Secara kasat mata, kualitas demokrasi
Indonesia saat ini mengalami ujian yang cukup berat. Dalam kurun
beberapa tahun belakangan ini, tercatat berbagai gerakan penyampaian
pendapat dari warga Negara mengalami tekanan baik bersifat pembubaran,
pelarangan bahkan kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana. Dalam
pidana tersebut memanfaatkan berbagai pasal-pasal haatzaai artikelen (hukum produk kolonial Belanda yang masih di Indonesia) dan lese majesty serta
pasal-pasal “karet” lainnya yang masih berlaku dalam hukum positif
Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut secara massif dilakukan dalam
upaya membungkam kritik yang dilakukan oleh warga negara di Indonesia
khususnya oleh aktivis mahasiswa dan pemuda pro – demokrasi.
Tindakan pembungkaman atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi dalam kurun beberapa waktu dari era 1990‘an –
hingga sekarang terus menghantam aktivis mahasiswa dan pemuda di Papua.
Kejahatan‖ apa yang mereka lakukan?
mereka tidak mencuri barang tetangga atau di toko. mereka tidak mencuri
triliunan uang rakyat. Mereka juga tidak merusak harta benda orang lain
atau menyerang seseorang secara fisik. mereka tidak memperkosa,
menyiksa, ataupun membunuh seseorang. mereka tidak melakukan pengeboman
terhadap masyarakat yang tidak berdosa. Mereka hanya menyampaikan
aspirasi secara damai tanpa menyebabkan kerugian terhadap orang lain.
Tapi, mereka harus dijerumuskan ke dalam bui.
Beberapa penjara di Papua, tahanan
politik yang lebih sering mendapatkan kekerasan di dalam penjara.
Tahanan politik di Papua diberikan stigma ‗‘separatis‘‘. Jumlah tahanan
politik di Papua paling banyak dikenakan dengan hukuman pidana pasal
‗‘Makar‘‘.
Tindakan pidana makar merupakan suatu
fenomena yang ada dalam suatu Negara. Hal ini juga disebut kejahatan
konvensional, yang telah ada sejak dulu. Makar merupakan kejahatan
terhadap keamanaan negara dan termasuk dalam delik politik. Makar
memiliki unsur yang sama dengan percobaan, yaitu niat dan permulaan
pelaksanaan. Perbedaannya, pada makar tidak ada alasan penghapus
penuntutan. Pada percobaan, bila pelaku membatalkan niat jahatnya maka
hapuslah penuntutan pidana terhadap perbuatan tersebut. Perbedaan
lainnya, makar memiliki kekhususan pada objeknya.
Objek makar yaitu :
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Kedaulatan Negara
3. Pemerintah
Apabila gerakan makar berhasil dilakukan
dan didukung oleh rakyat, maka makar dijadikan sumber hukum abnormal.
Jika, gerakan makar gagal maka sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana
makar sebagaimana tercantum dalam KUHP, yaitu pasal 104 tentang serangan
terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 106 tentang separatisme
atau usaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia dan
menundukkan diri pada negara lain (yang menjadi objek dalam pasal ini
adalah kedaulatan negara), pasal 107 tentang usaha menggulingkan
Pemerintahan dengan maksud ingin menggantikan posisi orang yang di
gulingkan, pasal 108 tentang melawan terhadap pemerintahan yang sah
tanpa maksud ingin menggantikan posisi dan perlawanan ini menggunakan
senjata, serta pasal 110 tentang konsipirasi dengan hukuman kurungan
sekurang-kurangnya 10 – 20 tahun.
Saat ini ada 24 tahanan politik kasus
makar di Papua yang divonis dengan hukuman pidana setelah menyampaikan
ekspresi secara damai dan menaikkan bendera bintang kejora.
Kasus Wamena , 04 April 2003
Mereka ketika ditahan secara paksa oleh
aparat dengan tindakan kekerasan secara semena – mena. Hal ini terjadi
terhadap tahanan politik kasus pembongkaran senjata markas kodim di
Wamena. Penyisiran yang dilakukan oleh aparat di Wamena kota dan
sekitarnya dalam kasus pembobolan gudang senjata markas kodim
1702/Wamena, dalam melakukan pengejaran TNI/POLRI melakukan penyisiran
dan penangkapan sewenang – wenang kepada masyarakat sipil dan mereka
yang dituduh melakukan pembobolan gudang senjata diminta untuk
menandatangani surat penahanan secara paksa. Dalam hasil penyisiran
aparat sengaja menangkap masyarakat sipil yang tidak bersalah berjumlah 9
orang. Dalam penangkapan tersebut 9 orang yang ditahan mengalami
penyiksaan yang sangat berat saat berada dalam tahanan polres Wamena.
Mereka disiksa dan dipukul sehingga menyebabkan salah satu dari mereka
yaitu Yapenas Murib, umur 32 tahun, meninggal akibat penyiksaan oleh
TNI/POLRI didalam tahanan polres Wamena. 8 tahanan ini dituduh telah
melakukan pembobolan gudang senjata dan hukuman vonis yang diberikan
oleh pengadilan dikenakan dengan pasal makar yang tuntutan hukumannya
yaitu 3 orang dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan 5 orang dengan
tuntutan hukuman 20 tahun. Namun, salah satu dari mereka yang
mendapatkan hukuman 20 tahun melarikan diri dari lapas Wamena yaitu Des
Wenda umur 25 tahun. Ketakutan dari Pemerintah Indonesia dan TNI/POLRI
melihat bahwa salah satu dari tahanan ini melarikan diri, maka 6 orang
diantara mereka dipindahkan ke lapas Abepura,15 Desember 2004. Satu dari
mereka tetap tinggal di lapas Wamena yaitu Kanius Murip umur 65 tahun
dengan hukuman seumur hidup.
Dalam pemindahan para tahanan di lapas
Abepura, sempat terjadi perlawanan antara masyarakat Wamena dan aparat,
masyarakat Wamena menginginkan agar mereka tetap berada di Lapas Wamena.
Didalam lapas Abepura sendiri terjadi kelebihan penghuni. Pada 17
Desember 2004, ke-enam tahanan politik ini di pindahkan ke Lapas Gunung
Sari Makassar. Merasa jauh dari keluarga membuat mereka tidak pantang –
menyerah dalam menjalani masa hukuman dibalik terali besi, di Lapas itu
sendiri mereka tidak pernah diperlakukan buruk oleh petugas maupun sipir
penjara dan selalu diperhatikan oleh para aktivis Papua yang menimbah
ilmu di kota Makassar yang sering melakukan kunjungan seminggu. Dalam
pelayanan medis, salah satu tahanan politik tidak mendapatkan fasilitas
yang memadai sehingga terlambat diberikan pertolongan, akhirnya Michael
Haselo meninggal dunia, 28 Agustus 2007. Jenazahnya dikirimkan pulang ke
Wamena.
Dengan melihat kondisi tahanan yang
meninggal, para aktivis Papua di Makassar mendesak agar beberapa tahanan
politik yang ada di Lapas Gunung Sari Makasar untuk segera dipindahkan
ke Papua. Karena, tidak ingin terjadi kasus yang sama seperti Michael
Haselo. Desakan ini didengar oleh Menteri Hukum dan Ham, Andi
Mattalatta. Sehingga, 5 (lima) tahanan politik ini dipindahkan ke Biak
,31 Januari 2008. Juga 2 (dua) tahanan dipindahkan ke Lapas Nabire, 3
Maret 2008.
Kasus Pengibaran Bintang Kejora, 01 Desember 2004.
Filep Karma berasal dari Biak, 50 tahun.
Dia menjadi narapidana politik kasus pengibaran bendera Bintang Ke-jora
di Lapangan Trikora, Abepura dengan hukuman 15 tahun penjara dan
dikenakan pasal makar yang juga mendapatkan perhatian dari Amensty
International yang menyebutkan bahwa dia adalah tahanan hati nurani yang
berjuang dan berdemokrasi secara damai.Kekerasan terhadapnya, terjadi
dari awal penangkapan, dia dipukul dengan rotan dikepala dan tangannya
dipelintir kebelakang oleh aparat keamanaan yang menangkapnya pada 01
Desember 2004, Dalam aksi damai pengibaran bendera Bintang Kejora. Pada
maret 2005, dia dipukul oleh salah satu petugas Lapas, Abraham Fingkreuw
pada bagian pelipis kanan dan kepala bagian belakang. Pada saat dia
mengalami kendala kesehatan pada tanggal 06 Agustus 2009, dia tidak
diberikan pelayanan medis yang memadai. Bahkan, seminggu merasakan
kesakitan di dalam penjara. Dia dilarikan ke RSUD DOK II, 18 Agustus
2009. Dari keterangan dokter yang menanganinya, dia menderita pembesaran
pada ginjal kiri dan kanan dan harus dirujuk di RS PGI Cikini – Jakarta
namun sampai saat ini masih berada di Jayapura karena belum ada
tindakan dari Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua untuk
kelanjutan perawatan medisnya ke Jakarta.
Kasus 16 Maret 2006
Ferdinand Pakage berasal dari Nabire, 23
tahun, kini menjadi narapidana politik. Dia adalah korban penyisiran
kasus Abepura 16 maret 2006. Hukuman pidana yang diberikan padanya
adalah 15 tahun dan dituduh membunuh seorang petugas kepolisian pada
saat bentrokan demonstrasi terjadi. Dia mengalami kebutaan dimata
sebelah kanan. 22 Sepetember 2008, Dia dipukul secara bergiliran oleh
tiga orang petugas Lapas yaitu: Victor Apono, Herbert Toam dan Gustaf
Rumaikewi. Tanpa sadar, Herbert Toam memegang anakan kunci sambil
mengenggam dan meninju mata sebelah kiri Ferdinand hingga berdarah.
Matanya buta disebelah kanan, dan sampai saat ini Ferdinand tidak
diperhatikan hampir 1,8 tahun. Kalapas Abepura yang lama, Anthonius
Ayorbaba menganggap ini masalah kecil, tanpa berpikir bahwa mereka telah
menghilangkan salah satu mata manusia.
Kasus, Aksi Damai 16 Oktober 2008
Buchtar Tabuni berasal dari Wamena, 30
tahun. Dakwaan yang diberikan adalah ‗‘Makar‘‘. Pemukulan Buchtar Tabuni
terjadi pada 28 Januari 2009 dan 27 November 2009. Dia mendapat
perlakuan penyiksaan, 28 Januari 2009 oleh seorang petugas Lapas Abepura
,Adrianus Sihombing. Pemukulan pada bagian pelipis mata sebelah kiri
mengeluarkan darah dan tanpa diobati. Kemudian dipindahkan kembali ke
tahanan Polda Papua, guna menyembunyikan tindakan kekerasan tersebut
dari kedatangan Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan HAM RI yang
berkunjung pada 29 Januari 2009. Pemukulan kedua, 27 November 2009
karena mengeluhkan pemadaman air yang hampir tiga hari di Penjara
Abepura dan dia dipukul oleh dua anggota TNI yang saat itu sedang masa
tahanan di tempat yang sama.
Kekerasan di Lapas Abepura
01 Febuari 2009, beberapa tahanan politik
yang melihat Buchtar dipindahkan ke Tahanan Polda Papua, contohnya
Yusak Pakage, meminta tanggung jawab dari petugas, Adrianus Sihombing,
yang melakukan pemukulan terhadap Tabuni. Adrianus merasa tersinggung
dan mendorong Yusak sehingga kacamatanya pecah dan patah juga pelipis
sebelah kirinya mengeluarkan darah. Petugas Lapas (Elly Awie, Yahya
Apnawas, Pineas Kubia dan Pecky Wanda) pada malam hari datang ke sel
tahanan Yusak dan petugas memaksa dia untuk mencopoti pakaian yang
dikenakan. Dengan berbadan kosong dia dipindahkan ke sel isolasi bersama
beberapa tahanan politik lainnya, yaitu; tahanan politik lain yaitu:
Selpius Bobii, Chosmos Yual, Elias Tamaka, Nelson Rumbiak, dan Ricky
Jitmau. Dalam sel isolasi selama 4 hari, mereka tidur diatas lantai
semen yang penuh dengan kotoran manusia, berbau, tidak ada cahaya
matahari, gelap, tidak diberikan makan selama dan hari dan pada hari
ketiga mereka diberikan makanan. Pada saat itu petugas Lapas juga
mengeledah dan membongkar kamar para tahanan. Petugas membakar transkrip
nilai dari smenster I – VII dan skripsi milik Elias Tamaka salah satu
aktvis kasus 16 Maret 2006, juga Ijasah strata – 1(S1) beserta paspor
milik Yusak Pakage dibakar di Lapangan oleh Petugas Lapas ; Yosef
Yembise, Gustav Rumakewi , dan Irianto Pakombong.
Kepala seksi pembinaan dan pendidikan,
Yosef Yembise,SH.M,Hum. Dia memukul dan meninju NelsonRumbiak , Chosmos
Yual dan beberapa tahanan lainnya tepat dikepala bagian belakang. Karena
Yusak masih merasakan sakit sejak pemukulan awal yang terjadi dan tidak
bisa berdiri dengan kedua kakinya secara baik, Yusak diseret seperti
hewan dilantai sambil menarik tangan dan rambutnya oleh petugas.
Tekanan psikologis juga terjadi kalapas Abepura, Ayorbaba mengancam ‘‘tahanan politik akan di pindahkan ke tahanan militer‘‘.
Kondisi penjara di Papua
Kondisi yang terjadi di Indonesia diakhir
tahun 2005 bahwa seluruh rumah tahanan dan penjara di Indonesia sudah
tidak layak huni karena kelebihan penghuni. Dapat disamakan juga dengan
kondisi beberapa penjara di Provinsi Papua. sangat memprihatinkan dan
masuk dalam kondisi tidak layak. Penjara yang layak hanya ada di lapas
narkotika Doyo – Baru (Sentani) dan Lapas Nabire. Penjara yang tidak
layak huni, Misalkan : bangunan dan plafon Lapas Abepura sudah sangat
rendah sehingga penghuni narapadina di dalam sangat sulit mendapatkan
udara dan sinar matahari dan juga kondisi air yang sering mati sampai
berhari – hari; tidak ada listrik dan sering memakai genset kalau lampu
mati sore hari di Lapas Timika, dan di Lapas Merauke, saat hujan air
sudah masuk sampai ke dalam kamar – kamar penghuni.
Kekerasan secara fisik dan non – fisik
dilakukan oleh para petugas terhadap tahanan politik didalam lapas
Abepura. Pembiaran terhadap Ferdinand Pakage dan Filep Karma merupakan
salah satu pelanggaran HAM dalam bidang kesehatan. Padahal UU No 12/1995
tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan bertanggungjawab atas kesehatan semua narapidana dalam
berbagai penjara Indonesia.
Hak – hak para tahanan di Papua sangat
diabaikan dan juga mendapat perlakuan yang sangat buruk dari petugas
Lapas. Hal ini juga tidak ada tanggung jawab dari pemerintah maupun
Departemen Hukum dan HAM bagi para pelaku – pelaku kriminal yang
melakukan kekerasan didalam tahanan.
Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Ham.
Dalam kunjungannya ke Lapas Mataram, 5 desember 2009. Dia mengatakan
‗‘hak-hak dasar yang paling utama harus diperoleh oleh para penghuni
Lapas adalah kebutuhan air, makanan dan jaminan kesehatan. Selain itu,
pihaknya juga sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa menteri
seperti Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, serta Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk bekerjasama dalam memberikan
pelayanan dan pembinaan kepada penghuni Lapas‘‘.
Dalam bidang kesehatan, Menteri Hukum dan
HAM juga bekerjasama dengan Menteri Kesehatan dalam hal pemberian
pelayanan perawatan dan pengobatan kepada penghuni Lapas yang mengalami
gangguan kesehatan secara gratis di rumah sakit umum (RSU) milik
pemerintah. Tapi, ini tidak berjalan sebagaimana baiknya di tiap – tiap
lapas di provinsi Papua. Desakan dari pihak Internasional bergulir untuk
Indonesia agar membebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat dan
memberikan kebebasan berekspresi, bagi para aktivis pemuda dan mahasiswa
pro demokrasi—Papua.
MULUT KAMI DIBUNGKAM OLEH PRODUK HUKUM PENJAJAH
Kebebasan berekspresi punya peran sangat
mendasar dalam demokratisasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik
dimana masyarakat memilih sendiri pemerintah yang mereka inginkan dan
agar pilihan masyarakat tersebut merupakan pilihan yang dibuat rasional
berdasarkan informasi dan bermakna, maka perlu ada kebebasan
berekspresi.
Kebebasan berekspresi penting karena
membuka pintu untuk terjadi pertukaran pemikiran, diskusi yang sehat dan
perdebatan yang berkualitas. Kemudian, dengan adanya jaminan terhadap
kebebasan berekspresi memastikan munculnya gagasan serta terobosan yang
dibutuhkan demi memajukan kesejahteraan masyarakat. Memang, ekspresi
bukan hal yang absolut. Standar Internasional hak asasi manusia mengakui
adanya pembatasan terhadap kebebasan berekpresi. Pembatasan ini dapat
dilakukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, moral dan
kesehatan umum. Kebebasan berekspresi untuk menyampaikan pendapat
dimuka umum, pada dasarnya legal dan dilindungi oleh UU. Dalam UU No 12
tahun2005 (International Convenant On Civil And Political Rights), pasal
19, 21, dan 22 yang pada tahun 2005 sudah diratifikasi oleh Pemerintah
juga disebutkan bahwa ‗’hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (pasal 22).
Secara eksplisit – normatif kebebasan
ekspresi atau kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum diatur dalam
pasal 2 UU No 9/1998. ‗‘ Setiap warga negara, secara perorangan
atas kelompok, bebas menyampaikan sebagai perwujudan hak dan tanggung
jawab berdemokrasi, berbangsa dan bernegara”. Keberadaan beberapa ketentuan perundang – undangan ini melegitimasi bahwa kebebasan berekspresi sah dan legal secara hukum.
Pengekangan terhadap kebebasan
berekspresi berujung kepada pola kekerasan yang dilakukan oleh
Negara(Aparat). Tindakan yang dilakukan pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan, dapat dianggap sebagai tindakan negara. Jadi kekerasan yang
dilakukan penguasa, dapat disebut sebagai kekerasan oleh negara.
Padahal, pemeliharaan keamanaan dalam negeri melalui upaya
penyelengaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanaan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,pengayoman,dan
pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia,UU No 2 Tahun 2002.
Berbagai motif tindakan kekerasan yang
telah dilakukan Polisi dalam rangka penegakan hukum selalu mengacu pada
diskresi dan prosedur ketetapan (protap) kepolisian yang notabene
kebijakan internal itu ditafsir secara luas untuk diri sendiri institusi
polisi. Jadi diskresi maupun protap polisi merupakan kebebasan
mengambil kepantasan dalam setiap situasi yang dihadapi, menurut
pertimbangan dan keyakinan dirinya atau keyakinan pemimpinnya.
Hukum Indonesia sama sekali tidak bisa
menyentuh dan menyelesaikan problem kekerasan yang terjadi baik di Papua
maupun juga terjadi terhadap mahasiswa Papua yang melakukan aksi – aksi
demonstrasi diluar Papua misalnya di Jakarta, Semarang, Surabaya,
Jogja, Bali, dan Makassar.
Menjadi aneh pada aksi mahasiswa dan
pemuda Papua pada 16 Maret 2006 lalu, yang kemudian secara sepihak
dituduh brutal oleh polisi. Padahal selama ini institusi aparat
keamanaan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas tumbuh
suburnya kekerasan di Papua. Dan tuduhan brutal tersebut, seakan menjadi
legitimasi aparat untuk bereaksi sangat keras di lapangan dan bahkan
sampai ke tingkat penyidikan terhadap para mahasiswa yang ditangkap
dalam kasus 16 Maret 2006.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa politik
kekerasan dengan mengeksploitasi kekuatan hukum dan aparat – aparat
penegak hukum masih juga digunakan. Ini merupakan eksploitasi yang
paling lengkap dan sedang terjadi, eksploitasi dimana modal sangat
berkuasa. Mulai dari tambang emasnya, sampai berkuasa mempengaruhi
aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan represif terhadap potensi
ancaman keberlangsungan penambangan mineral.
Aktivis pro – demokrasi di Papua yang
selalu menda-patkan pembungkaman. Berbagai tuntutan pidana diberi-kan
kepada aktivis yang melakukan demonstrasi secara damai di kenakan dengan
pasal 160 jo (menghasut) , pasal 170 jo (kejahatan terhadap ketertiban umum), pasal 214 KUHP (pengeroyokan/melawan petugas) dan juga pasal 106,108,dan 110 (makar)
ketika para aktvis melakukan demonstrasi dan menaikkan bendera
‗‘Bintang Kejora juga memakai tanda berlambang bendera separatis di
pamflet, spanduk , gantungan ponsel, serta tas dan meneriakkan yel – yel
‗‘Papua Merdeka‘‘ atau menyuarakan ‗‘memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia ‘‘ itu langsung ditangkap oleh aparat dan
diminta keterangan. Melihat masih terjadinya polemik dengan PP No.
77/2007, pemerintah daerah, DPR Papua dan MRP harus berkomitmen kuat
menyelesaikan masalah lambang daerah. (Jika pemerintah daerah tidak
menginginkan rakyat Papua menjadi korban terus-menerus karena bendera
Bintang Kejora). Dalam proses penyidikan, pihak berwenang melakukan
berbagai taktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap para tergugat.
Produk hukum pidana akan menjadi salah
satu tolak ukur apakah negara semakin melindungi hak asasi manusia dan
menyehatkan demokrasi ataukah mengesahkan aparat penegak hukum yang
sewenang – wenang dan buas.
Peristiwa 16 maret 2006 adalah fenomena
praktik kekerasan terhadap Aktivis pemuda, mahasiswa dan Rakyat Papua
menolak keberadaan PT. Freeport. Hal ini menjadi pelajaran paling
berharga bagi bangsa Indonesia untuk kembali memerdekakan rakyat dari
penjajahan ekonomi dan politik, seperti yang pernah di lakukan oleh VOC
dahulu. Untuk lembaga Kepolisian, sudah saatnya mengembalikan fungsi
Kepolisian yaitu mengayomi masyarakat dan benar – benar mengakkan hukum
yang berprespektif Hak Asasi Manusia. (Sasori86/Isen/Saren)