dalam bui.
Beberapa penjara di Papua, tahanan politik yang lebih sering mendapatkan kekerasan di dalam penjara. Tahanan politik di Papua diberikan stigma ‗‘separatis‘‘. Jumlah tahanan politik di Papua paling banyak dikenakan dengan hukuman pidana pasal ‗‘Makar‘‘.
Tindakan pidana makar merupakan suatu fenomena yang ada dalam suatu Negara. Hal ini juga disebut kejahatan konvensional, yang telah ada sejak dulu. Makar merupakan kejahatan terhadap keamanaan negara dan termasuk dalam delik politik. Makar memiliki unsur yang sama dengan percobaan, yaitu niat dan permulaan pelaksanaan. Perbedaannya, pada makar tidak ada alasan penghapus penuntutan. Pada percobaan, bila pelaku membatalkan niat jahatnya maka hapuslah penuntutan pidana terhadap perbuatan tersebut. Perbedaan lainnya, makar memiliki kekhususan pada objeknya.
Objek makar yaitu :
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Kedaulatan Negara
3. Pemerintah
Apabila gerakan makar berhasil dilakukan dan didukung oleh rakyat, maka makar dijadikan sumber hukum abnormal. Jika, gerakan makar gagal maka sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana makar sebagaimana tercantum dalam KUHP, yaitu pasal 104 tentang serangan terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 106 tentang separatisme atau usaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia dan menundukkan diri pada negara lain (yang menjadi objek dalam pasal ini adalah kedaulatan negara), pasal 107 tentang usaha menggulingkan Pemerintahan dengan maksud ingin menggantikan posisi orang yang di gulingkan, pasal 108 tentang melawan terhadap pemerintahan yang sah tanpa maksud ingin menggantikan posisi dan perlawanan ini menggunakan senjata, serta pasal 110 tentang konsipirasi dengan hukuman kurungan sekurang-kurangnya 10 – 20 tahun.
Saat ini ada 24 tahanan politik kasus makar di Papua yang divonis dengan hukuman pidana setelah menyampaikan ekspresi secara damai dan menaikkan bendera bintang kejora.
Kasus Wamena , 04 April 2003
Mereka ketika ditahan secara paksa oleh aparat dengan tindakan kekerasan secara semena – mena. Hal ini terjadi terhadap tahanan politik kasus pembongkaran senjata markas kodim di Wamena. Penyisiran yang dilakukan oleh aparat di Wamena kota dan sekitarnya dalam kasus pembobolan gudang senjata markas kodim 1702/Wamena, dalam melakukan pengejaran TNI/POLRI melakukan penyisiran dan penangkapan sewenang – wenang kepada masyarakat sipil dan mereka yang dituduh melakukan pembobolan gudang senjata diminta untuk menandatangani surat penahanan secara paksa. Dalam hasil penyisiran aparat sengaja menangkap masyarakat sipil yang tidak bersalah berjumlah 9 orang. Dalam penangkapan tersebut 9 orang yang ditahan mengalami penyiksaan yang sangat berat saat berada dalam tahanan polres Wamena. Mereka disiksa dan dipukul sehingga menyebabkan salah satu dari mereka yaitu Yapenas Murib, umur 32 tahun, meninggal akibat penyiksaan oleh TNI/POLRI didalam tahanan polres Wamena. 8 tahanan ini dituduh telah melakukan pembobolan gudang senjata dan hukuman vonis yang diberikan oleh pengadilan dikenakan dengan pasal makar yang tuntutan hukumannya yaitu 3 orang dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan 5 orang dengan tuntutan hukuman 20 tahun. Namun, salah satu dari mereka yang mendapatkan hukuman 20 tahun melarikan diri dari lapas Wamena yaitu Des Wenda umur 25 tahun. Ketakutan dari Pemerintah Indonesia dan TNI/POLRI melihat bahwa salah satu dari tahanan ini melarikan diri, maka 6 orang diantara mereka dipindahkan ke lapas Abepura,15 Desember 2004. Satu dari mereka tetap tinggal di lapas Wamena yaitu Kanius Murip umur 65 tahun dengan hukuman seumur hidup.
Dalam pemindahan para tahanan di lapas Abepura, sempat terjadi perlawanan antara masyarakat Wamena dan aparat, masyarakat Wamena menginginkan agar mereka tetap berada di Lapas Wamena. Didalam lapas Abepura sendiri terjadi kelebihan penghuni. Pada 17 Desember 2004, ke-enam tahanan politik ini di pindahkan ke Lapas Gunung Sari Makassar. Merasa jauh dari keluarga membuat mereka tidak pantang – menyerah dalam menjalani masa hukuman dibalik terali besi, di Lapas itu sendiri mereka tidak pernah diperlakukan buruk oleh petugas maupun sipir penjara dan selalu diperhatikan oleh para aktivis Papua yang menimbah ilmu di kota Makassar yang sering melakukan kunjungan seminggu. Dalam pelayanan medis, salah satu tahanan politik tidak mendapatkan fasilitas yang memadai sehingga terlambat diberikan pertolongan, akhirnya Michael Haselo meninggal dunia, 28 Agustus 2007. Jenazahnya dikirimkan pulang ke Wamena.
Dengan melihat kondisi tahanan yang meninggal, para aktivis Papua di Makassar mendesak agar beberapa tahanan politik yang ada di Lapas Gunung Sari Makasar untuk segera dipindahkan ke Papua. Karena, tidak ingin terjadi kasus yang sama seperti Michael Haselo. Desakan ini didengar oleh Menteri Hukum dan Ham, Andi Mattalatta. Sehingga, 5 (lima) tahanan politik ini dipindahkan ke Biak ,31 Januari 2008. Juga 2 (dua) tahanan dipindahkan ke Lapas Nabire, 3 Maret 2008.
Kasus Pengibaran Bintang Kejora, 01 Desember 2004.
Filep Karma berasal dari Biak, 50 tahun. Dia menjadi narapidana politik kasus pengibaran bendera Bintang Ke-jora di Lapangan Trikora, Abepura dengan hukuman 15 tahun penjara dan dikenakan pasal makar yang juga mendapatkan perhatian dari Amensty International yang menyebutkan bahwa dia adalah tahanan hati nurani yang berjuang dan berdemokrasi secara damai.Kekerasan terhadapnya, terjadi dari awal penangkapan, dia dipukul dengan rotan dikepala dan tangannya dipelintir kebelakang oleh aparat keamanaan yang menangkapnya pada 01 Desember 2004, Dalam aksi damai pengibaran bendera Bintang Kejora. Pada maret 2005, dia dipukul oleh salah satu petugas Lapas, Abraham Fingkreuw pada bagian pelipis kanan dan kepala bagian belakang. Pada saat dia mengalami kendala kesehatan pada tanggal 06 Agustus 2009, dia tidak diberikan pelayanan medis yang memadai. Bahkan, seminggu merasakan kesakitan di dalam penjara. Dia dilarikan ke RSUD DOK II, 18 Agustus 2009. Dari keterangan dokter yang menanganinya, dia menderita pembesaran pada ginjal kiri dan kanan dan harus dirujuk di RS PGI Cikini – Jakarta namun sampai saat ini masih berada di Jayapura karena belum ada tindakan dari Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua untuk kelanjutan perawatan medisnya ke Jakarta.
Kasus 16 Maret 2006
Ferdinand Pakage berasal dari Nabire, 23 tahun, kini menjadi narapidana politik. Dia adalah korban penyisiran kasus Abepura 16 maret 2006. Hukuman pidana yang diberikan padanya adalah 15 tahun dan dituduh membunuh seorang petugas kepolisian pada saat bentrokan demonstrasi terjadi. Dia mengalami kebutaan dimata sebelah kanan. 22 Sepetember 2008, Dia dipukul secara bergiliran oleh tiga orang petugas Lapas yaitu: Victor Apono, Herbert Toam dan Gustaf Rumaikewi. Tanpa sadar, Herbert Toam memegang anakan kunci sambil mengenggam dan meninju mata sebelah kiri Ferdinand hingga berdarah. Matanya buta disebelah kanan, dan sampai saat ini Ferdinand tidak diperhatikan hampir 1,8 tahun. Kalapas Abepura yang lama, Anthonius Ayorbaba menganggap ini masalah kecil, tanpa berpikir bahwa mereka telah menghilangkan salah satu mata manusia.
Kasus, Aksi Damai 16 Oktober 2008
Buchtar Tabuni berasal dari Wamena, 30 tahun. Dakwaan yang diberikan adalah ‗‘Makar‘‘. Pemukulan Buchtar Tabuni terjadi pada 28 Januari 2009 dan 27 November 2009. Dia mendapat perlakuan penyiksaan, 28 Januari 2009 oleh seorang petugas Lapas Abepura ,Adrianus Sihombing. Pemukulan pada bagian pelipis mata sebelah kiri mengeluarkan darah dan tanpa diobati. Kemudian dipindahkan kembali ke tahanan Polda Papua, guna menyembunyikan tindakan kekerasan tersebut dari kedatangan Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan HAM RI yang berkunjung pada 29 Januari 2009. Pemukulan kedua, 27 November 2009 karena mengeluhkan pemadaman air yang hampir tiga hari di Penjara Abepura dan dia dipukul oleh dua anggota TNI yang saat itu sedang masa tahanan di tempat yang sama.
Kekerasan di Lapas Abepura
01 Febuari 2009, beberapa tahanan politik yang melihat Buchtar dipindahkan ke Tahanan Polda Papua, contohnya Yusak Pakage, meminta tanggung jawab dari petugas, Adrianus Sihombing, yang melakukan pemukulan terhadap Tabuni. Adrianus merasa tersinggung dan mendorong Yusak sehingga kacamatanya pecah dan patah juga pelipis sebelah kirinya mengeluarkan darah. Petugas Lapas (Elly Awie, Yahya Apnawas, Pineas Kubia dan Pecky Wanda) pada malam hari datang ke sel tahanan Yusak dan petugas memaksa dia untuk mencopoti pakaian yang dikenakan. Dengan berbadan kosong dia dipindahkan ke sel isolasi bersama beberapa tahanan politik lainnya, yaitu; tahanan politik lain yaitu: Selpius Bobii, Chosmos Yual, Elias Tamaka, Nelson Rumbiak, dan Ricky Jitmau. Dalam sel isolasi selama 4 hari, mereka tidur diatas lantai semen yang penuh dengan kotoran manusia, berbau, tidak ada cahaya matahari, gelap, tidak diberikan makan selama dan hari dan pada hari ketiga mereka diberikan makanan. Pada saat itu petugas Lapas juga mengeledah dan membongkar kamar para tahanan. Petugas membakar transkrip nilai dari smenster I – VII dan skripsi milik Elias Tamaka salah satu aktvis kasus 16 Maret 2006, juga Ijasah strata – 1(S1) beserta paspor milik Yusak Pakage dibakar di Lapangan oleh Petugas Lapas ; Yosef Yembise, Gustav Rumakewi , dan Irianto Pakombong.
Kepala seksi pembinaan dan pendidikan, Yosef Yembise,SH.M,Hum. Dia memukul dan meninju NelsonRumbiak , Chosmos Yual dan beberapa tahanan lainnya tepat dikepala bagian belakang. Karena Yusak masih merasakan sakit sejak pemukulan awal yang terjadi dan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya secara baik, Yusak diseret seperti hewan dilantai sambil menarik tangan dan rambutnya oleh petugas.
Tekanan psikologis juga terjadi kalapas Abepura, Ayorbaba mengancam ‘‘tahanan politik akan di pindahkan ke tahanan militer‘‘.
Kondisi penjara di Papua
Kondisi yang terjadi di Indonesia diakhir tahun 2005 bahwa seluruh rumah tahanan dan penjara di Indonesia sudah tidak layak huni karena kelebihan penghuni. Dapat disamakan juga dengan kondisi beberapa penjara di Provinsi Papua. sangat memprihatinkan dan masuk dalam kondisi tidak layak. Penjara yang layak hanya ada di lapas narkotika Doyo – Baru (Sentani) dan Lapas Nabire. Penjara yang tidak layak huni, Misalkan : bangunan dan plafon Lapas Abepura sudah sangat rendah sehingga penghuni narapadina di dalam sangat sulit mendapatkan udara dan sinar matahari dan juga kondisi air yang sering mati sampai berhari – hari; tidak ada listrik dan sering memakai genset kalau lampu mati sore hari di Lapas Timika, dan di Lapas Merauke, saat hujan air sudah masuk sampai ke dalam kamar – kamar penghuni.
Kekerasan secara fisik dan non – fisik dilakukan oleh para petugas terhadap tahanan politik didalam lapas Abepura. Pembiaran terhadap Ferdinand Pakage dan Filep Karma merupakan salah satu pelanggaran HAM dalam bidang kesehatan. Padahal UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bertanggungjawab atas kesehatan semua narapidana dalam berbagai penjara Indonesia.
Hak – hak para tahanan di Papua sangat diabaikan dan juga mendapat perlakuan yang sangat buruk dari petugas Lapas. Hal ini juga tidak ada tanggung jawab dari pemerintah maupun Departemen Hukum dan HAM bagi para pelaku – pelaku kriminal yang melakukan kekerasan didalam tahanan.
Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Ham. Dalam kunjungannya ke Lapas Mataram, 5 desember 2009. Dia mengatakan ‗‘hak-hak dasar yang paling utama harus diperoleh oleh para penghuni Lapas adalah kebutuhan air, makanan dan jaminan kesehatan. Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa menteri seperti Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk bekerjasama dalam memberikan pelayanan dan pembinaan kepada penghuni Lapas‘‘.
Dalam bidang kesehatan, Menteri Hukum dan HAM juga bekerjasama dengan Menteri Kesehatan dalam hal pemberian pelayanan perawatan dan pengobatan kepada penghuni Lapas yang mengalami gangguan kesehatan secara gratis di rumah sakit umum (RSU) milik pemerintah. Tapi, ini tidak berjalan sebagaimana baiknya di tiap – tiap lapas di provinsi Papua. Desakan dari pihak Internasional bergulir untuk Indonesia agar membebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat dan memberikan kebebasan berekspresi, bagi para aktivis pemuda dan mahasiswa pro demokrasi—Papua.
MULUT KAMI DIBUNGKAM OLEH PRODUK HUKUM PENJAJAH
Kebebasan berekspresi punya peran sangat mendasar dalam demokratisasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik dimana masyarakat memilih sendiri pemerintah yang mereka inginkan dan agar pilihan masyarakat tersebut merupakan pilihan yang dibuat rasional berdasarkan informasi dan bermakna, maka perlu ada kebebasan berekspresi.
Kebebasan berekspresi penting karena membuka pintu untuk terjadi pertukaran pemikiran, diskusi yang sehat dan perdebatan yang berkualitas. Kemudian, dengan adanya jaminan terhadap kebebasan berekspresi memastikan munculnya gagasan serta terobosan yang dibutuhkan demi memajukan kesejahteraan masyarakat. Memang, ekspresi bukan hal yang absolut. Standar Internasional hak asasi manusia mengakui adanya pembatasan terhadap kebebasan berekpresi. Pembatasan ini dapat dilakukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, moral dan kesehatan umum. Kebebasan berekspresi untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, pada dasarnya legal dan dilindungi oleh UU. Dalam UU No 12 tahun2005 (International Convenant On Civil And Political Rights), pasal 19, 21, dan 22 yang pada tahun 2005 sudah diratifikasi oleh Pemerintah juga disebutkan bahwa ‗’hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (pasal 22).
Secara eksplisit – normatif kebebasan ekspresi atau kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum diatur dalam pasal 2 UU No 9/1998. ‗‘ Setiap warga negara, secara perorangan atas kelompok, bebas menyampaikan sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi, berbangsa dan bernegara”. Keberadaan beberapa ketentuan perundang – undangan ini melegitimasi bahwa kebebasan berekspresi sah dan legal secara hukum.
Pengekangan terhadap kebebasan berekspresi berujung kepada pola kekerasan yang dilakukan oleh Negara(Aparat). Tindakan yang dilakukan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, dapat dianggap sebagai tindakan negara. Jadi kekerasan yang dilakukan penguasa, dapat disebut sebagai kekerasan oleh negara. Padahal, pemeliharaan keamanaan dalam negeri melalui upaya penyelengaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,UU No 2 Tahun 2002.
Berbagai motif tindakan kekerasan yang telah dilakukan Polisi dalam rangka penegakan hukum selalu mengacu pada diskresi dan prosedur ketetapan (protap) kepolisian yang notabene kebijakan internal itu ditafsir secara luas untuk diri sendiri institusi polisi. Jadi diskresi maupun protap polisi merupakan kebebasan mengambil kepantasan dalam setiap situasi yang dihadapi, menurut pertimbangan dan keyakinan dirinya atau keyakinan pemimpinnya.
Hukum Indonesia sama sekali tidak bisa menyentuh dan menyelesaikan problem kekerasan yang terjadi baik di Papua maupun juga terjadi terhadap mahasiswa Papua yang melakukan aksi – aksi demonstrasi diluar Papua misalnya di Jakarta, Semarang, Surabaya, Jogja, Bali, dan Makassar.
Menjadi aneh pada aksi mahasiswa dan pemuda Papua pada 16 Maret 2006 lalu, yang kemudian secara sepihak dituduh brutal oleh polisi. Padahal selama ini institusi aparat keamanaan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas tumbuh suburnya kekerasan di Papua. Dan tuduhan brutal tersebut, seakan menjadi legitimasi aparat untuk bereaksi sangat keras di lapangan dan bahkan sampai ke tingkat penyidikan terhadap para mahasiswa yang ditangkap dalam kasus 16 Maret 2006.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa politik kekerasan dengan mengeksploitasi kekuatan hukum dan aparat – aparat penegak hukum masih juga digunakan. Ini merupakan eksploitasi yang paling lengkap dan sedang terjadi, eksploitasi dimana modal sangat berkuasa. Mulai dari tambang emasnya, sampai berkuasa mempengaruhi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan represif terhadap potensi ancaman keberlangsungan penambangan mineral.
Aktivis pro – demokrasi di Papua yang selalu menda-patkan pembungkaman. Berbagai tuntutan pidana diberi-kan kepada aktivis yang melakukan demonstrasi secara damai di kenakan dengan pasal 160 jo (menghasut) , pasal 170 jo (kejahatan terhadap ketertiban umum), pasal 214 KUHP (pengeroyokan/melawan petugas) dan juga pasal 106,108,dan 110 (makar) ketika para aktvis melakukan demonstrasi dan menaikkan bendera ‗‘Bintang Kejora juga memakai tanda berlambang bendera separatis di pamflet, spanduk , gantungan ponsel, serta tas dan meneriakkan yel – yel ‗‘Papua Merdeka‘‘ atau menyuarakan ‗‘memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ‘‘ itu langsung ditangkap oleh aparat dan diminta keterangan. Melihat masih terjadinya polemik dengan PP No. 77/2007, pemerintah daerah, DPR Papua dan MRP harus berkomitmen kuat menyelesaikan masalah lambang daerah. (Jika pemerintah daerah tidak menginginkan rakyat Papua menjadi korban terus-menerus karena bendera Bintang Kejora). Dalam proses penyidikan, pihak berwenang melakukan berbagai taktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap para tergugat.
Produk hukum pidana akan menjadi salah satu tolak ukur apakah negara semakin melindungi hak asasi manusia dan menyehatkan demokrasi ataukah mengesahkan aparat penegak hukum yang sewenang – wenang dan buas.
Peristiwa 16 maret 2006 adalah fenomena praktik kekerasan terhadap Aktivis pemuda, mahasiswa dan Rakyat Papua menolak keberadaan PT. Freeport. Hal ini menjadi pelajaran paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk kembali memerdekakan rakyat dari penjajahan ekonomi dan politik, seperti yang pernah di lakukan oleh VOC dahulu. Untuk lembaga Kepolisian, sudah saatnya mengembalikan fungsi Kepolisian yaitu mengayomi masyarakat dan benar – benar mengakkan hukum yang berprespektif Hak Asasi Manusia. (Sasori86/Isen/Saren)


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger