Bintang Kejora Ditengah Pilpres : “Bendera Suci” Yang Tak Disucikan

Unknown | 02.24 | 0 komentar
Barang bukti Bendera Bintang Kejora yang ditemukan jelang Pemilu 9 April lalu. (Foto: Yunus Paelo)





















Meski telah dilarang, namun “Bendera Suci” itu tetap saja berkibar. Uniknya, ditengah Pilpres sekalipun, Bintang Kejora dinaikan tanpa ada yang menghalangi.

Seperti penggunaan lambang Bulan Sabit, Benang Raja, Bintang Kejora pun menjadi penanda makar yang kerap dikecam. Pelarangan ini muncul setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 77 tahun 2007, tertanggal 10 Desember yang mengatur tentang lambang daerah. Pelarangan penggunaan lambang Bintang Kejora tertuang dalam Bab IV di Pasal 6 ayat 4 yang berbunyi, “Desain logo daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi gerakan separatis dalam NKRI”. PP itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam penjelasan pasal tersebut, secara tegas pemerintah melarang penggunaan logo Bintang Kejora dan juga Burung Mambruk. Selain Bintang Kejora, yang juga dilarang, lambang dan logo Bendera Bulan Sabit di provinsi Aceh serta lambang Bendera Raja di Provinsi Maluku. Ketiga simbol tersebut dijadikan “Nafas” gerakan perjuangan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.
“Keterlaluan,” kata Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut menanggapi adanya pelarangan Bintang Kejora sebagai lambang daerah. Forkorus dalam sebuah media terkemuka menilai, pelarangan itu bisa memunculkan kembali isu merdeka di kalangan masyarakat Papua. Forkorus juga mengatakan, Bintang Kejora merupakan warisan kultural masyarakat Papua. “Ada nilai-nilai historisnya,” kata dia. Meskipun demikian, Wakil Ketua DPR Papua, Komaruddin Watubun mengatakan, “Kalau peraturan itu sudah keluar, ya mau apa lagi. Itu sudah aturan negara, jadi tidak bisa lagi memasukkan Bintang Kejora dalam Perdasus”.
Sedikit berbeda, Sekretaris Pokja Agama, Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), Pene Ipi Kogoya, S.Pd menilai, Bintang Kejora yang selama ini dijadikan sebagai lambang daerah bukan merupakan lambang makar. Pene meminta semua pihak, baik Pemerintah Pusat, DPR, Pemprov Papua, DPRP dan aparat penegak hukum untuk tidak memandang masalah Bintang Kejora secara fragmentaris melainkan komprehensif dan menyeluruh dari berbagai aspek. “Saya menegaskan, stop bunuh orang Papua dengan Bintang Kejora, karena semua ini sudah diatur dalam UU Otsus No 21 Tahun 2001. Dan semua pihak seharusnya melihat lambang daerah dalam bingkai UU Otsus tidak secara sepotong-sepotong,” tegas Pene.
Pene juga menjelaskan, pihak MRP pernah mengajukan draf Perdasus tentang Penggunaan Bintang Kejora, namun belum disahkan oleh DPRP hingga kini. Pene yang ketika itu duduk sebagai Wakil Ketua Pansus Bidang Pengkajian Draf Perdasus tersebut berharap, dengan adanya Perdasus tersebut, stigma politik negatif terhadap Bintang Kejora bisa dihilangkan dan bencana pertumpahan darah yang ditimbulkannya dihentikan. “Saya berharap ketakutan psikologis kalangan tertentu akan adanya pemaknaan lambang ini sebagai kedaulatan bisa dihindari karena semuanya sudah terjabar dalam UU Otsus,” tegas Pene.
Sejalan dengan Pene, Ketua MRP, Agus A Alua dalam pertemuannya dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida, di Jakarta, pernah membahas pula soal Bintang Kejora. “Kita menginginkan soal bendera Bintang Kejora ini diatur dalam Perdasus (peraturan daerah khusus) sebagai simbol kultural untuk bisa dikibarkan di tanah Papua,” kata Agus. Menurut dia, keinginan MRP menetapkan bendera Bintang Kejora sebagai lambang daerah Papua sama sekali tidak bertentangan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, ditetapkannya Bintang Kejora sebagai lambang Papua bisa meredam keinginan politik sekelompok masyarakat Papua untuk merdeka.

Fakta Pengibaran
Dalam “The Land of the Morning Star” karya Mark Worth bersama pakar  sejarah Papua, bendera Bintang Kejora ternyata telah muncul pada masa vakum setelah Perang Pasifik. Masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia (sekarang Jayapura) bahkan telah mengibarkan Bendera Bintang Kejora untuk menunjukkan eksistensi sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Belanda menghormatinya. Kemudian lambang itu berevolusi menjadi Bendera Bintang Kejora yang mulai resmi dikibarkan pada 1 Desember 1961 berdampingan dengan bendera Belanda. Sebelumnya, bendera itu sudah ada kira-kira sekitar 1944 atau 1945 ketika Jepang kalah dari Amerika Serikat di Papua. Morning Star, Bintang Kejora, Bintang Pagi adalah bintang yang muncul di langit pada subuh sebelum matahari terbit. “Bintang Pagi” memang telah dilarang. Meski demikian, pro dan kontra atasnya masih saja dipolemikan.
Dalam beberapa peristiwa di Papua, Bintang Kejora juga hadir ditengah-tengahnya. Lihat saja jelang Pilpres kemarin di Papua. Bintang Kejora berkibar di sejumlah tempat, baik di Jayapura maupun di luar Jayapura. Dari Jayapura, dilaporkan, bendera yang disebut polisi sebagai lambang separatis itu berkibar di Sentani dan  Waena. Kapolres Jayapura, AKBP. Mathius Fakhiri, SIK, saat dikonfirmasi membenarkan adanya pengibaran bendera tersebut di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura. Bendera berukuran 70 x 40 Cm itu diikat pada bambu kemudian dikibarkan di lapangan tempat pemakaman Almahrum Theys Elluay pada Selasa, (7/7), sekitar pukul 17.30 WIT sampai pukul 20.30 WIT. Bendera Bintang Kejora lainnya juga berkibar di Youtefa Grand, Kelurahan Yabansai Distrik Heram.Warga yang hendak mencontreng saat itu yang pertama kali melihatnya.  Bendera tersebut diikatkan pada sebatang kayu, kurang lebih 1 meter dan kemudian diikatkan lagi pada sebuah pohon yang berada pada puncak bukit tersebut. Kapolda Papua Irjen Pol Drs FX Bagus Ekodanto, membenarkan adanya pengibaran bendera tersebut.
Dari Kabupaten Yapen juga dilaporkan, Bendera Bintang Kejora dikibarkan orang tak dikenal di sebuah pohon di pinggir jalan depan Gunung Auri, Kampung Nawari, Distrik Angkaisera, Senin pekan kemarin, pukul 09.00 WIT. Soal pelaku pengibaran Bendera Bintang Kejora, Kapolda Papua Bagus Ekodanto mengakui belum tahu secara pasti dari kelompok mana. Kapolda mengatakan, aksi penaikan bendera Bintang Kejora merupakan upaya menggangu stabilitas keamanan dan pelaksanaan Pilpres kemarin.
Terhadap pengibaran bendera “Bintang Pagi” tersebut, Muridan S. Widjojo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jayapura, seperti juga ditulis sebuah media terkemuka, beberapa waktu lalu, memperkirakan, selama setahun terakhir telah terjadi puluhan kasus pengibaran bendera Bintang Kejora. Seperti di Fakfak, Manokwari, Wamena, Jayapura, dan Timika. Dampaknya, “ada beberapa nyawa yang hilang atau dijebloskan ke penjara karena masalah yang sama. Ini dikarenakan cara pendekatan Jakarta terhadap aspirasi masyarakat terutama Bintang Kejora.”
Menurut Muridan, ada empat persoalan di Papua yang lebih substansial, ketimbang membicarakan soal Bintang Kejora. Yakni soal ketersingkiran orang asli Papua, kegagalan pembangunan di Papua, kekerasan negara pada masa lalu yang tidak pernah terselesaikan dan masalah status politik Papua yang belum tersentuh. Karena itu, diperlukan adanya rekognisi. Yaitu, pemberdayaan orang asli Papua dalam segala sektor. Selanjutnya, mengubah paradigma dalam pembangunan yang  lebih mengutamakan pembangunan fisik. Dan berani membuka pelanggaran HAM masa lalu dan kemungkinan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM. Muridan juga lebih memilih dilakukannya sebuah dialog antara pemerintah dengan rakyat Papua yang tidak mengaku Indonesia untuk mengambil jalan tengah, “toh Aceh saja bisa melakukannya, mengapa Papua tidak?” kata Muridan. “Karena itu, saya lihat penting untuk Jakarta melihat kembali, kebijakan tentang bendera di Papua. Dan khususnya kebijakan dalam menghadapi dinamika politik lokal di Papua.” (Jerry Omona)
=====================================

Perempuan dan Upaya Perdamaian

Unknown | 02.11 | 0 komentar
Mendengar tentang pentingnya perempuan dilibatkan dalam upaya-upaya perdamaian, jelas bukan hal yang baru. Tetapi jika mendengar penjelasan itu dari seorang yang sudah berpengalaman terlibat dalam upaya-upaya perdamaian, menjadikan sesi bersama Shadia Marhaban menjadi istimewa.

Shadia membuka pikiran peserta tentang sudut pandang melihat konflik. “Jangan melihat konflik hanya dari selembar kulit saja, tetapi selapis demi lapis hingga akar masalahnya agar dapat memecahkan kebuntuan dalam dialog,” ujarnya yang melukiskan konflik sebagai seumbi bawang. Ia pun menggambarkan cara pandang memecahkan kebuntuan perdamaian dengan mengembangkan banyak opsi perdamaian yang dapat ditempuh perempuan.

Lahir di Banda Aceh 20 Maret 1969, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai 2005, yang menghasilkan berakhirnya konflik di Aceh. Sebelumnya, selama GAM dan pemerintah Indonesia berkonflik, Shadia bekerja sebagai wartawan dan penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir reli massa damai di Banda Aceh di mana hampir satu juta orang bersatu menuntut referendum. Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi Hubungan Internasional di Universitas Nasional dan Arabic di American University in Cairo ini pun terlibat dalam Jeda Kemanusiaan, sebuah gerakan perdamaian pertama di Aceh yang banyak beranggotakan perempuan dari masyarakat sipil. Di 2001, melalui Moratorium Dialog, Shadia menggalang dukungan internasional untuk Aceh.


Komitmen! Perempuan lebih memiliki keberpihakan dan kepedulian yang digunakan untuk membangun  komitmen. Anak dan perempuan adalah korban konflik. “Kepedulian terhadap anak dan sesama perempuan selalu menjadi pertimbangan perempuan dalam melakukan upaya perdamaian, ” ujarnya. Setelah konflik Aceh berakhir, Shadia tetap pada komitmen awalnya, bekerja untuk bagi perdamaian dan masyarakat Aceh.

Kini, sebagai presiden Liga Inong Acheh (LINA), Shadia mengawasi beragam program LINA yang berdedikasi untuk memberdayakan perempuan Aceh (http://www.lina-acheh.com). Seiring itu, selain berperan sebagai anggota dewan pendiri untuk Sekolah Perdamaian dan Demokrasi di Aceh, Shadia merupakan peserta aktif di beberapa dialog nasional dan internasional sekitar isu-isu perempuan dan keamanan. Di 2009, Shadia menyampaikan pidato utama “Gender dan Mediasi – Bagaimana Meningkatkan Peran Perempuan dalam Negosiasi Perdamaian” pada konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan Crisis Management International (CMI). Di 2010, Shadia dipresentasikan Pusat Penelitian Konflik Berghof pada konferensi bertajuk “Merancang Proses Perdamaian Inovatif” di Bogota, Columbia.


Papua memiliki banyak perempuan yang bekerja di bidang HAM dan perdamaian. Hanya saja strategi, tujuan serta kemampuan mempersempit masalah dalam melakukan negosiasi yang harus dilatih. Karena tidak mungkin perempuan mampu menangani semua hal.

Perempuan Papua sudah cukup berpendidikan dan berpengalaman dalam menjadi agen perdamaian. Tak perlu menanti seseorang sehebat Shadia Marhaban untuk membangun sebuah jaringan kerja yang solid dan kokoh. Jika semua perempuan dapat terbuka, saling membantu dan membangun konsolidasi yang baik, pasti bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun perdamaian di Papua.


Yang sangat dirasakan menjadi hambatan saat ini adalah meruntuhkan sekat-sekat atas nama senioritas, kelompok, kepentingan dan  golongan, sebab perempuan (anak) adalah korban dari konflik yang umumnya berkelamin laki-laki. Sebuah langkah kongkrit, diinspirasikan oleh seorang Shadia Marhaban, semoga dapat membangun konsolidasi yang baik bagi Perempua Papua. (Angela Flassy)
===========================================
 

Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/

Hari Kasih Sayang dan Keseharian Kaum Perempuan

Unknown | 02.07 | 0 komentar
DUNIA seakan berebutan, demikian pula di Indonesia merayakan hari istimewa, hari Kasih Sayang.  Seakan ada sinyal sentral dari dunia untuk melihat 14/2 sebagai hari yang penting dari sisi kasih “si-Penolong yang sepadan”. Berbagai negara tampil dalam tayangan TV dan media cetak dengan berita plus acara yang beragam dan siratan tema sentral “Perempuan Dalam Kasih Sayang”. Mungkin ini tema yang pantas bagi dunia yang merayakan Valentine Day termasuk Papua, guna menyatakan jati diri bangsa serta keberadaan perempuan dan nilai kehidupan dari Tuhan kepada manusia. Baik laki-laki, dan terutama perempuan.

Nampaknya topik-topik itu menghadirkan perempuan (si-Penolong) sejalan dengan “tujuan penciptaannya”. Perempuan menjadi istimewa dan penting di sini. Dunia telah mengamininya demikian..entah bagaimana dengan kita. Saling menyapa, memberi, mencari pasangan, bepergian ke berbagai tempat sesuai rencana dan aktivitas lain. Menerima hadiah istimewa dari pasangan atau orang-orang terkasih lainnya. Semua yang memperlihatkan kedekatan dan kesepadanan itu.  Di Hari Kasih Sayang ini, semoga tidak lagi ada kekerasan dan penindasan yang mendera kehidupan perempuan.  Tidak ada lagi manipulasi potensi kaum perempuan.
 
Persoalan kita, apakah kita sudah menghargai potensi yang dikaruniakan Tuhan atas diri manusia perempuan?  Sementara kaum ini masih terpuruk dalam bayang-bayang kekerasan,  kekhawatiran dan stigma buruk lainnya?  Akankah kita hentikan manipulasi dunia yang cenderung menjadikan “kaum penolong”  sebagai “komoditas” dagang yang merendahkan itu?
 
Ada masalah agar kita tahan uji; ada teman agar kita belajar berbagi; ada cinta agar kita belajar mengasihi; ada sukses dan gagal agar kita belajar bersyukur..!!    

Perempuan Papua telah banyak kehilangan kesempatan untuk ikut membangun negeri leluhur. Kaum ini miskin kesempatan untuk berekspresi dan menunjukkan jati diri mereka sebagai si-Penolong yang sepadan.  Seolah kaum adam tak memiliki kepedulian terhadap kaum penolong mereka. Akibatnya, perempuan tetap tersisih dari kedudukannya yang seharusnya setara dengan laki-laki.

DR. Wigati Yektiningtyas-Modouw dalam disetasinya, Helaehili dan Ehabla mengulas tentang fungsi dan peran perempuan Sentani dalam syair lagu-lagu yang menunjukkan kesepadanannya dengan suami-suami, anak-anak dan keluarga dalam adat.  Helaehili dan ehabla mengandung nasihat, harapan, keteladanan kepada generasi baru tentang hidup dan karya.
                 

Perempuan Papua yang dijuluki “anggrek hitam” oleh Aprila R. A. Wayar dalam novel Mawar Hitam Tanpa Akar melukiskan bagaimana perempuan Papua bangkit dari realita keterjajahan dan melawan dengan caranya.  Aprila menyuguhkan sebuah kisah keluarga muda kelas menengah Jayapura dengan segala dinamika kehidupan, mulai dari percintaan sampai kaitan-kaitan dengan persoalan-persoalan politik yang dialami masyarakat Papua. Aprila merupakan salah satu contoh dari perjuangan kaum si-Penolong bagi Papua. 

Ketua Sinode GKI I, F. J. S. Rumainum (alm), mengatakan : “Celakalah suatu bangsa, di mana kaum laki-laki maju dalam pengetahuan, sedangkan kaum perempuannya tidak ikut serta dalam perubahan zaman.”  Dengan ungkapan ini Rumainum mau mengingatkan, bahwa tidak memberdayakan potensi perempuan agar setara dengan laki-laki dan ikut serta dalam pemajuan aspek kehidupan, maka cepat atau lambat, dampaknya akan tampak pada sendi kemanusiaan lainnya.

Sudah lumayan banyak perempuan Papua yang berprestasi dan sukses. Walaupun sebagian besar belum karena dominasi atau kekuasaan yang sulit dielakkan.   Padahal, ada potensi dan kekuatan yang bila disadari bisa menjadi membangkitkan perjuangan pembelaan diri. 


Oleh: Costantin Wanaha, Penulis Adalah Ketua Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Kabupaten Nabire
==========================

Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/

Jangan lagi bermanis bibir dan mengaku negara demokratis

Unknown | 04.51 | 0 komentar
Jangan lagi bermanis bibir dan mengaku negara demokratis dan pendekar Hak Asasi Manusia. Mestinya Anda malu atas segala dosa politik di masa silam sampai sekarang ini. Ataukah Anda masih mau bersandiwara karena belum puas mencuri kandungan alam Papua Barat.
Tetapi, dosa itu harus Anda tebus. Kami tidak akan berhenti berteriak sebelum Anda menebus dosa. Siapa yang menggali lubang dialah yang harus menutupnya. Anda telah menggali lubang penderitaan bagi rakyat Papua Barat, maka Andalah yang harus menutupinya.
Jika semua ini tidak Anda lakukan, maka kami akan melawan selamanya. Kami akan mengajarkan kepada anak cucu kami dari generasi ke generasi bahwa musuh utama kalian adalah PBB, Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Jika Anda tidak menebus dosa, maka boleh saja generasi kami terus berganti dari waktu ke waktu, tetapi musuh kami untuk selamanya adalah Anda.
Semua kejahatan ini akan menjadi kenangan pahit dalam sejarah dunia hingga hari penghakiman terakhir. Semoga Anda menebus dosa dan bertaubat kembali ke jalan yang benar. Tuhan, jangan lupakan dosa-dosa politik mereka, sebelum mereka menebus dosa dan bertaubat

"DENGARLAH AKU, DENGARLAH MEREKA"

Unknown | 04.50 | 0 komentar
Hidup memang panggung sandiwara
Begitu banyak mahluk berpura-pura
Mereka adalah Penjajah di Negeriku
Penjajah negeriku yang hampir remuk ini
Mereka mengumbar beragam sukacita
Namun goresan hati tetap tak berhenti melukai hatiku
Hatinya, hati mereka, dan hati kami semua.

Dia janjikan kesejahteraan namun yang ada kemelaratan
Dia janjikan kemakmuran namun yang ada kemiskinan
Dia janjikan keadilan namun yang ada ketidak adilan
Ini itu mereka janjikan, tapi apa? Mana?

Semua mereka umbar demi merebut kekuasaan
Siapa yang kuat dialah yang menang
Hei Bung, ini bukan perlombaan
Ini bukan ajang mengumpulkan kekayaan
Ini bukan ajang mencari kekuasaan
Bangsa ini bukan tempat yang layak untuk itu semua
Ini menyangkut HAK SEBUAH BANGSA YANG MERDEKA.

Atau mungkin apakah memang kau duduki Alam dan Pulauku,
Hanya untuk membesarkan namamu?
Hanya untuk menuangkan bakatmu menjadi seorang Pahlawan yang Adil?
Atau memang kau adalah Pencuri,Pembunuh yang tak berperi kemanusiaan ?

Maafkan aku mengungkapkan semua ini
Aku dan mereka kecewa melihat Semua yang kalian lakukan terhadap kami
Disini kami menangis, hati kami terluka
Semuanya terasa sangat miris
Kami hanya ingin menuntut Hak kami
Dengarlah aku, dengarlah mereka
Kami ingin hidup tenang di negeri kami
Katanya kalian adalah negara hukum bukan?
Tapi kenapa hukum itu tidak kau tegakkan?

Justru kau beli, kau uangi
Kau bilang kita satu, tapi dimana letak kesatuan itu?

Ah Tuhan…sangat banyak yang ingin ku goreskan
Sangat banyak yang ingin ku ungkapkan
Negeriku kacau Tuhan
Ibu-ibuku merintih kesakitan
Anak – anaknya berteriak
Ingin agar Ibunya segera pulih
Tapi teriakan itu tak didengarkan
Seakan berteriak di sebuah gua

Suara itu memantul, suara itu hanya bisa kembali
Saat ini kami hanya bisa berharap
Tuhan menjamah negeri ini
Tuhan pulihkan negeri ini
Dan semoga Penderitaan dan Penindasan ini segara berakhir
Sesungguhnya itu yang kami rindukan
Dengarlah aku, dengarlah mereka.

"GORESEN KECIL"

Unknown | 04.49 | 0 komentar
semua ini telah menghilang
dan ku tergelam terlalu dalam
tenggelam diantara air mata
yg berlinang dan terjatuh disana.

ku coba bangkit, bangun dari kesengsaraan
bangkit melawan semua cobaan
bangkit melawan jati diri yg kini padam
namun tak bisa ,ku hanya memaksakan kehendakku saja..

disana mungkin kini telah timbul benih asmara
timbul beberapa butir keindahan
namun disini hanya tangisan, tawa yg memaksa dan ejekan
dan beberapa luka dihati

lama kucoba bangkit
mungkin ku bisa mencobanya
tapi semua itu kau selalu menutupinya
karna masih ada goresan kecil yg memaksa ku untuk Bangkit.

Oleh:
Curahan Hati Rakyat Papua Barat
Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger