Bahasa daerah kini telah menjadi bagian penting dalam era Otonomi Khusus
Papua. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah
termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap bahasa daerah. Tentu
kondisi ini harus segera diantispasi dengan paradigma baru kebijakan di
bidang pelestarian bahasa, yakni (1) pemberdayaan masyarakat tutur, (2)
penyadaran jatidiri, dan (3) integrasi pengajaran di bidang pendidikan.
The
Summer Institute of Linguistic, dalam publikasi mutakhirnya (2006),
menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa. Di Tanah Papua
terdapat jumlah terbesar yakni 280 bahasa. Sementara menurut Pusat
Bahasa (Balai Bahasa Jayapura) yang telah bekerja untuk mengumpulkan
data bahasa daerah di Papua dan Papua Barat bahwa telah diidentifikasi
ada 270 bahasa daerah (data yang baru dikumpulkan) dan masih akan
bekerja hingga Tahun 2014. Para pemerhati bahasa mengkhawatirkan
kelestarian bahasa daerah karena semakin berkurang penuturnya.
Kekhawatiran ini senada dengan perkiraan UNESCO bahwa pada abad ke-21
ini separuh dari enam ribu bahasa yang ada di dunia ini terancam punah
(Tempo, 21 Februari 2007). Menurut data UNESCO, saat ini terdapat
sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi
bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak
merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya
menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya Bahasa Hindi, Arab,
Mandarin, Perancis, Spanyol dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering
disebut sebagai bahasa mayoritas.
Kurang dari 10% dari total penduduk
dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai
bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan
di Kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui
saat ini, 61%nya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik
dan 726 lebih diantaranya dipakai di wilayah Indonesia.
Sangat
tragis, kepunahan yang dialami bahasa-bahasa ibu tersebut bukan karena
bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para
penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang
dianggap lebih menguntungkan, baik segi ekonomi, sosial, politik, maupun
psikologis (Prof. Dr. Zainuddin Taha, Republika: 30 Mei 2007). Di
Indonesia selama dua dekade ini kita melihat semakin banyak penutur
bahasa daerah, terutama di perkotaan, beralih menggunakan Bahasa
Indonesia (language shift) yang dari sisi manapun vitalitasnya dari
waktu ke waktu semakin menguat. Kegandrungan orang terhadap bahasa asing
pun semakin meningkat, terbukti semakin menjamurnya tempat-tempat
kursus bahasa asing. Barangkali kita belum pernah menemukan tempat
kursus bahasa daerah yang dikelola secara profesional.
Pada awalnya
Bahasa Indonesia digunakan sebagai jembatan antaretnis, sebagai perekat
persatuan bangsa, dan alat untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama di ranah pendidikan. Namun, kemudian penggunaan
Bahasa Indonesia merambah ke ranah pergaulan sehari-hari, sehingga
mereduksi penggunaan bahasa daerah. Bahasa daerah dianggap tidak
memiliki kemampuan menjadi media penyampaian ilmu pengetahuan.
Penggunaan bahasa daerah dianggap akan menghambat transfer ilmu
pengetahuan. Padahal sejak 1951 UNESCO sudah merekomendasikan penggunaan
bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dengan alasan (1) secara
psikologis, bahasa ibu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir,
(2) secara sosial, bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari
dengan lingkungan terdekatnya, (3) secara edukasional, pembelajaran
dengan media bahasa ibu mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di
sekolah dan proses pendidikan pada umumnya (Alwasilah, 2003:64).
Pewarisan
bahasa ibu orang tua ke generasi selanjutnya yang tak berjalan dengan
mulus turut memperlemah posisi bahasa daerah. Banyak orang tua terutama
keluarga muda enggan mewariskan bahasa pertamanya, sehingga anak-anak
merasa kikuk ketika berbicara bahasa daerahnya. Banyak orang tua
keluarga muda menganggap bahasa daerah tak terlalu penting untuk
anak-anaknnya sebagai bahasa ibu. Tarigan (1988:32) memandang sikap
orang tua terhadap bahasa sendiri turut menentukan sikap dan keputusan
mereka terhadap masalah kedwibahasaan putra-putrinya. Pada dasarnya, ide
yang disampaikan bertujuan untuk menghindari peluang kepunahan bahasa
daerah dan sebaliknya, memberi ruang kepada bahasa daerah untuk tetap
hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat pemakainya. Hal ini telah
diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001, Bab XVI tentang
Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 58 ayat (1),(2) dan (3).
Ada dua
ide penting untuk menjadikan bahasa daerah tetap lestari. Pertama,
bahasa daerah diupayakan menjadi salah satu muatan lokal di tingkat
Sekolah Dasar (SD) hingga SMA.Kedua, bahasa daerah dapat dilindungi
melalui peraturan daerah (perda). Ide yang pertama menghendaki agar
bahasa daerah menjadi salah satu muatan lokal dalam mata pelajaran di
sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua. Dengan begitu, Dinas Pendidikan
di setiap daerah di Tanah Papua dapat menambahkan pelajaran bahasa
daerah ke dalam kurikulum pendidikan.
Ide pertama di atas masih
memiliki beberapa kekurang-an. Antara lain, pertama, pelestarian dan
pengembangan bahasa daerah hanya terbatas pada saat siswa berada di
lingkungan sekolah. Kedua, dikhawatirkan jika terjadi pergantian
pimpinan di lingkup dinas pendidikan, maka akan berganti pula kebijakan
yang ditetapkan oleh pimpinan sebelumnya. Ketiga, materi bahasa daerah
yang telah diajarkan di sekolah-sekolah dinilai belum mampu meningkatkan
kualitas pemakaian bahasa daerah. Keempat, kualitas sumber daya tenaga
pengajar yang belum memenuhi persyaratan yang tepat untuk mengajarkan
bahasa daerah.
Mempertimbangkan berbagai kelemahan pada ide pertama,
maka perlu diupayakan ide lain yang untuk melengkapi ide pertama. Ide
baru tersebut harus mampu menguatkan posisi bahasa daerah, baik dari
segi pemakaiannya di masyarakat maupun pada upaya-upaya untuk
melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah. Ide kedua yaitu perlu
adanya peraturan daerah sebagai salah satu upaya pelestarian dan
perlindungan bahasa-bahasa daerah di Tanah Papua. Untuk itu, perlu
dibuat peraturan daerah yang dapat menaungi pelestarian bahasa daerah.
Mengapa harus perda? Jawabannya, perda memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan bersifat memaksa. Peraturan daerah berisikan langkah-langkah
kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan sosialisasi kepada
masyarakat.
Payung hukum itu bersifat mengikat, karena berisikan
langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan
sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui pendidikan formal.
Keinginan
masyarakat untuk melindungi bahasa daerah melalui peraturan daerah
merupakan keinginan yang sangat positif. Akan tetapi, perumusan sebuah
perda harus memiliki acuan hukum yang memungkinkan Perda tentang bahasa
daerah tersebut dibutuhkan oleh pemerintah. Dalam merancang perda,
pemda terlebih dahulu menetapkan beberapa dasar hukum yang memungkinkan
perda tentang bahasa daerah dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Dasar hukum yang diacu, baik undang-undang ataupun peraturan pemerintah,
harus memiliki keterkaitan yang erat dengan rencana perda yang akan
dirancang dan ditetapkan. Untuk memenuhi aspek dasar hukum lahirnya
perda tentang bahasa daerah, pemerintah daerah dapat menjadikan
pasal-pasal Undang-Undang Kebahasaan yang terkait dengan kedudukan
bahasa daerah sebagai dasar hukum yang memungkinkan lahirnya Perda
tentang bahasa daerah. Jika sebuah rancangan perda telah memiliki payung
hukum yang mendasari kelahirannya, maka salah satu aspek hukum yang
wajib ada dalam sebuah rancangan Perda, telah terpenuhi. (Oleh : Antonius Maturbongs *)
============================
Sumber:http://tabloidjubi.com/
Home »
KUMPULAN ARTIKEL / OPINI
» Bahasa Daerah Perlu Diperdakan
Bahasa Daerah Perlu Diperdakan
Unknown | 22.49 | 0
komentar
Related posts:
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Label:
KUMPULAN ARTIKEL / OPINI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar