Mendengar tentang pentingnya
perempuan dilibatkan dalam upaya-upaya perdamaian, jelas bukan hal yang
baru. Tetapi jika mendengar penjelasan itu dari seorang yang sudah
berpengalaman terlibat dalam upaya-upaya perdamaian, menjadikan sesi
bersama Shadia Marhaban menjadi istimewa.
Lahir di Banda Aceh 20 Maret 1969, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai 2005, yang menghasilkan berakhirnya konflik di Aceh. Sebelumnya, selama GAM dan pemerintah Indonesia berkonflik, Shadia bekerja sebagai wartawan dan penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir reli massa damai di Banda Aceh di mana hampir satu juta orang bersatu menuntut referendum. Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi Hubungan Internasional di Universitas Nasional dan Arabic di American University in Cairo ini pun terlibat dalam Jeda Kemanusiaan, sebuah gerakan perdamaian pertama di Aceh yang banyak beranggotakan perempuan dari masyarakat sipil. Di 2001, melalui Moratorium Dialog, Shadia menggalang dukungan internasional untuk Aceh.
Komitmen! Perempuan lebih memiliki
keberpihakan dan kepedulian yang digunakan untuk membangun komitmen.
Anak dan perempuan adalah korban konflik. “Kepedulian terhadap anak
dan sesama perempuan selalu menjadi pertimbangan perempuan dalam
melakukan upaya perdamaian, †ujarnya. Setelah konflik Aceh berakhir,
Shadia tetap pada komitmen awalnya, bekerja untuk bagi perdamaian dan
masyarakat Aceh.
Kini, sebagai presiden Liga Inong Acheh
(LINA), Shadia mengawasi beragam program LINA yang berdedikasi untuk
memberdayakan perempuan Aceh (http://www.lina-acheh.com). Seiring itu,
selain berperan sebagai anggota dewan pendiri untuk Sekolah Perdamaian
dan Demokrasi di Aceh, Shadia merupakan peserta aktif di beberapa dialog
nasional dan internasional sekitar isu-isu perempuan dan keamanan. Di
2009, Shadia menyampaikan pidato utama “Gender dan Mediasi –
Bagaimana Meningkatkan Peran Perempuan dalam Negosiasi Perdamaianâ€
pada konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan Crisis Management
International (CMI). Di 2010, Shadia dipresentasikan Pusat Penelitian
Konflik Berghof pada konferensi bertajuk “Merancang Proses Perdamaian
Inovatif†di Bogota, Columbia.
Papua memiliki banyak perempuan yang
bekerja di bidang HAM dan perdamaian. Hanya saja strategi, tujuan serta
kemampuan mempersempit masalah dalam melakukan negosiasi yang harus
dilatih. Karena tidak mungkin perempuan mampu menangani semua hal.
Perempuan Papua sudah cukup
berpendidikan dan berpengalaman dalam menjadi agen perdamaian. Tak perlu
menanti seseorang sehebat Shadia Marhaban untuk membangun sebuah
jaringan kerja yang solid dan kokoh. Jika semua perempuan dapat terbuka,
saling membantu dan membangun konsolidasi yang baik, pasti bisa menjadi
kekuatan besar dalam membangun perdamaian di Papua.
Yang sangat dirasakan menjadi hambatan
saat ini adalah meruntuhkan sekat-sekat atas nama senioritas, kelompok,
kepentingan dan golongan, sebab perempuan (anak) adalah korban dari
konflik yang umumnya berkelamin laki-laki. Sebuah langkah kongkrit,
diinspirasikan oleh seorang Shadia Marhaban, semoga dapat membangun
konsolidasi yang baik bagi Perempua Papua. (Angela Flassy)
===========================================
Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/
===========================================
Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/
0 komentar:
Posting Komentar