MSG HARUS KETEMU RAKYAT SIPIL PAPUA

Unknown | 14.53 | 0 komentar
Jayapura, 11/1 (Jubi)—Ferry Marisan, Direktur Elsham Papua mengatakan jika kedatangan lima menteri anggota MSG pada akhirnya berakhir dengan bertemu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur Papua maka tidak usah pakai nama MSG karena salah satu kedatangan mereka itu karena proposal WPNCL yang diajukan pada saat pertemuan negara-negara anggota MSG di Noumea pada tahun 2013 lalu.
“Mereka datang itu mau lihat dan ketemu dengan masyarakat sipil Papua atas permintaan WPNCL untuk masuk menjadi anggota MSG. Sehingga kedatangan mereka itu harus ketemu dengan rakyat sipil Papua atau peserta daripada WPNCL, bukan untuk bertemu dengan gubernur dan DPRP,” kata Marisan.
Ditegaskannya, jika memang bukan mau ketemu rakyat sipil mestinya tidak boleh pakai nama MSG.
“Kalau memang mau datang dan ketemu DPRP dan Gubernur sebaiknya tidak boleh pakai nama MSG tetapi perwakilan dari Negara-negara Pasifik mitra kerja Pemerintah indonesia. Karena pemerintah provinsi Papua bukan anggota WPNCL,” tegas Ferry Marisan saat dihubungi lewat telepon genggamnya pada Sabtu (111/1/2014) di Jayapura, Papua.
“Harusnya mereka datang itu ketemu dengan rakyat sipil Papua dan para kelompok yang dianggap berseberangan dengan Negara Indonesia seperti KNPB, GEMPAR, Tapol/Napol dan Organisasi-organisasi yang dianggap berseberangan dengan Negara Indonesia agar tujuan kedatangan mereka itu tepat,” Direktur Elsham Papua ini.
Sementara itu, Nehemia Yarinap, aktifis kemanusiaan di Papua, mengatakan para menteri negara anggota MSG yang datang ke Papua itu karena diundang oleh pemerintah Indonesia untuk melihat lebih dekat pembangunan di Papua sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia.
“Para menteri dari Negara angora MSG yang datang itu diundang oleh Indonesia dengan alasan bahwa isu-isu yang dimasukan oleh para diplomat Papua diantaranya adalah kegagalan pembangunan, pendidikan yang tak layak dan kekerasan Negara terhadap orang Papua,” kata Nemehia.
Dikatakannya, hal ini boleh saja tetapi yang dikwatirkan adalah kebenaran iformasi yang akan mereka dapat. “Kami khawatir jangan sampai pemerintah sampaikan kepada para menteri negara anggota MSG tidak realistis. Atau yang baik-baik saja. Misalnya dengan memaparkan Otsus, Otsus Plus, UP4B dan pembangunan.” lanjut Nehemia.
Dengan demikian penting juga agar para menteri negara-negara anggota MSG ini bertemu langsung dengan rakyat sipil Papua dan kelompok-kelompok yang berjuang untuk Papua merdeka,” tutup Yarinap. (

ANDREAS HARSONO : PENANGKAPAN SEJUMLAH AKTIVIS PAPUA, IKLAN BURUK BAGI INDONESIA

Unknown | 14.48 | 0 komentar
Jayapura, 13/1 (Jubi)- Penangkapan terhadap Markus Haluk, Sekjen AMPTPI dan sejumlah aktivis Papua oleh aparat saat hendak melakukan demonstrasi penjemputan delegasi MSG di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) adalah bukti bahwa Indonesia tidak menghargai kebebasan orang untuk berekspresi.
“Penangkapan ini mencerminkan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di Papua yang dijamin oleh hukum Indonesia maupun konvensi internasional.” kata Andreas Harsono, peneliti Indonesia dari Human Rights Watch, Senin (13/1).
Menurut Andreas, penangkapan ini justru menjadi bukti buat delegasi MSG bahwa hak-hak orang Papua sering dilanggar oleh aparat keamanan Indonesia.
Selama tidak ada aksi anarkis, lanjut Andreas,  kebebasan dan hak orang untuk berpendapat harus dihormati.
“Aparat harus hormati hak orang berpendapat. Selama mereka tak lakukan kekerasan, selama tak ada bakar-bakar atau pukul orang, selama itu pula tak boleh ada penangkapan,” tegas wartawan senior di Indonesia ini.
“Pemerintah Indonesia harus hormati hak orang Papua. Alasan MSG datang ke Jayapura karena pemerintah menawarkan MSG lihat sendiri keadaan di lapangan. Kok orang protes malah ditangkap? Ini iklan buruk buat Indonesia,” tambahnya lagi.
Di tempat berbeda, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua (PGBP), Pendeta Socrates Sofyan Yoman berpendapat di Papua tidak ada lagi kebebasan. Rakyat Papua benar-benar ditindas, benar-benar dijajah, ruang kebebasan berekspresi untuk orang Papua benar-benar dibungkam, serta martabat orang Papua dihancurkan dan diinjak-injak oleh pemerintah Indonesia.
“Dari sisi positif dari penangkapan puluhan aktivis tadi adalah melalui penangkapan itu Indonesia sudah menunjukkan kebodohannya bahwa Indonesia bukan lagi negara demokrasi tetapi negara yang menggunakan kekuatan negara untuk menindas rakyat Papua,”kata Socratez.. (

PASTOR ALAN NAFUKI INDONESIA MEMECAH BELAH MSG

Unknown | 14.39 | 0 komentar
Jayapura, 22/1 (Jubi)-Ketua Asosiasi Papua Barat Merdeka di Negara Vanuatu, Pator Alan Nafuki mengatakan sangat percaya kalau pemerintah Indonesia sedang mencoba untuk memecah belah atau membagi-bagi sesama anggota Melanesia Spearhead Group(MSG) dan melemahkan sikap mereka terhadap keadaan di Papua Barat.
Pemerintah Vanuatu telah memutuskan untuk memboikot kunjungan delegasi menteri luar negeri MSG ke Indonesia pekan ini. Para Menteri MSG sudah kembali dan telah menyepakati sembilan point antara Pemerintah Indonesia dan negara-negara MSG. Pemerintah Vanuatu menolak karena jadwal kunjungan tidak mencakup pertemuan dengan kelompok-kelompok yang bersangkutan tentang dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat.
Pastor Alan Nafuki mengatakan perjalanan itu dimaksudkan untuk menjadi sebuah misi pencarian fakta untuk menemukan lebih banyak tentang Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan , yang ingin menjadi anggota penuh dari MSG .
” Kami ingin melihat Fiji , Papua Nugini , dan Kepulauan Solomon untuk benar-benar berbicara dengan Vanuatu dan Kaledonia Baru , dan setidaknya menghargai apa yang kita lihat untuk kemajuan untuk masa depan kita  dan tidak bergantung pada Indonesia. Karena itu adalah negara kuat dan kita tidak boleh berafiliasi dengan Indonesia ,”katanya dalam Radio New Zeland/Pacnews  yang dikutip tabloidjubi.com, Selasa (21/1).
Pastor Nafuki mengatakan mereka akan terus mendukung rakyat Papua Barat dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Vanuatu , Edward Natapei , telah mengatakan kepada Radio Australia Pacific Beat, bahwa  ia sangat percaya kalau agenda pertemuan menteri luar negeri itu telah ” dibajak ” oleh pemerintah Indonesia .
Natapei mengatakan itu dibuat jelas kepada para pemimpin MSG dan pemerintah Indonesia bahwa Vanuatu hanya akan berpartisipasi jika delegasi diberi kesempatan untuk bertemu kelompok-kelompok masyarakat sipil , kelompok-kelompok pro -kemerdekaan , para pemimpin gereja dan kelompok-kelompok lain yang peduli dengan pelanggaran hak asasi manusia di Barat Papua.
” Hanya satu hari sebelum kami berangkat untuk melakukan perjalanan ke Indonesia , ternyata kami punya program kunjungan , yang diabaikan  dan  tidak melibatkan pertemuan dengan masyarakat sipil , tidak melibatkan pertemuan dengan orang-orang Papua Barat , kepemimpinan di Papua Barat , ” katanya .
Kunjungan delegasi MSG ke Kota Jayapura hanya berlangsung selama delapan jam dan pertemuan berlangsung dengan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, Direktur Bank Papua tanpa bertemu dengan DPRP.
Aktivis HAM dari Manokwari, Provinsi Papua Barat, Yan Christian Warinussy menyayangkan para tamu MSG tak memperoleh kesempatan bertemu dengan berbagai stake holder di Kota Jayapura meliputi tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan tokoh masyarakat Papua.
Warinussy menegaskan mestinya penting bagi mereka untuk melihat dan memperoleh informasi yang benar, adil dan faktual dari masyarakat di Tanah Papua. Dia menilai pemerintah di Jakarta berusaha menutupi fakta pelanggaran HAM yang sudah berkali-kali terjadi di Papua meliputi kasus pembunuhan kilat, penganiayaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penghilangan oran,penahanan sewenang-wenang di luar proses hukum, pengkekangan hak kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat.
Para Menlu Melanesia tiba tanpa penyambutan tari-tarian persaudaraan Melanesia dan juga datang dengan pesawat khusus di pagi subuh pukul 05.00 WP di Bandara Sentani Kabupaten Jayapura Papua. Tak ada tarian khusus dan juga adat-adat khas Papua seperti injak piring tua dalam kebudayaan Melanesia kepada tamu-tamu dari MSG. Sebaliknya sebanyak 46 aktivis Papua Barat ditahan dan akhirnya dilepas. (Oleh:

Memori 1 Mei Bagi Orang Papua

Unknown | 01.20 | 0 komentar
Memori Orang Papua tentang 1 Mei adalah ingatan penderitaan karena sejak saat itulah sejumlah kekerasan dan penindasan terus terjadi. Itulah ingatan 1 Mei 1962, penyerahan Papua dari tangan  United Nations Temporary Executive Authority( Untea) ke Indonesia.

Setiap tahun Warga Papua memperingati 1 Mei sebagai hari Indonesia berhak memerintah di daerah Papua yang menurut orang Papua adalah hari aneksasi Papua ke Indonesia. Untuk memperingati hari tersebut pada tahun ini Kepolisian Daerah  Papua tidak memberikan izin kepada Orang Papua untuk  melakukan aksi. Namun sejumlah orang Papua yang tergabung dalam gerakan perjuangan Papua untuk independen seperti Komite  Nasional Papua Barat (KNPB)  bertekad akan tetap menggelar demo pada Selasa (1/5) .

Dalam ingatan orang Papua penyerahan Papua ke Indonesia diawali dengan perjanjian New York antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian tersebut tidak melibatkan orang Papua untuk ambil bagian menentukan masa depan tanah dan nasib orang Papua. Walaupun saat itu Pemerintah Belanda terus berusaha mempertahankan kuasanya atas Papua serta membentuk pemerintahan Papua sendiri.

Penyerahan tanah Papua ke Indonesia ini terjadi pada tanggal 1 Oktober 1962, ketika United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) mengambil alih dari Belanda yang terus mempersiapkan Papua.

Mengapa perjanjian untuk menentukan masa depan Papua antara Belanda dan Indonesia dilaksanakan di Amerika? Jawabannya karena Amerika tertarik dengan adanya penemuan tambang Emas dan Tembaga terbesar di dunia di daerah Papua. Amerika sangat berambisi untuk mengambil sumbar daya alam dari wilayah sengketa tersebut.

Dasar pijakannya adalah,Presiden Amerika saat itu  John F Kennedy berpandangan bahwa akrabnya Soekarno dengan Komunis bukan soal ideology Komunis tetapi Soekarno saat itu  membutuhkan bantuan senjata dan ekonomi. Sehingga  Departemen Luar Negeri di Amerika Serikat mengakui bahwa Sukarno lebih nasionalis ketimbang Komunis.

Namun sengketa Irian Barat menimbulkan dilema bagi Amerika. Satu sisi Belanda adalah sekutu dekat, di sisi lain Amerika pun tengah berusaha menggandeng Indonesia. Akhirnya, Kennedy menekan Belanda di belakang layar untuk mundur dari Irian Barat. Mundurnya Belanda membuat perjanjian kerjasama Freeport dengan East Borneo Company mentah kembali.

Berdasarkan penyerahan Papua ke Indonesia oleh Untea, maka niat Amerika untuk ambil emas Papua semakin mulus. Amerika tidak lama menunggu, lima tahun kemudian tepatnya 1967 Amerika dan Indonesia menandatangani kontrak ambil emas di Papua. ketika UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss, dan didektekan oleh Rockefeller, disahkan tahun 1967. Tentu untuk kedua kalinya orang Papua tidak dilibatkan lagi. Padahal areal operasi tambang ini di Papua.

Konsekuensi  kontrak kerja antara Amerika dan Indonesia akhirnya Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat Papua ( Pepera) terjadi semacam simbolis untuk mempertegas kontrak yang sudah terjadi dua tahun sebelum pelaksanaan Pepera tahun 1969.

Melihat skenario balas jasa antara Indonesia dan Amerika yang mengabaikan keterlibatan Orang Papua maka orang Papua hendak menggugat sejarah Pepera yang menjadi simbolis penyerahan secara resmi dari Untea ke Indonesia.
Adalah International Lawyer for West Papua (ILWP) di London, Inggris juga adanya  peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat Australia-Pasifik adalah upaya untuk mempersoalkan scenario penyerahan Papua ke Indonesia.

Dukungan bahwa 1 mei 1962 tak demokratis dating dari Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres Amerika. Pada 14 Februari 2008, telah  melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,   “…Referendum (PEPERA 1969) bagi orang  Papua tidak pernah dilaksanakan.

Sebelumnya Pada 19 Juli 2002 silam,   34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen   PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut:  “PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia.

Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969.

Menaggapi adanya upaya  mempertanyakan sejarah 1 mei 1962 silam,  Satu pelaku peserta pelaksanaan Pepera, Ramses Ohe berpendapat Pepera Tahun 1969 tidak bisa diganggu gugat lagi. Bisa saja diperdebatkan proses 1 Mei 1962 dan dapat  dibawa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), namun ingat boleh  yang membawa harus sebuah Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Papua bukan sebuah Negara anggota PBB.

Saat ini Papua telah menjadi bagian Pemerintah Indonesia sejak 1969 sehingga orang Papua perlu dilibatkan dalam berbagai kebijakan Negara untuk pembangunan Papua karena sejak Papua masih dalam Pemerintah Belanda misalnya Konfrensi Meja Bundar dan Perjanjian New York, Papua dalam pemerintahan orde Lama, Orde Baru, Orde reformasih seperti undang-undang Otonomi Khusus hingga kini adanya kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua (UP4B)  terus tidak melibat orang Papua.

Jika Pemerintah dalam mengambil kebijakannya selalu terus tidak melibatkan orang Papua  maka tentu penolakan orang Papua terhadap kebijakan Negara serta orang Papua tidak merasakan bagian dari Indonesia terus akan ada.

Oleh: John Pakage (Facebook)

“UNTUKMU POLITIKUS BIROKRAT PAPUA”

Unknown | 00.52 | 0 komentar
“UNTUKMU POLITIKUS BIROKRAT PAPUA”

Kami tidak butuh ungkapan bela sungkawamu birokrat, kami tidak butu kritikan pedismu legislatif

kritikan dan rasa berkabungmu tak akan hidupkan kami kembali lindungilah orang papua dengan tugasmu birokrat

Ukirlah jasamu legislator Tentang Perlindungan Hak Hidup Orang Papua Tentang Perlindungan Hak Ulayat Orang Papua Tentang Perlidungan dan Pelestarian Budaya Papua

Agar kami Dapat menggenggam kebebasan hidup Sembari Nikmati Mentari pagi Diatas Bumi Cederawasi Tanpa tekanan kekerasan Dibalik Perangkap sistim Penjajahan

Nyawa Rakyat Papua diujung Sengsara Mandulnya Legirlator Papua Seakan menyuburkan Pembantaian

Dari Puncak Kepunahan Kami Berseru Hai MRP Apakah Kau Buta Dimana suaramu Disini Anak Adat Papua Terperangkap Laras M 16

Sang Penyambung Lidah Rakyat Papua Ngoceh kala HAM Berat Terjadi Namun sayang hanyalah kata Yang kian berlalu

Mengapa Eksekutif Papua Membisu Saat Timah Panas Aparat Keamanan Menembus tubuh rakyat Papua Saudara kandungmu sendiri itu.

“Kritikanmu Adalah Pelitaku”

Oleh:Tinus Pigai Pedalaman Gunung (FB)

NABIRE KOTA SAMPAH

Unknown | 00.32 | 0 komentar
Kabupaten Nabire yang terletak di teluk cenderawai itu, sudah beberapa kali mengantikan nama dengan berbagai julukan sesuai dengan apa yang sedang terjadi di kota nabire. dulu nabire dikenal kota singkon, setela kota singkong diruba lagi dengan sebutan kota emas dikala itu nabire diisukan banyak emas. masa emas habis sekarang nabire dijuluki kota jeruk manis yang saat ini sedang tren dan terkenal manis, bagaikan semanis perempuan melanesia.

namun dengan kondisi rill saat ini terbalik, tidak seperti dulu dengan sebutan atau juukan yang mengangkat derajad kota nabire. kota nabire yang merupakan kota/kabupaten induk yang telah memekarkan berbagai kabupaten itu tidak menunjukan eksistensinya lagi dalam berbagai bidang. hal kecil namun bisa membawa dampak yang akan merusak citra dan prestise kabupaten nabire itu, bisa dilihat dari berserakannya sampah dimana-mana.

sampah saat ini bisa dilihat diberbagai tempat sepertinya di pusat pembelanjaan atau pasar yang setiap hari banyak pengujung dari berbagai tempat. saat ini sampai seakan sebuah bukit yang tidak bisa di pindahkan. di tempat jualan mama-mama papua samping kiri-kana sampah masih berserakan, tidak ada petugas yang mau membersikan sampah-sampah itu. dinas kebersihan kota hanya perhiasan di dalam birokarasi, datang dan pergi hanya memenuhi kebutuhan pribadi.

terutama sampah bisa dilihat di pasar karang yang semakin hari semakin padat sehingga sampah mengambil alih tempat penjualan mama-mama papua. mama-mama papua tidak pedulih lagi dengan sampah atau tidak penting, bagi mereka (mama-mama papua) yang penting bisa menjual hasil kebun untuk memenuhi nafka hidup dan membiyayai anak mereka yang sedang sekolah. sampah bukan hanya di pasar karang, namun sampah masi banyak sepertinya di oyehe pusat jantung kota yang kerapkai orang mau bepergian harus melewati oyehe.

selain di oyehe sampah masih banyak yang berserakan di kali bobo pusat dimana kali bobo juga menjadi pusat perbelanjaan. selain itu sampah masih full di pasar sore serewini. di sudut kiri-kanan badan jalan serta di dalam pun masih berhamburan baik sampah organik maupun sampah non organik. jika sampah dibiarkan terus maka akan membawa hal-hal yang merugikan tubuh dan akan menggangu kesehatan manusia, terutaman bagi mama-mama papua yang berjualan di atas sampah maupun di samping sampah. dan satu efek buruk, kalau banyak sampah nantinya banyak pengunjung atau pembeli akan rasa malas karena banyak sampah dan bauh kurang sedap atau bauh yang merugikan kesehatan tubuh manusia. dengan demikian penghasilan mama-mama puan akan menurun tidak seperti yang mama-mama papua harapkan.

pemerintah kabupaten Nabire melalui dinas kebersihan umum segera mengambil langka untuk menanggulangi sampah-sampah yang berserakan di pasar-pasar. sudah jelas beberapa pasar terletak di jantung kota seperti pasar karang, pasar oyehe dan pasar kali bobo masi tertumpuk dengan sampah. sampah perlu di bersihkan atau diangkut dengan terek sampah yang sudah ada.

agar orang-orang yang berkunjung atau berpergian ke kota nabire melihat kebersihan dan satu nilai positif. selain nilai positif menjaga kebersihan itu sangat penting untuk masa depan dan berlangsungan hidup, terutama bagi mama-mama papua yang selalu mengais nafka hidup.

"KEBERSIHAN STENGAH DARI IMAN"

Oleh:
Yakobus M. Dekepa

Dibalik Penjara Hanya Untuk Keadilan

Unknown | 10.22 | 0 komentar
Secara kasat mata, kualitas demokrasi Indonesia saat ini mengalami ujian yang cukup berat. Dalam kurun beberapa tahun belakangan ini, tercatat berbagai gerakan penyampaian pendapat dari warga Negara mengalami tekanan baik bersifat pembubaran, pelarangan bahkan kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana. Dalam pidana tersebut memanfaatkan berbagai pasal-pasal haatzaai artikelen (hukum produk kolonial Belanda yang masih di Indonesia) dan lese majesty serta pasal-pasal “karet” lainnya yang masih berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut secara massif dilakukan dalam upaya membungkam kritik yang dilakukan oleh warga negara di Indonesia khususnya oleh aktivis mahasiswa dan pemuda pro – demokrasi.
Tindakan pembungkaman atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam kurun beberapa waktu dari era 1990‘an – hingga sekarang terus menghantam aktivis mahasiswa dan pemuda di Papua.
Kejahatan‖ apa yang mereka lakukan? mereka tidak mencuri barang tetangga atau di toko. mereka tidak mencuri triliunan uang rakyat. Mereka juga tidak merusak harta benda orang lain atau menyerang seseorang secara fisik. mereka tidak memperkosa, menyiksa, ataupun membunuh seseorang. mereka tidak melakukan pengeboman terhadap masyarakat yang tidak berdosa. Mereka hanya menyampaikan aspirasi secara damai tanpa menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Tapi, mereka harus dijerumuskan ke dalam bui.
Beberapa penjara di Papua, tahanan politik yang lebih sering mendapatkan kekerasan di dalam penjara. Tahanan politik di Papua diberikan stigma ‗‘separatis‘‘. Jumlah tahanan politik di Papua paling banyak dikenakan dengan hukuman pidana pasal ‗‘Makar‘‘.
Tindakan pidana makar merupakan suatu fenomena yang ada dalam suatu Negara. Hal ini juga disebut kejahatan konvensional, yang telah ada sejak dulu. Makar merupakan kejahatan terhadap keamanaan negara dan termasuk dalam delik politik. Makar memiliki unsur yang sama dengan percobaan, yaitu niat dan permulaan pelaksanaan. Perbedaannya, pada makar tidak ada alasan penghapus penuntutan. Pada percobaan, bila pelaku membatalkan niat jahatnya maka hapuslah penuntutan pidana terhadap perbuatan tersebut. Perbedaan lainnya, makar memiliki kekhususan pada objeknya.
Objek makar yaitu :
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Kedaulatan Negara
3. Pemerintah
Apabila gerakan makar berhasil dilakukan dan didukung oleh rakyat, maka makar dijadikan sumber hukum abnormal. Jika, gerakan makar gagal maka sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana makar sebagaimana tercantum dalam KUHP, yaitu pasal 104 tentang serangan terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 106 tentang separatisme atau usaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia dan menundukkan diri pada negara lain (yang menjadi objek dalam pasal ini adalah kedaulatan negara), pasal 107 tentang usaha menggulingkan Pemerintahan dengan maksud ingin menggantikan posisi orang yang di gulingkan, pasal 108 tentang melawan terhadap pemerintahan yang sah tanpa maksud ingin menggantikan posisi dan perlawanan ini menggunakan senjata, serta pasal 110 tentang konsipirasi dengan hukuman kurungan sekurang-kurangnya 10 – 20 tahun.
Saat ini ada 24 tahanan politik kasus makar di Papua yang divonis dengan hukuman pidana setelah menyampaikan ekspresi secara damai dan menaikkan bendera bintang kejora.
Kasus Wamena , 04 April 2003
Mereka ketika ditahan secara paksa oleh aparat dengan tindakan kekerasan secara semena – mena. Hal ini terjadi terhadap tahanan politik kasus pembongkaran senjata markas kodim di Wamena. Penyisiran yang dilakukan oleh aparat di Wamena kota dan sekitarnya dalam kasus pembobolan gudang senjata markas kodim 1702/Wamena, dalam melakukan pengejaran TNI/POLRI melakukan penyisiran dan penangkapan sewenang – wenang kepada masyarakat sipil dan mereka yang dituduh melakukan pembobolan gudang senjata diminta untuk menandatangani surat penahanan secara paksa. Dalam hasil penyisiran aparat sengaja menangkap masyarakat sipil yang tidak bersalah berjumlah 9 orang. Dalam penangkapan tersebut 9 orang yang ditahan mengalami penyiksaan yang sangat berat saat berada dalam tahanan polres Wamena. Mereka disiksa dan dipukul sehingga menyebabkan salah satu dari mereka yaitu Yapenas Murib, umur 32 tahun, meninggal akibat penyiksaan oleh TNI/POLRI didalam tahanan polres Wamena. 8 tahanan ini dituduh telah melakukan pembobolan gudang senjata dan hukuman vonis yang diberikan oleh pengadilan dikenakan dengan pasal makar yang tuntutan hukumannya yaitu 3 orang dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan 5 orang dengan tuntutan hukuman 20 tahun. Namun, salah satu dari mereka yang mendapatkan hukuman 20 tahun melarikan diri dari lapas Wamena yaitu Des Wenda umur 25 tahun. Ketakutan dari Pemerintah Indonesia dan TNI/POLRI melihat bahwa salah satu dari tahanan ini melarikan diri, maka 6 orang diantara mereka dipindahkan ke lapas Abepura,15 Desember 2004. Satu dari mereka tetap tinggal di lapas Wamena yaitu Kanius Murip umur 65 tahun dengan hukuman seumur hidup.
Dalam pemindahan para tahanan di lapas Abepura, sempat terjadi perlawanan antara masyarakat Wamena dan aparat, masyarakat Wamena menginginkan agar mereka tetap berada di Lapas Wamena. Didalam lapas Abepura sendiri terjadi kelebihan penghuni. Pada 17 Desember 2004, ke-enam tahanan politik ini di pindahkan ke Lapas Gunung Sari Makassar. Merasa jauh dari keluarga membuat mereka tidak pantang – menyerah dalam menjalani masa hukuman dibalik terali besi, di Lapas itu sendiri mereka tidak pernah diperlakukan buruk oleh petugas maupun sipir penjara dan selalu diperhatikan oleh para aktivis Papua yang menimbah ilmu di kota Makassar yang sering melakukan kunjungan seminggu. Dalam pelayanan medis, salah satu tahanan politik tidak mendapatkan fasilitas yang memadai sehingga terlambat diberikan pertolongan, akhirnya Michael Haselo meninggal dunia, 28 Agustus 2007. Jenazahnya dikirimkan pulang ke Wamena.
Dengan melihat kondisi tahanan yang meninggal, para aktivis Papua di Makassar mendesak agar beberapa tahanan politik yang ada di Lapas Gunung Sari Makasar untuk segera dipindahkan ke Papua. Karena, tidak ingin terjadi kasus yang sama seperti Michael Haselo. Desakan ini didengar oleh Menteri Hukum dan Ham, Andi Mattalatta. Sehingga, 5 (lima) tahanan politik ini dipindahkan ke Biak ,31 Januari 2008. Juga 2 (dua) tahanan dipindahkan ke Lapas Nabire, 3 Maret 2008.
Kasus Pengibaran Bintang Kejora, 01 Desember 2004.
Filep Karma berasal dari Biak, 50 tahun. Dia menjadi narapidana politik kasus pengibaran bendera Bintang Ke-jora di Lapangan Trikora, Abepura dengan hukuman 15 tahun penjara dan dikenakan pasal makar yang juga mendapatkan perhatian dari Amensty International yang menyebutkan bahwa dia adalah tahanan hati nurani yang berjuang dan berdemokrasi secara damai.Kekerasan terhadapnya, terjadi dari awal penangkapan, dia dipukul dengan rotan dikepala dan tangannya dipelintir kebelakang oleh aparat keamanaan yang menangkapnya pada 01 Desember 2004, Dalam aksi damai pengibaran bendera Bintang Kejora. Pada maret 2005, dia dipukul oleh salah satu petugas Lapas, Abraham Fingkreuw pada bagian pelipis kanan dan kepala bagian belakang. Pada saat dia mengalami kendala kesehatan pada tanggal 06 Agustus 2009, dia tidak diberikan pelayanan medis yang memadai. Bahkan, seminggu merasakan kesakitan di dalam penjara. Dia dilarikan ke RSUD DOK II, 18 Agustus 2009. Dari keterangan dokter yang menanganinya, dia menderita pembesaran pada ginjal kiri dan kanan dan harus dirujuk di RS PGI Cikini – Jakarta namun sampai saat ini masih berada di Jayapura karena belum ada tindakan dari Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua untuk kelanjutan perawatan medisnya ke Jakarta.
Kasus 16 Maret 2006
Ferdinand Pakage berasal dari Nabire, 23 tahun, kini menjadi narapidana politik. Dia adalah korban penyisiran kasus Abepura 16 maret 2006. Hukuman pidana yang diberikan padanya adalah 15 tahun dan dituduh membunuh seorang petugas kepolisian pada saat bentrokan demonstrasi terjadi. Dia mengalami kebutaan dimata sebelah kanan. 22 Sepetember 2008, Dia dipukul secara bergiliran oleh tiga orang petugas Lapas yaitu: Victor Apono, Herbert Toam dan Gustaf Rumaikewi. Tanpa sadar, Herbert Toam memegang anakan kunci sambil mengenggam dan meninju mata sebelah kiri Ferdinand hingga berdarah. Matanya buta disebelah kanan, dan sampai saat ini Ferdinand tidak diperhatikan hampir 1,8 tahun. Kalapas Abepura yang lama, Anthonius Ayorbaba menganggap ini masalah kecil, tanpa berpikir bahwa mereka telah menghilangkan salah satu mata manusia.
Kasus, Aksi Damai 16 Oktober 2008
Buchtar Tabuni berasal dari Wamena, 30 tahun. Dakwaan yang diberikan adalah ‗‘Makar‘‘. Pemukulan Buchtar Tabuni terjadi pada 28 Januari 2009 dan 27 November 2009. Dia mendapat perlakuan penyiksaan, 28 Januari 2009 oleh seorang petugas Lapas Abepura ,Adrianus Sihombing. Pemukulan pada bagian pelipis mata sebelah kiri mengeluarkan darah dan tanpa diobati. Kemudian dipindahkan kembali ke tahanan Polda Papua, guna menyembunyikan tindakan kekerasan tersebut dari kedatangan Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan HAM RI yang berkunjung pada 29 Januari 2009. Pemukulan kedua, 27 November 2009 karena mengeluhkan pemadaman air yang hampir tiga hari di Penjara Abepura dan dia dipukul oleh dua anggota TNI yang saat itu sedang masa tahanan di tempat yang sama.
Kekerasan di Lapas Abepura
01 Febuari 2009, beberapa tahanan politik yang melihat Buchtar dipindahkan ke Tahanan Polda Papua, contohnya Yusak Pakage, meminta tanggung jawab dari petugas, Adrianus Sihombing, yang melakukan pemukulan terhadap Tabuni. Adrianus merasa tersinggung dan mendorong Yusak sehingga kacamatanya pecah dan patah juga pelipis sebelah kirinya mengeluarkan darah. Petugas Lapas (Elly Awie, Yahya Apnawas, Pineas Kubia dan Pecky Wanda) pada malam hari datang ke sel tahanan Yusak dan petugas memaksa dia untuk mencopoti pakaian yang dikenakan. Dengan berbadan kosong dia dipindahkan ke sel isolasi bersama beberapa tahanan politik lainnya, yaitu; tahanan politik lain yaitu: Selpius Bobii, Chosmos Yual, Elias Tamaka, Nelson Rumbiak, dan Ricky Jitmau. Dalam sel isolasi selama 4 hari, mereka tidur diatas lantai semen yang penuh dengan kotoran manusia, berbau, tidak ada cahaya matahari, gelap, tidak diberikan makan selama dan hari dan pada hari ketiga mereka diberikan makanan. Pada saat itu petugas Lapas juga mengeledah dan membongkar kamar para tahanan. Petugas membakar transkrip nilai dari smenster I – VII dan skripsi milik Elias Tamaka salah satu aktvis kasus 16 Maret 2006, juga Ijasah strata – 1(S1) beserta paspor milik Yusak Pakage dibakar di Lapangan oleh Petugas Lapas ; Yosef Yembise, Gustav Rumakewi , dan Irianto Pakombong.
Kepala seksi pembinaan dan pendidikan, Yosef Yembise,SH.M,Hum. Dia memukul dan meninju NelsonRumbiak , Chosmos Yual dan beberapa tahanan lainnya tepat dikepala bagian belakang. Karena Yusak masih merasakan sakit sejak pemukulan awal yang terjadi dan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya secara baik, Yusak diseret seperti hewan dilantai sambil menarik tangan dan rambutnya oleh petugas.
Tekanan psikologis juga terjadi kalapas Abepura, Ayorbaba mengancam ‘‘tahanan politik akan di pindahkan ke tahanan militer‘‘.
Kondisi penjara di Papua
Kondisi yang terjadi di Indonesia diakhir tahun 2005 bahwa seluruh rumah tahanan dan penjara di Indonesia sudah tidak layak huni karena kelebihan penghuni. Dapat disamakan juga dengan kondisi beberapa penjara di Provinsi Papua. sangat memprihatinkan dan masuk dalam kondisi tidak layak. Penjara yang layak hanya ada di lapas narkotika Doyo – Baru (Sentani) dan Lapas Nabire. Penjara yang tidak layak huni, Misalkan : bangunan dan plafon Lapas Abepura sudah sangat rendah sehingga penghuni narapadina di dalam sangat sulit mendapatkan udara dan sinar matahari dan juga kondisi air yang sering mati sampai berhari – hari; tidak ada listrik dan sering memakai genset kalau lampu mati sore hari di Lapas Timika, dan di Lapas Merauke, saat hujan air sudah masuk sampai ke dalam kamar – kamar penghuni.
Kekerasan secara fisik dan non – fisik dilakukan oleh para petugas terhadap tahanan politik didalam lapas Abepura. Pembiaran terhadap Ferdinand Pakage dan Filep Karma merupakan salah satu pelanggaran HAM dalam bidang kesehatan. Padahal UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bertanggungjawab atas kesehatan semua narapidana dalam berbagai penjara Indonesia.
Hak – hak para tahanan di Papua sangat diabaikan dan juga mendapat perlakuan yang sangat buruk dari petugas Lapas. Hal ini juga tidak ada tanggung jawab dari pemerintah maupun Departemen Hukum dan HAM bagi para pelaku – pelaku kriminal yang melakukan kekerasan didalam tahanan.
Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Ham. Dalam kunjungannya ke Lapas Mataram, 5 desember 2009. Dia mengatakan ‗‘hak-hak dasar yang paling utama harus diperoleh oleh para penghuni Lapas adalah kebutuhan air, makanan dan jaminan kesehatan. Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa menteri seperti Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk bekerjasama dalam memberikan pelayanan dan pembinaan kepada penghuni Lapas‘‘.
Dalam bidang kesehatan, Menteri Hukum dan HAM juga bekerjasama dengan Menteri Kesehatan dalam hal pemberian pelayanan perawatan dan pengobatan kepada penghuni Lapas yang mengalami gangguan kesehatan secara gratis di rumah sakit umum (RSU) milik pemerintah. Tapi, ini tidak berjalan sebagaimana baiknya di tiap – tiap lapas di provinsi Papua. Desakan dari pihak Internasional bergulir untuk Indonesia agar membebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat dan memberikan kebebasan berekspresi, bagi para aktivis pemuda dan mahasiswa pro demokrasi—Papua.
MULUT KAMI DIBUNGKAM OLEH PRODUK HUKUM PENJAJAH
Kebebasan berekspresi punya peran sangat mendasar dalam demokratisasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik dimana masyarakat memilih sendiri pemerintah yang mereka inginkan dan agar pilihan masyarakat tersebut merupakan pilihan yang dibuat rasional berdasarkan informasi dan bermakna, maka perlu ada kebebasan berekspresi.
Kebebasan berekspresi penting karena membuka pintu untuk terjadi pertukaran pemikiran, diskusi yang sehat dan perdebatan yang berkualitas. Kemudian, dengan adanya jaminan terhadap kebebasan berekspresi memastikan munculnya gagasan serta terobosan yang dibutuhkan demi memajukan kesejahteraan masyarakat. Memang, ekspresi bukan hal yang absolut. Standar Internasional hak asasi manusia mengakui adanya pembatasan terhadap kebebasan berekpresi. Pembatasan ini dapat dilakukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, moral dan kesehatan umum. Kebebasan berekspresi untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, pada dasarnya legal dan dilindungi oleh UU. Dalam UU No 12 tahun2005 (International Convenant On Civil And Political Rights), pasal 19, 21, dan 22 yang pada tahun 2005 sudah diratifikasi oleh Pemerintah juga disebutkan bahwa ‗’hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (pasal 22).
Secara eksplisit – normatif kebebasan ekspresi atau kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum diatur dalam pasal 2 UU No 9/1998. ‗‘ Setiap warga negara, secara perorangan atas kelompok, bebas menyampaikan sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi, berbangsa dan bernegara”. Keberadaan beberapa ketentuan perundang – undangan ini melegitimasi bahwa kebebasan berekspresi sah dan legal secara hukum.
Pengekangan terhadap kebebasan berekspresi berujung kepada pola kekerasan yang dilakukan oleh Negara(Aparat). Tindakan yang dilakukan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, dapat dianggap sebagai tindakan negara. Jadi kekerasan yang dilakukan penguasa, dapat disebut sebagai kekerasan oleh negara. Padahal, pemeliharaan keamanaan dalam negeri melalui upaya penyelengaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,UU No 2 Tahun 2002.
Berbagai motif tindakan kekerasan yang telah dilakukan Polisi dalam rangka penegakan hukum selalu mengacu pada diskresi dan prosedur ketetapan (protap) kepolisian yang notabene kebijakan internal itu ditafsir secara luas untuk diri sendiri institusi polisi. Jadi diskresi maupun protap polisi merupakan kebebasan mengambil kepantasan dalam setiap situasi yang dihadapi, menurut pertimbangan dan keyakinan dirinya atau keyakinan pemimpinnya.
Hukum Indonesia sama sekali tidak bisa menyentuh dan menyelesaikan problem kekerasan yang terjadi baik di Papua maupun juga terjadi terhadap mahasiswa Papua yang melakukan aksi – aksi demonstrasi diluar Papua misalnya di Jakarta, Semarang, Surabaya, Jogja, Bali, dan Makassar.
Menjadi aneh pada aksi mahasiswa dan pemuda Papua pada 16 Maret 2006 lalu, yang kemudian secara sepihak dituduh brutal oleh polisi. Padahal selama ini institusi aparat keamanaan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas tumbuh suburnya kekerasan di Papua. Dan tuduhan brutal tersebut, seakan menjadi legitimasi aparat untuk bereaksi sangat keras di lapangan dan bahkan sampai ke tingkat penyidikan terhadap para mahasiswa yang ditangkap dalam kasus 16 Maret 2006.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa politik kekerasan dengan mengeksploitasi kekuatan hukum dan aparat – aparat penegak hukum masih juga digunakan. Ini merupakan eksploitasi yang paling lengkap dan sedang terjadi, eksploitasi dimana modal sangat berkuasa. Mulai dari tambang emasnya, sampai berkuasa mempengaruhi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan represif terhadap potensi ancaman keberlangsungan penambangan mineral.
Aktivis pro – demokrasi di Papua yang selalu menda-patkan pembungkaman. Berbagai tuntutan pidana diberi-kan kepada aktivis yang melakukan demonstrasi secara damai di kenakan dengan pasal 160 jo (menghasut) , pasal 170 jo (kejahatan terhadap ketertiban umum), pasal 214 KUHP (pengeroyokan/melawan petugas) dan juga pasal 106,108,dan 110 (makar) ketika para aktvis melakukan demonstrasi dan menaikkan bendera ‗‘Bintang Kejora juga memakai tanda berlambang bendera separatis di pamflet, spanduk , gantungan ponsel, serta tas dan meneriakkan yel – yel ‗‘Papua Merdeka‘‘ atau menyuarakan ‗‘memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ‘‘ itu langsung ditangkap oleh aparat dan diminta keterangan. Melihat masih terjadinya polemik dengan PP No. 77/2007, pemerintah daerah, DPR Papua dan MRP harus berkomitmen kuat menyelesaikan masalah lambang daerah. (Jika pemerintah daerah tidak menginginkan rakyat Papua menjadi korban terus-menerus karena bendera Bintang Kejora). Dalam proses penyidikan, pihak berwenang melakukan berbagai taktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap para tergugat.
Produk hukum pidana akan menjadi salah satu tolak ukur apakah negara semakin melindungi hak asasi manusia dan menyehatkan demokrasi ataukah mengesahkan aparat penegak hukum yang sewenang – wenang dan buas.
Peristiwa 16 maret 2006 adalah fenomena praktik kekerasan terhadap Aktivis pemuda, mahasiswa dan Rakyat Papua menolak keberadaan PT. Freeport. Hal ini menjadi pelajaran paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk kembali memerdekakan rakyat dari penjajahan ekonomi dan politik, seperti yang pernah di lakukan oleh VOC dahulu. Untuk lembaga Kepolisian, sudah saatnya mengembalikan fungsi Kepolisian yaitu mengayomi masyarakat dan benar – benar mengakkan hukum yang berprespektif Hak Asasi Manusia. (Sasori86/Isen/Saren)


Perjuangan Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan Papua, Butuh Organisasi Yang Solid

Unknown | 10.17 | 0 komentar

Perempuan Papua: Ekspresi  perlawanan melalui cara berpakaian adat
Perempuan Papua: Ekspresi perlawanan melalui
cara berpakaian adat
Setiap tanggal 25 November, Perempuan di dunia memperingati hari internasional anti kekerasan terhadap perempuan. Dimana, pada tanggal 25 November tahun 1960 di Republika Dominika, aktivis perempuan, kakak beradik keluarga Mirabal (Minerva, Patricia dan Maria Theresa) disiksa dan dibunuh secara keji oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Presiden Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut.
Tahun 1981 Kongres Feminis Latin Amerika dan Kepulauan Karibia mencatat dan memberi tekanan mengenai peristiwa itu. Kongres ini kemudian menyatakan bahwa kekerasan yang didasarkan pada jenis kelamin dan gender terjadi. Saat itu yang menjadi perhatian di antaranya adalah pemukulan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kongres Feminis itu kemudian memutuskan untuk mengenang 25 November sebagai Hari lnternasional anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kemudian, di tahun 1993, Kongres Feminis lnternasional mencanangkan bahwa setiap tahunnya selama 16 hari mulai 25 November hingga 10 Desember sebagai masa kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kampanye 16 hari ini merupakan aksi internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.       Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Aksi 16 hari dengan rentang waktu antara 25 November sampai 10 Desember tersebut sengaja ditentukan untuk menghubungkan secara simbolik peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan dengan  hari HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Di Papua, kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi, baik secara fisik maupun non-fisik. Apakah  kekerasan yang dilakukan oleh negara, kekerasan  rumah tangga atau kekarasan dalam bentuk lainnya. Jika melihat dari aspek kebudayaan, hal ini terkait erat dengan budaya patriarki di Indonesia dan khususnya yang masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat Papua. Ini merupakan  salah satu faktor bagi langgengnya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender secara umum.
Untuk soal ketidakadilan gender, dapat kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Misalnya, adanya pembagian-pembagian peran sosial-politik berdasarkan jenis kelamin atau adanya pandangan bahwa hanya laki-laki saja yang bisa memegang jabatan tertentu. Ironisnya, seringkali kita menyaksikan bahwa dalam proses perjuangan pembebasan nasional, hal ini juga terjadi. Misalnya, biasanya dalam organisasi, perempuan hanya diberikan tugas pada bidang keuangan, kesekretariatan atau logistik (urusan dapur) saja. Perempuan tidak diberikan ruang untuk memimpin rapat-rapat atau terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan tertinggi dalam sebuah organisasi.
Nah, pola pikir atau pandangan macam ini harus berubah, baik di kepala  kaum perempuan maupun laki-laki, sebab ini bentuk ketidakadilan. Patriarki adalah nilai-nilai lama yang mewakili sisistem feodalisme, dimana kaum perempuan masih diberikan tempat nomor dua atau masih berada di bawah laki-laki, atau secara lebih sadis lagi dianggap barang. Penghapusan tindak kekerasan bagi perempuan, sistem patriarki dan bentuk  ketidakadilan gender lainnya harus menjadi bagian dari program perjuangan kita, apalagi dalam konteks pembebasan nasional.
Karena itu pasti dibutuhkan pembangunan organisasi sebagai alat perjuangan bagi tercapainya penghormatan, perlindungan  dan pemenuhan hak-hak perempuan. Organisasi perempuan dimaksud, harus berperan juga untuk mendorong kaum perempuan berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan sekitarnya serta memahami akar persoalannya. Tidak hanya berwacana, mengetahui persoalannya, akan tetapi juga harus berpraktek untuk membesarkan organisasi perempuan. Sejalan dengan itu, potensi bagi  pembangunan organisasi perempuan harus ada di tiap basis (sektoral) dalam masyarakat sehingga perempuan yang kritis dan sadar akan ketertindasannya akan memperkuat perjuangan sektor dan rakyat secara keseluruhan.
Demi memerangi kekerasan terhadap perempuan, sekali lagi perlu di garis bawahi, aktivis perempuan wajib turun ke basis-basis massa rakyat dan secara bersamaan  mengorganisir kaum perempuan yang tertindas. Dengan turun ke basis kita akan lebih mengetahui dan mengenal situasi massa. Bekerja ditengah massa sambil memberikan arah atau perspektif perjuangan pembebasan perempuan.
Dalam hemat kami, pembangunan organisasi perempuan ini berperan penting dalam memajukan kesadaran laki-laki dan perempuan. Karena itu,  pendidikan politik yang berperspektif keadilan gender bagi perempuan maupun laki-laki harus menjadi program organisasi ini. Sehingga suatu saat, perempuan Papua tidak lagi sebagai sasaran korban kekerasan kaum laki-laki, tidak termarginalkan (dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan) dan menjadi lebih produktif dalam memajukan peri kehidupan rakyat-bangsa Papua.  (Sasori86)



Sumber:http://wenebuletin.wordpress.com/

Arnold C. Ap dan Group Mambesak, Penabur Spirit Nasionalisme Dari Panggung Budaya

Unknown | 10.02 | 0 komentar
Arnol Clemens Ap
untuk membangkitkan budaya orang Papua terhadap pengaruh budaya luar. Dengan kesadaran bahwa budaya Papua merupakan identitas orang Papua, namun semakin terkikis. Dan kalau tidak cepat ditangani, nilai-nilai khas yang menjadi ciri ke-Papua-an lama kelamaan akan punah. Melalui group ini, Arnold Ap, Sam Kapissa (Alm) dan Demianus Wariap Kurni juga aktif di Gereja Harapan Abepura, memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Untuk itu, mereka pun mengarang berbagai lagu rohani dalam bahasa Byak-Numfor. Bahkan di tahun 1972 Arnold Ap dan Sam Kapissa tergerak untuk membuat liturgi Gereja Kristen Injili (GKI) di Irian Jaya sesuai budaya Papua, dengan menggunakan musik dan lagu-lagu Papua, diiringi alat musik seperti gitar, jukulele dan tifa.

Dalam waktu tidak lama, gerakan pribuminisasi music liturgy dalam gereja ini mulai diterima oleh pimpinan GKI.Almarhum Arnold Clemens Ap, BA  adalah salah satu tokoh besar Papua yang berperan bagi lahirnya group Mambesak yang legendaris itu dan budayawan yang autentik. Dia dilahirkan di pulau Numfor pada 1 Juli 1945, anak kedua dari lima anak yang dilahirkan oleh Meljanus Ap dan Alexandrina Ap-Mofu. Arnold Ap mulai menempuh pendidikan di Jorgens Vervolg School (setingkat sekolah dasar) di Waupnor-Byak, lalu lanjut ke SMP dan SMA juga di kota Byak. Setamatnya dari SMA, Ia melanjutkan studi  pada lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura, dengan spesialisasi mengenai masyarakat Papua. Salah seorang pembimbingnya adalah Dr. Malcolm Walker, warga Australia yang ditugaskan UNESCO. Seperti ditulis Osborne, Walker mengajari Ap dalam bidang teknis dan berpendapat bahwa Ap adalah “orang yang baik dan berprinsip.”

Saat berkarya melalui lagu rohani itu, Kurator ini  sudah bertugas sebagai Kepala Museum Antropologi Uncen, museum yang waktu itu menjadi basis pengembangan seni dan budaya Papua. Ia berperan  besar mencari dana untuk mengumpulkan benda-benda budaya masyarakat Papua. Putra Numfor ini kemudian mempersunting Corry Ap-Bukorpioper dan menikah di Jayapura pada 5 Oktober 1974 dan mereka dikaruniai empat anak laki-laki: Oridek, Mambri, Erisam dan Mansorak.

Group Mambesak dibentuk oleh Arnold Ap dan kawan-kawannya di tahun 1978. Mambesak adalah nama burung Cenderawasih dalam bahasa Byak dan waktu itu Arnold lah yang mengusulkannya untuk dipakai sebagai nama group. Anggota group akhirnya menerima, sebab dianggap akan lebih populer di masyarakat Papua dibanding Manyori yang hanya sebagai burung suci bagi orang Biak-Numfor saja. Selain itu, dalam strata bahasa Byak yang lebih tinggi, Mambesak juga disebut Mambefor yakni burung yang bercahaya, suci, indah dan kicauannya sangat  membahana. Dimana karena kelebihannya itu, burung ini sangat menarik perhatian untuk diburu dan ditangkap sebagi hadiah bagi para bangsawan (pada masa lalu) atau orang-orang penting di Jakarta dimasa kekinian. Dalam pemaknaannya, burung ini dipandang sebagai perlambang bagi insan Papua yang selalu berbicara lantang tentang ketidakadilan bagi orang Papua, karena kelantangannya berbicara akan membuat dirinya juga bernasib sama dengan burung ini, dia akan diburuh dan dibunuh untuk memuaskan Jakarta.
Setelah terbentuk, kelompok ini berusaha mendokumentasi seluruh tradisi rakyat Papua dengan mengunjungi berbagai tempat di Papua, merekam lagu-lagu rakyat dan membuat katalognya, juga sering merekamnya kembali. Sejalan dengan itu, Arnold Ap dan Sam Kapissa mulai lebih banyak merangkul orang muda dari berbagai suku di Papua. Diantaranya Marthiny Sawaki, Max Werimon, Selviana Samber, Terry Djopari, Thony Wolas Krenak, William Kiryak dan masih banyak yang lain. Tanggal 23 Agustus 1978 anggota group ini berkumpul untuk membentuk kepengurusan. Saat itu Arnold Ap dipilih sebagai pimpinan group, Marthen Sawaki sebagai wakil, Yoel Kapissa sebagai sekretaris, Sam Kapissa sebagai penanggungjawab musik, Thony Karenak sebagai penanggungjawab tari dan yang menangani teater adalah Demi Wariap Kurni (sekarang bermukim di Belanda). Setelah itu, pentas perdana diadakan di Genyem atas undangan Bapak Mikha Manufandu, Camat Nimboran waktu itu. Moment penampilan perdana pada 5 Oktober 1978 itu akhirnya ditetapkan sebagai hari terbentuknya group Mambesak.
Anggota group kemudian bersepakat untuk secara rutin menampilkan lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua hasil galian mereka dalam pentas hiburan rakyat, di depan Lingkaran Abepura. Pada tanggal 17 Agustus 1978 mereka tampil di aula Uncen di Abepura dalam acara resmi pemerintah dan sejak itu Mambesak berulangkali menyayi dan  menari di halaman Museum Uncen. Itu sebabnya dulu Museum Uncen dikenal dengan sebutan “istananya Mambesak.” Dimana halaman Museum (Loka Budaya) Uncen dijadikan sebagai semacam pusat aktifitas seni-budaya. Setiap hari, selepas senja, masyarakat berkumpul di situ menyaksikan group ini menanpilkan lagu-lagu dan cerita rakyat yang diselingi dengan mop (cerita lucu). Seiring dengan itu, Arnold Ap pernah berpesan kepada kawan-kawannya untuk semaksimal mungkin menggunakan media (sarana) yang ada, menjangkau masyarakat sampai di  pelosok-pelosok tanah ini.
Sejak November 1978, atas usulan Ignatius Suharyo, ketua lembaga Antropologi Uncen waktu itu, Arnold Ap diangkat sebagai penanggungjawab siaran Pelangi Budaya (PB) dan Pancaran Sastra (PS) pada RRI Studio Nusantara V Jayapura, dimana program ini berjalan selama lima tahun. Arnold Ap dan kawan-kawan anggota groupnya secara resmi membawa nama lembaga Antropologi Uncen melalui program siaran radio tersebut. Mambesak menjadi semakin terkenal, berhasil manggali dan memperkenalkan budaya masyarakat Papua. Sebagian besar masyarakat Papua di tanah ini bahkan telah hafal benar jadwal siaran mingguan program tersebut.
Dalam festifal seni tari se-Papua yang diselenggarakan di Jayapura pada tahun 1978, dari 35 kelompok yang ikut saat itu, Mambesak lah yang mendapat juara pertama, lalu mewakili Papua ke event tingkat Indonesia  dan keluar sebagai juara faforit. Di tahun berikutnya group ini kembali mewakili Papua mengikuti pekan tari tingkat nasional Indonesia yang ketiga, dan tiga kali berturut-turut menjuarai festifal di Jayapura.
Nama Arnold Ap dan Mambesak semakin dikenal sampai ke dunia luar, sebagai group dan orang-orang Papua yang setia pada kebudayaan dan tanah kelahirannya. Rekaman lagu-lagu Mambesak laku dibeli banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka juga  dikenal karena ukiran batik, pahatan patung dan lainnya. Saat ada kunjungan pejabat pemerintah dari Jakarta ke Papua, group Mambesak selalu diundang untuk menampilkan lagu dan tari-tarian. Sebut saja saat kedatangan Menteri P & K Nugroho Notosusanto dan Ny Benny Murdani mengantarkan istri-istri atase militer dari 11 negara sahabat untuk mengunjungi Museum Uncen tanggal 11 November 1984.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, tujuan dibentuknya group Mambesak yang dipelopori Arnold Ap adalah upaya mempertahankan budaya asli Papua. Ini merupakan bentuk reaksi membentengi kebudayaan Papua atas kesimpulan bahwa cara kerja aparat resmi yang lebih mempromosikan dan mendominasikan seni-budaya dari luar Papua. Misalnya, Ap menilai bahwa “tari kreasi baru” yang mulai dipopulerkan di Papua pada waktu itu, sama sekali tidak berakar pada tari-tari rakyat Papua. Lagu-lagu popular Papua yang marak dinyanyikan secara diatonis dengan suara 1-2-3 pun dinilainya bertentangan dengan lagu-lagu asli Papua yang dinyanyikan oleh rakyat dengan suara minor.
Dikalangan rakyat Papua, group Mambesak dipandang sebagai barisan terdepan dalam usaha mempertahankan kebudayaan rakyat. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Mambesak telah memainkan sentimen persatuan dan  nasionalisme orang Papua. Kemunculannya  telah menjadi inspirasi bagi tiap daerah di Papua untuk berani menampilkan lagu dan tarian asli. Istana Mambesak menjadi tempat dimana banyak group Papua lainnya menampilkan lagu dan tari daerahnya dan kemudian didokumentasikan. Hal ini juga berpengaruh bagi munculnya banyak group lagu dan tari Papua dengan ciri khasnya masing-masing.
Oleh sebagian kalangan orang Papua, Arnold Ap bahkan kemudian dijuluki sebagai “Konor” atau semacam nabi orang Papua pada zamannya. Sebab Arnold Ap adalah seseorang yang dapat bermain gitar, menari, menyanyi sekaligus dapat melukis. Ia juga dipercaya telah melihat jauh ke depan tentang cita-cita nasionalisme rakyat Papua dalam politik Indonesia secara keseluruhan. Ap juga sempat bertemu dengan berbagai aktivis hak asasi manusia dalam kunjungannya ke Jakarta, dimana mereka yang ditemuinya itu sebagian besar diantaranya adalah orang-orang yang anti-Soeharto. Mereka mengagumi Ap dan mempercayai bahwa   Ap adalah dinamisator perubahan di Papua.
Disisi lain, meski pihak penguasa Indonesia mengakui pengaruh luas serta ketenaran Arnold Ap dan kawan-kawannya melalui group Mambesak. Ternyata, diam-diam mereka menyimpan kekhawatiran. Secara sepintas tekanan dari penguasa tampaknya memang berpengaruh besar terhadap diri Ap. Akhirnya pada tanggal 26 April 1984 Arnold Ap dibunuh setelah rekan satu groupnya, Eduard Mofu dibunuh empat hari sebelumnya (22 April). Berdasarkan hasil pemeriksaan diduga mereka dibunuh dengan cara disiksa sebelumnya lalu kemudian ditembak dan ditenggelamkan. Beberapa hari kemudian tubuhnya  diketemukan terapung tak bernyawa di pantai Base G.
Kematian Arnold Ap dan rekannya ini merupakan  gambaran represifitas dan kekejaman terhadap masyarakat Papua pada masa itu. Penguasa telah membatasi ruang gerak kebudayaan Papua dengan membunuh budayawan progresif Papua hanya karena mereka dianggap menghidupkan semangat nasionalisme Papua. Nasib Ap, Mofu dan personil lainnya ibarat seekor Mambefor. (Manwen)

Inspirasi Perjuangan Black Brothers

Unknown | 09.55 | 0 komentar
Group Black Brothers
GRUB BAND BLACK BROTHERS
Sewaktu pergerakan perlawanan dibawah tanah (dalam kota) yang diprakasai oleh budayawan Alm. Arnold Ap, para  seniman sering berbicara sekitar pembangunan jiwa nasionalisme Papua atas generasi muda Papua. Dari sana lahirlah kedua icon perjuangan Papua, yaitu MAMBESAK dan BLACK BROTHERS. Setelah kegiatan-kegiatan  kedua group music mulai tercium oleh intelejen penjajah, maka Black Brothers ditugaskan oleh Markas Victoria dibawah pimpinan Jendral Seth J.  Rumkorem untuk menyelundupkan kedua pelaku sejarah, yaitu Alm Bpk Eliezer Yan Bonay, dan Alm. Dirk Samuel Ayamiseba, masing-masing selaku Gubernur pertama dan Ketua DPRD-GR pertama. Mereka bersama group band itu menyelamatkan diri ke luar negeri, dan lebih banyak mengambil  bagian dalam Gerakan Papua Merdeka. Dalam pengasingan di Belanda, OPM menugaskan Black Brothers utuk membangun basisnya di Vanuatu bersama Rex Rumakiek. Mereka telah berhasil membangun basis dan telah  didirikan sejak  tahun 1983 sampai dengan hari ini.  Black Brothers juga punya asumbansi dalam memberikan dukungan lewat music untuk mendirikan negara Vanuatu.
Black Brothers , Group Band Inspirator
Lirik lagu-lagu itu  terus mengalir dan terkenang di hati rakyat Papua sampai kini. Melodinya yang manis, filosofis, dan harmonis,  adalah ciri khas dan gaya tersendiri. Black Brothers juga mengunakan instrumen tiup (brass-wind instrument) sehingga lebih berwarna selain itu dari sisi suara Ada vokalis utama, pemusik lain  ikut membentuk suara latar. Itulah keunikan sehingga banyak orang Indonesia bahkan manca negara mengagumi. BB sangat unik dan senang didengarkan karena mereka memainkan banyak aliran music yakni; beraliran pop, rock, funky blues, Jaz, Reggae dan juga keroncong. Black Brothers layak dicatat di buku sejarah musik pop Indonesia. Sewaktu mereka berada di luar, mereka juga menyanyikan banyak lagu lirik dan nada dapat  ditiru oleh artis lainya.
 Penyanyi-penyanyi yang dihuni oleh orang-orang dari timur (manado, Ambon dan Papua) yang melandaskan gaya perjuangan baru dan mengharumkan nama Papua itu telah hilang satu persatu. Ada yang termakan usia,  sakit dan juga karena dibunuh secara halus. Mereka adalah Hengky Sumanti Miratoneng, salah satu yang mendirikan Black Brothers pada tahun 1975 bersama Yohi Patipeiluhu (keyboard), Stevy Mambor (drummer), Amrey Kaha (saxophone), Agus Rumaropen (guitaris), Benny Betay (bassis).
Black Brothers adalah salah satu Group inspirator yang hidup dan menunjukan jati diri Bangsa Papua namun saat ini mejadi angan-angan bagi setiap musisi di Papua yang tidak mampu menciptakan dan melanjutkan perjuangan yang dilakukan Black Brothers.  Banyak musisi saat ini yang terjebak dengan Programer Keyboard yang sangat miskin kreatifitas yang menciptakan individualismes dan sangat jauh dari kwalitas group music. Padahal musik adalah napas dalam jiwa yang terekam melalui panca indra yang kemudian di latunkan dalam sebuah syair dan instrument (makna filosofis). BB Mampu menerjemahkan jiwa dan napas bangsa Papua yang di masa tahun 1970-an di jajah melalui praktek kekuasaan Negara yang kejam melalui kebijakan-kebijakan yang beraroma Militerisme. Banyak makna dari setiap lirik   BB yang  menceritakan kebebasan, keadilan, dan kemanusian.
Perkembangan peradaban Musik merupakan ukuran suatu bangsa dalam melihat perkembangan masyarakat. Papua saat ini mengalami degradasi ( kemunduran ) kreativitas seni musik yang bisa di katakan parah, karena minimnya regenerasi. BB Cuma dijadikan sejarah dan cerita dari masa ke masa, namun tidak menjadi inspirasi bagi generasi Papua saat ini untuk membuat banyak group musik yang lebih hebat dari masa BB dulu. Inilah titik kemunduran generasi saat ini, banyak group musik yang muncul tetapi tidak mampu menciptakan performa musik sesuai dengan perkembangan budaya dan Zaman. Munculnya komunitas-komunitas musik baik tradisional maupun yang modern saat ini  cenderung lebih meniru budaya bangsa lain( pemahaman sempit dalam meniru jenis/ aliran musik tertentu sperti;reggae, jazz, pop, blues, dll)
Minimnya ruang-ruang yang diciptakan oleh pencinta seni musik merupakan salah satu faktor terhambatnya kebangkitan peradaban musik di tanah Papua saat ini. Strategi membangun seni musik dalam sebuah Group band adalah kesadaran membangun suatu organisasi yang mempunyai program dan menghargai setiap individu yang ada didalamnya. Program tersebut lahir dari peradaban budaya dan perilaku perkembangan masyarakat Papua saat ini, sehingga akan muncul  ide-ide kreatif dalam membuat syair/lirik dan menentukan jenis musik sehingga musk tersebut memiliki jiwa yang memberikan pesan-pesan kepada generasi berikut. BB dimasanya mampu menemukan bentuknya, Bagaimana dengan generasi saat ini?! (Saren & Nasta)

Sumber:http://wenebuletin.wordpress.com/

Uskup dan Presiden Bagi Rakyat Miskin Tertindas

Unknown | 09.48 | 0 komentar
Fernando Armindo Lugo Méndez, Seorang Uskup yang kini menjadi Presiden bagi rakyat miskin Paraguay yang tertindas.   TEOLOGI Pembebasan  adalah sebuah dogma gereja yang mengajarkan tentang kemerdekaan sejati. Ini mengenai suatu indeologi tentang kemerdekaan yang diberikan Allah dan merupakan  rahasia satu-satunya kemerdekaan. Teologi yang mengajarkan pinsip-prinsip dan sifat Allah yang merdeka, mengasihi manusia dalam Yesus Kristus  dan memerdekakan manusia dalam segala bidang kehidupan – politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan agar manusia dapat  hidup dalam peri kemanusiaan sambil memuji dan memuliakanNya.
Teologi kemerdekaan yang dimaksud oleh Karl Barth sangat berbeda dengan teologi yang hanya bicara tentang neraka dan sorga yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kemerdekaan bukanlah semata-mata kebebasan memilih menurut kehendak hati,  melainkan kemerdekaan dari berbagai penindasan yakni perampasan tanah dan kekayaan alam, kekerasan, diskriminasi dan marginalisasi dan sebagainya yang dilakukan secara sistematis, sengaja maupun tidak sengaja, mengatas namakan negara, kelompok maupun individu yang merasa berkuasa.  Bukan juga Ideologi dunia merdeka yang lazim dijunjung tinggi  oleh orang–orang atau negara  yang berkuasa.  Kemerdekaan yang dimaksud lebih dari itu, merdeka sesungguhnya hidup bersama Allah dan sesama manusia dalam perikemanusiaan yang sejati.
Fernando Armindo Lugo Méndez  adalah orang yang menganut dan mempratekkan teologi pembebasan bagi “rakyat” di Paraguay. Pria kelahiran 30 Mei 1951 di  San  Solano,  Itapua, Paraguy ini menjabat sebagai kepala negara (presiden). Dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden 2008 dengan mengantongi suara 41 %. Sebelum terjun ke dunia politik, dia pernah menjadi uskup gereja Katolik Paraguay, kemudian mengundurkan diri dari kepemimpinan gereja untuk mencalonkan diri menjadi presiden atas permintaan dan desakan rakyat Paraguay.
Uskup ini dalam pelayanannya melihat persoalan umatnya secarah utuh, yakni mendalami persoalan-persoalan umatnya dari aspek politik, ekonomi dan budaya. Dia merupakan satu-satunya uskup yang menerapkan teologi pembebasan “teologi  kritis dan dialektik”. Dia benar-benar telah mendalami, merasakan dan juga mencari jalan keluar dengan cara memperjuangkan setiap hal yang menjadi persoalan umatnya.
Latar Belakang Fernando
Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas adalah seorang tokoh politik dari partai Colorado. Lugo juga memiliki latar belakang dari keluarga petani. Menamatkan pendidikan pada usia 17 tahun di sebuah sekolah milik Jesuit, kemudian bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion).
Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk Seminari. Hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengacara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977, ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun. Di tempat tersebut belajar banyak mengenai teologi pembebasan, sebuah cabang dari pemikiran Kristen yang berpendapat bahwa itu adalah misi gereja untuk melawan kemiskinan dan penindasan.
Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan keberpihakan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis, tetapi dia mengkongkritkan maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan berteori atau hanya bicara saja. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurutnya ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapisan bawah yang umumnya terlantar atau diterlantarkan.
Pada tahun 1987, kembali ke Paraguay kemudian mulai aktif membela kaum tertindas. Keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya Polisi rezim yang berkuasa meminta gereja untuk mengasingkannya. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar Licenciat dalam ilmu sosial. Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun dia menjabat sebagai uskup.
Konteks Persoalan Rakyat Paraguay
Paraguay memiliki tanah yang sangat luas, mulai dari Selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco Bolivia. Kenyataannya, tanah yang luas itu banyak  orang Eropa memiliki bersertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya lebih dari 80% sehingga dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri seperti saat ini dialami oleh rakyat Papua Barat.
Pendapatan utama negara ini bersumber dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk utama,  menyumbang lebih dari setengah hasil ekspornya, pada tahun 2007 mengjasilkan 2.390 juta dolar AS. Tingkat pertumbuhan ekonominya sebenarnya cukup baik, yaitu 6,4 persen per tahun. Jumlah penduduk hanya 6,5 juta jiwa, negara dengan luas wilayah 406.762 km persegi ini seharusnya bisa mensejahterakan rakyatnya. Namun karena negara menjual kepada pemilik modal dan dikuasai oleh kediktatoran selama 39 Tahun, korupsi dan nepotisme merajalela, dan lebih dari sepertiga penduduknya adalah petani tanpa tanah.
Paraguay memiliki dua perusahaan Hindricos, mengunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik di Brasil dan Argentina. Namun, banyak rakyat Paraguay  belum hidup dalam kegelapan, sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Kondisi ini menciptakan  Paraguai menjadi  negara paling miskin di kawasan Amerika Latin. Sekitar 60% warganya tergolong miskin, 32% berada dalam kemiskinan absolute. Masalah kesehatan, menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.
Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Mengorganisir petani dan bergabung dengan Ciudadana Resistencia (Perlawanan Sipil), sebuah serikat anti-Colorado partai politik dan organisasi sosial. Kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan  Partai Colorado  dan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang korupsi dan kekacauan ekonomi. Dia berjanji membersihkan korupsi dan mengangkat hak – hak penduduk asli Indian yang terpinggirkan.
Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup,  telah berteriak bersama umat, memperjuangkan hak-haknya yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri. Namun gerakan mobilisasi tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, seperti menghadapi tembok beton. Mekanisme korupsi sudah menjadi tradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem pemerintahan dan mengubah situasi  dari dalam.
Rakyat meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, Lugo mengajukan pengunduran diri sebagai uskup kepada Vatikan pada Januari 2005. Dia ingin terjun langsung dalam politik dan berjuang untuk mengatasi kemiskinan di negaranya. Paus Benediktus XVI terkejut saat mengetahui beberapa partai politik di Paraguay bermaksud mencalonkan Lugo sebagai kandidat dalam pemilihan Presiden. Namun permintaannya ditolak. Menurut Vatikan bila seseorang telah ditahbiskan menjadi pelayan Tuhan maka dia harus melaksanakan pengabdiannya seumur hidup hehingga menjadi presiden jelas melanggar tanggung jawab seorang uskup.
Hukum Kanon (kitab berisi dogma-dogma dalam Gereja Katolik) melarang para imam untuk berpartisipasi dalam partai politik maupun organisasi perburuhan.  Vatikan meminta agar, “dalam nama Yesus Kristus,” mempertimbangkan kembali apa yang telah dilakukannya. Kepala Konferensi Uskup Paraguay memperingatkan bahwa Lugo berisiko mendapat pengucilan. Lugo tetap mantap dengan pilihannya. “Saya mencintai gereja saya dan saya tidak ingin meninggalkannya. Saya memutuskan untuk melayani negara saya sebagai Presiden. Kalau ini mengganggu Bapa Suci, saya memohon pengampunannya,” kata Lugo. Atas pernyataannya ini ia terkena suspensi (sanksi berupa penghentian pelaksanaan tugas sebagai uskup yang ditahbiskan).
Tetapi pada Juli 2008, Vatikan mengubah keputusannya. Paus Benediktus XVI mengabulkan permohonannya untuk diberi status sebagai orang awam. Saat terpilih menjadi Presiden, mengangkat kakak Perempuannya Mercedes Lugo, untuk mendampinginya sebagai Ibu Negara Paraguay. Kemenangannya menjadi Presiden Paraguay menambah panjang barisan pemerintahan kiri di Amerika Latin.  Membawa Paraguay ke sistem soialisme, bergabung dengan Argentina, Brasil, Uruguay, Chili, Bolivia dan tentu saja Venezuela. Bersama 3 negara yang disebut pertama, Paraguay bergabung dalam grup perdagangan Mercosur. “Kemenangan Lugo segaris dengan iklim politik gerakan progresif di Amerika Latin,”
Lugo sering disebut ‘pastor merah’ atau ‘pastor si miskin’ lebih memilih disebut progresif dari pada Sosialisme. Perubahan yang dilakukan pertama kali saat menjabat sebagai presiden dengan menolak menerima gaji presiden bernilai 4.000 dolar AS atau sekitar Rp 37 juta per bulan. Gaji yang lebih rendah daripada gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkisar Rp 49 juta per bulan. Atau jauh lebih rendah dari gaji Presiden negara Indonesia sekitar Rp 62,5 juta per bulan.
Dia juga melakukan peningkatan pelayanan publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Dilakukan pula kontrol ketat atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah korupsi. Dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah, serta menciptakan kedaulatan energi. Presiden Lugo memiliki prinsip, “Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.’’.
Konteks  Teologi Pembebasan di Papua
Jika kita bertanya, apakah ada hamba Tuhan di Papua sama seperti Fernando?   Jawabanya tentu ada, mereka adalah  Dr. Benny Giay, Socrater Sofyan Yoman, Pater John Yonga, Pater Neles Tebay dan juga Uztad dan Haji Papua serta beberapa  pendeta yang lantang berbicara tentang penindasan dan perampasan hak rakyat Papua. Mereka adalah hamba Tuhan yang melihat umat manusia Papua dari semua aspek kehidupan,.Menerapkan teologi yang dialektis dan kritis, sesuai dengan kontek umat Papua supaya umat Tuhan di Papua tidak hanya bebas dari neraka tetapi bebas dari segala macam bentuk penindasan. Entah penindasan secara politik, ekonomi, budaya maupun secara rohani, sehigga terciptanya surga di bumi Papua.
Rakyat (umat) Papua membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memenuhi  rohani tetapi juga bisa  merasakan dan menjawab apa yang mereka rasakan. Mejadi pelopor seperti Lugo, seorang pemimpin yang mengorganisir basis dan turun ke kelas tertindas untuk memobilisasi massa dengan menjalankan prinsip – prinsip teologi pembebasan untuk melawan pihak rezim yang menindas dan merampas milik rakyat. Para hamba Tuhan yang tentunya memiliki basis (umat) yang besar. Dalam  konteks Papua, kaum yang tertindas adalah masyarakat adat, petani di kampung, peramu nelayan, kaum miskin kota, atau buruh yang berkumpul menjadi umat suatu gereja sehingga mereka punya tanggungjawab moral dan bagian dari misi gereja  untuk membebaskan umatnya dari segala  bentuk penindasan. Melakukan agitasi dan propaganda positif agar umatnnya bertindak menyuarahkan hak – hak mereka.
Sebaliknya, ada banyak Hamba Tuhan di Papua telah menyembunyikan kebenaran dibalik mimbar dan tidak melihat penderitaan umat secara menyeluruh. Mereka sebatas melihat jemaat dari perspektif persekutuan rohani semata. Ini terjadi karena  gerejanya dibangun dari uang pemerintah, atau dapurnya dijamin oleh uang persembahan para pejabat pemerintah. Mungkin karena diberi rumah dan kendaraan mewah, atau karena merasa umatnya sebagian besar adalah warga pendatang, sehingga takut berbicara mengenai keadilan bagi rakyat Papua. Atau jika Hamba TUHAN mengkritik pemerintah akan kehilangan semua yang di dapatkan.
Padahal, nilai kebenaran, keadilan dan perdamaian menembus semua perbedaan, suku, ras atau wilayah. Jika mimbar hanya berisi khotbah tentang sorga dan neraka tanpa melihat realita kehidupan umat, maka umat akan terus berada di lingkaran keterpurukan. Kekerdilan penafsiran mengenai keterlibatan gereja dan pendeta dalam politik adalah dosa, telah menjebak para pendeta (Hamba Tuhan) untuk tidak menyuarakan keadilan bagi rakyat Papua yang tertindas. Anehnya, mereka justru terkadang berpolitik dengan mengusung  calon gubernus, bupati/walikota di saat ada Pilkada. Ikut dalam pencalonan anggota parlemen hingga menerima uang  dan bantuan yang ternyata bermotif politik. Calon yang mereka dukung pun setelah berkuasa dalam pemerintahan yang menindas, ternyata tidak mampu menghapus penderitaan rakyat (umat) Papua. Inilah karakter para Hamba Tuhan kita hari ini…!!! (Igee-86 dan Saren).


Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger