Bintang Kejora Ditengah Pilpres : “Bendera Suci” Yang Tak Disucikan

Unknown | 02.24 | 0 komentar
Barang bukti Bendera Bintang Kejora yang ditemukan jelang Pemilu 9 April lalu. (Foto: Yunus Paelo)





















Meski telah dilarang, namun “Bendera Suci” itu tetap saja berkibar. Uniknya, ditengah Pilpres sekalipun, Bintang Kejora dinaikan tanpa ada yang menghalangi.

Seperti penggunaan lambang Bulan Sabit, Benang Raja, Bintang Kejora pun menjadi penanda makar yang kerap dikecam. Pelarangan ini muncul setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 77 tahun 2007, tertanggal 10 Desember yang mengatur tentang lambang daerah. Pelarangan penggunaan lambang Bintang Kejora tertuang dalam Bab IV di Pasal 6 ayat 4 yang berbunyi, “Desain logo daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi gerakan separatis dalam NKRI”. PP itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam penjelasan pasal tersebut, secara tegas pemerintah melarang penggunaan logo Bintang Kejora dan juga Burung Mambruk. Selain Bintang Kejora, yang juga dilarang, lambang dan logo Bendera Bulan Sabit di provinsi Aceh serta lambang Bendera Raja di Provinsi Maluku. Ketiga simbol tersebut dijadikan “Nafas” gerakan perjuangan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.
“Keterlaluan,” kata Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut menanggapi adanya pelarangan Bintang Kejora sebagai lambang daerah. Forkorus dalam sebuah media terkemuka menilai, pelarangan itu bisa memunculkan kembali isu merdeka di kalangan masyarakat Papua. Forkorus juga mengatakan, Bintang Kejora merupakan warisan kultural masyarakat Papua. “Ada nilai-nilai historisnya,” kata dia. Meskipun demikian, Wakil Ketua DPR Papua, Komaruddin Watubun mengatakan, “Kalau peraturan itu sudah keluar, ya mau apa lagi. Itu sudah aturan negara, jadi tidak bisa lagi memasukkan Bintang Kejora dalam Perdasus”.
Sedikit berbeda, Sekretaris Pokja Agama, Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), Pene Ipi Kogoya, S.Pd menilai, Bintang Kejora yang selama ini dijadikan sebagai lambang daerah bukan merupakan lambang makar. Pene meminta semua pihak, baik Pemerintah Pusat, DPR, Pemprov Papua, DPRP dan aparat penegak hukum untuk tidak memandang masalah Bintang Kejora secara fragmentaris melainkan komprehensif dan menyeluruh dari berbagai aspek. “Saya menegaskan, stop bunuh orang Papua dengan Bintang Kejora, karena semua ini sudah diatur dalam UU Otsus No 21 Tahun 2001. Dan semua pihak seharusnya melihat lambang daerah dalam bingkai UU Otsus tidak secara sepotong-sepotong,” tegas Pene.
Pene juga menjelaskan, pihak MRP pernah mengajukan draf Perdasus tentang Penggunaan Bintang Kejora, namun belum disahkan oleh DPRP hingga kini. Pene yang ketika itu duduk sebagai Wakil Ketua Pansus Bidang Pengkajian Draf Perdasus tersebut berharap, dengan adanya Perdasus tersebut, stigma politik negatif terhadap Bintang Kejora bisa dihilangkan dan bencana pertumpahan darah yang ditimbulkannya dihentikan. “Saya berharap ketakutan psikologis kalangan tertentu akan adanya pemaknaan lambang ini sebagai kedaulatan bisa dihindari karena semuanya sudah terjabar dalam UU Otsus,” tegas Pene.
Sejalan dengan Pene, Ketua MRP, Agus A Alua dalam pertemuannya dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida, di Jakarta, pernah membahas pula soal Bintang Kejora. “Kita menginginkan soal bendera Bintang Kejora ini diatur dalam Perdasus (peraturan daerah khusus) sebagai simbol kultural untuk bisa dikibarkan di tanah Papua,” kata Agus. Menurut dia, keinginan MRP menetapkan bendera Bintang Kejora sebagai lambang daerah Papua sama sekali tidak bertentangan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, ditetapkannya Bintang Kejora sebagai lambang Papua bisa meredam keinginan politik sekelompok masyarakat Papua untuk merdeka.

Fakta Pengibaran
Dalam “The Land of the Morning Star” karya Mark Worth bersama pakar  sejarah Papua, bendera Bintang Kejora ternyata telah muncul pada masa vakum setelah Perang Pasifik. Masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia (sekarang Jayapura) bahkan telah mengibarkan Bendera Bintang Kejora untuk menunjukkan eksistensi sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Belanda menghormatinya. Kemudian lambang itu berevolusi menjadi Bendera Bintang Kejora yang mulai resmi dikibarkan pada 1 Desember 1961 berdampingan dengan bendera Belanda. Sebelumnya, bendera itu sudah ada kira-kira sekitar 1944 atau 1945 ketika Jepang kalah dari Amerika Serikat di Papua. Morning Star, Bintang Kejora, Bintang Pagi adalah bintang yang muncul di langit pada subuh sebelum matahari terbit. “Bintang Pagi” memang telah dilarang. Meski demikian, pro dan kontra atasnya masih saja dipolemikan.
Dalam beberapa peristiwa di Papua, Bintang Kejora juga hadir ditengah-tengahnya. Lihat saja jelang Pilpres kemarin di Papua. Bintang Kejora berkibar di sejumlah tempat, baik di Jayapura maupun di luar Jayapura. Dari Jayapura, dilaporkan, bendera yang disebut polisi sebagai lambang separatis itu berkibar di Sentani dan  Waena. Kapolres Jayapura, AKBP. Mathius Fakhiri, SIK, saat dikonfirmasi membenarkan adanya pengibaran bendera tersebut di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura. Bendera berukuran 70 x 40 Cm itu diikat pada bambu kemudian dikibarkan di lapangan tempat pemakaman Almahrum Theys Elluay pada Selasa, (7/7), sekitar pukul 17.30 WIT sampai pukul 20.30 WIT. Bendera Bintang Kejora lainnya juga berkibar di Youtefa Grand, Kelurahan Yabansai Distrik Heram.Warga yang hendak mencontreng saat itu yang pertama kali melihatnya.  Bendera tersebut diikatkan pada sebatang kayu, kurang lebih 1 meter dan kemudian diikatkan lagi pada sebuah pohon yang berada pada puncak bukit tersebut. Kapolda Papua Irjen Pol Drs FX Bagus Ekodanto, membenarkan adanya pengibaran bendera tersebut.
Dari Kabupaten Yapen juga dilaporkan, Bendera Bintang Kejora dikibarkan orang tak dikenal di sebuah pohon di pinggir jalan depan Gunung Auri, Kampung Nawari, Distrik Angkaisera, Senin pekan kemarin, pukul 09.00 WIT. Soal pelaku pengibaran Bendera Bintang Kejora, Kapolda Papua Bagus Ekodanto mengakui belum tahu secara pasti dari kelompok mana. Kapolda mengatakan, aksi penaikan bendera Bintang Kejora merupakan upaya menggangu stabilitas keamanan dan pelaksanaan Pilpres kemarin.
Terhadap pengibaran bendera “Bintang Pagi” tersebut, Muridan S. Widjojo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jayapura, seperti juga ditulis sebuah media terkemuka, beberapa waktu lalu, memperkirakan, selama setahun terakhir telah terjadi puluhan kasus pengibaran bendera Bintang Kejora. Seperti di Fakfak, Manokwari, Wamena, Jayapura, dan Timika. Dampaknya, “ada beberapa nyawa yang hilang atau dijebloskan ke penjara karena masalah yang sama. Ini dikarenakan cara pendekatan Jakarta terhadap aspirasi masyarakat terutama Bintang Kejora.”
Menurut Muridan, ada empat persoalan di Papua yang lebih substansial, ketimbang membicarakan soal Bintang Kejora. Yakni soal ketersingkiran orang asli Papua, kegagalan pembangunan di Papua, kekerasan negara pada masa lalu yang tidak pernah terselesaikan dan masalah status politik Papua yang belum tersentuh. Karena itu, diperlukan adanya rekognisi. Yaitu, pemberdayaan orang asli Papua dalam segala sektor. Selanjutnya, mengubah paradigma dalam pembangunan yang  lebih mengutamakan pembangunan fisik. Dan berani membuka pelanggaran HAM masa lalu dan kemungkinan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM. Muridan juga lebih memilih dilakukannya sebuah dialog antara pemerintah dengan rakyat Papua yang tidak mengaku Indonesia untuk mengambil jalan tengah, “toh Aceh saja bisa melakukannya, mengapa Papua tidak?” kata Muridan. “Karena itu, saya lihat penting untuk Jakarta melihat kembali, kebijakan tentang bendera di Papua. Dan khususnya kebijakan dalam menghadapi dinamika politik lokal di Papua.” (Jerry Omona)
=====================================

Perempuan dan Upaya Perdamaian

Unknown | 02.11 | 0 komentar
Mendengar tentang pentingnya perempuan dilibatkan dalam upaya-upaya perdamaian, jelas bukan hal yang baru. Tetapi jika mendengar penjelasan itu dari seorang yang sudah berpengalaman terlibat dalam upaya-upaya perdamaian, menjadikan sesi bersama Shadia Marhaban menjadi istimewa.

Shadia membuka pikiran peserta tentang sudut pandang melihat konflik. “Jangan melihat konflik hanya dari selembar kulit saja, tetapi selapis demi lapis hingga akar masalahnya agar dapat memecahkan kebuntuan dalam dialog,” ujarnya yang melukiskan konflik sebagai seumbi bawang. Ia pun menggambarkan cara pandang memecahkan kebuntuan perdamaian dengan mengembangkan banyak opsi perdamaian yang dapat ditempuh perempuan.

Lahir di Banda Aceh 20 Maret 1969, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai 2005, yang menghasilkan berakhirnya konflik di Aceh. Sebelumnya, selama GAM dan pemerintah Indonesia berkonflik, Shadia bekerja sebagai wartawan dan penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir reli massa damai di Banda Aceh di mana hampir satu juta orang bersatu menuntut referendum. Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi Hubungan Internasional di Universitas Nasional dan Arabic di American University in Cairo ini pun terlibat dalam Jeda Kemanusiaan, sebuah gerakan perdamaian pertama di Aceh yang banyak beranggotakan perempuan dari masyarakat sipil. Di 2001, melalui Moratorium Dialog, Shadia menggalang dukungan internasional untuk Aceh.


Komitmen! Perempuan lebih memiliki keberpihakan dan kepedulian yang digunakan untuk membangun  komitmen. Anak dan perempuan adalah korban konflik. “Kepedulian terhadap anak dan sesama perempuan selalu menjadi pertimbangan perempuan dalam melakukan upaya perdamaian, ” ujarnya. Setelah konflik Aceh berakhir, Shadia tetap pada komitmen awalnya, bekerja untuk bagi perdamaian dan masyarakat Aceh.

Kini, sebagai presiden Liga Inong Acheh (LINA), Shadia mengawasi beragam program LINA yang berdedikasi untuk memberdayakan perempuan Aceh (http://www.lina-acheh.com). Seiring itu, selain berperan sebagai anggota dewan pendiri untuk Sekolah Perdamaian dan Demokrasi di Aceh, Shadia merupakan peserta aktif di beberapa dialog nasional dan internasional sekitar isu-isu perempuan dan keamanan. Di 2009, Shadia menyampaikan pidato utama “Gender dan Mediasi – Bagaimana Meningkatkan Peran Perempuan dalam Negosiasi Perdamaian” pada konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan Crisis Management International (CMI). Di 2010, Shadia dipresentasikan Pusat Penelitian Konflik Berghof pada konferensi bertajuk “Merancang Proses Perdamaian Inovatif” di Bogota, Columbia.


Papua memiliki banyak perempuan yang bekerja di bidang HAM dan perdamaian. Hanya saja strategi, tujuan serta kemampuan mempersempit masalah dalam melakukan negosiasi yang harus dilatih. Karena tidak mungkin perempuan mampu menangani semua hal.

Perempuan Papua sudah cukup berpendidikan dan berpengalaman dalam menjadi agen perdamaian. Tak perlu menanti seseorang sehebat Shadia Marhaban untuk membangun sebuah jaringan kerja yang solid dan kokoh. Jika semua perempuan dapat terbuka, saling membantu dan membangun konsolidasi yang baik, pasti bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun perdamaian di Papua.


Yang sangat dirasakan menjadi hambatan saat ini adalah meruntuhkan sekat-sekat atas nama senioritas, kelompok, kepentingan dan  golongan, sebab perempuan (anak) adalah korban dari konflik yang umumnya berkelamin laki-laki. Sebuah langkah kongkrit, diinspirasikan oleh seorang Shadia Marhaban, semoga dapat membangun konsolidasi yang baik bagi Perempua Papua. (Angela Flassy)
===========================================
 

Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/

Hari Kasih Sayang dan Keseharian Kaum Perempuan

Unknown | 02.07 | 0 komentar
DUNIA seakan berebutan, demikian pula di Indonesia merayakan hari istimewa, hari Kasih Sayang.  Seakan ada sinyal sentral dari dunia untuk melihat 14/2 sebagai hari yang penting dari sisi kasih “si-Penolong yang sepadan”. Berbagai negara tampil dalam tayangan TV dan media cetak dengan berita plus acara yang beragam dan siratan tema sentral “Perempuan Dalam Kasih Sayang”. Mungkin ini tema yang pantas bagi dunia yang merayakan Valentine Day termasuk Papua, guna menyatakan jati diri bangsa serta keberadaan perempuan dan nilai kehidupan dari Tuhan kepada manusia. Baik laki-laki, dan terutama perempuan.

Nampaknya topik-topik itu menghadirkan perempuan (si-Penolong) sejalan dengan “tujuan penciptaannya”. Perempuan menjadi istimewa dan penting di sini. Dunia telah mengamininya demikian..entah bagaimana dengan kita. Saling menyapa, memberi, mencari pasangan, bepergian ke berbagai tempat sesuai rencana dan aktivitas lain. Menerima hadiah istimewa dari pasangan atau orang-orang terkasih lainnya. Semua yang memperlihatkan kedekatan dan kesepadanan itu.  Di Hari Kasih Sayang ini, semoga tidak lagi ada kekerasan dan penindasan yang mendera kehidupan perempuan.  Tidak ada lagi manipulasi potensi kaum perempuan.
 
Persoalan kita, apakah kita sudah menghargai potensi yang dikaruniakan Tuhan atas diri manusia perempuan?  Sementara kaum ini masih terpuruk dalam bayang-bayang kekerasan,  kekhawatiran dan stigma buruk lainnya?  Akankah kita hentikan manipulasi dunia yang cenderung menjadikan “kaum penolong”  sebagai “komoditas” dagang yang merendahkan itu?
 
Ada masalah agar kita tahan uji; ada teman agar kita belajar berbagi; ada cinta agar kita belajar mengasihi; ada sukses dan gagal agar kita belajar bersyukur..!!    

Perempuan Papua telah banyak kehilangan kesempatan untuk ikut membangun negeri leluhur. Kaum ini miskin kesempatan untuk berekspresi dan menunjukkan jati diri mereka sebagai si-Penolong yang sepadan.  Seolah kaum adam tak memiliki kepedulian terhadap kaum penolong mereka. Akibatnya, perempuan tetap tersisih dari kedudukannya yang seharusnya setara dengan laki-laki.

DR. Wigati Yektiningtyas-Modouw dalam disetasinya, Helaehili dan Ehabla mengulas tentang fungsi dan peran perempuan Sentani dalam syair lagu-lagu yang menunjukkan kesepadanannya dengan suami-suami, anak-anak dan keluarga dalam adat.  Helaehili dan ehabla mengandung nasihat, harapan, keteladanan kepada generasi baru tentang hidup dan karya.
                 

Perempuan Papua yang dijuluki “anggrek hitam” oleh Aprila R. A. Wayar dalam novel Mawar Hitam Tanpa Akar melukiskan bagaimana perempuan Papua bangkit dari realita keterjajahan dan melawan dengan caranya.  Aprila menyuguhkan sebuah kisah keluarga muda kelas menengah Jayapura dengan segala dinamika kehidupan, mulai dari percintaan sampai kaitan-kaitan dengan persoalan-persoalan politik yang dialami masyarakat Papua. Aprila merupakan salah satu contoh dari perjuangan kaum si-Penolong bagi Papua. 

Ketua Sinode GKI I, F. J. S. Rumainum (alm), mengatakan : “Celakalah suatu bangsa, di mana kaum laki-laki maju dalam pengetahuan, sedangkan kaum perempuannya tidak ikut serta dalam perubahan zaman.”  Dengan ungkapan ini Rumainum mau mengingatkan, bahwa tidak memberdayakan potensi perempuan agar setara dengan laki-laki dan ikut serta dalam pemajuan aspek kehidupan, maka cepat atau lambat, dampaknya akan tampak pada sendi kemanusiaan lainnya.

Sudah lumayan banyak perempuan Papua yang berprestasi dan sukses. Walaupun sebagian besar belum karena dominasi atau kekuasaan yang sulit dielakkan.   Padahal, ada potensi dan kekuatan yang bila disadari bisa menjadi membangkitkan perjuangan pembelaan diri. 


Oleh: Costantin Wanaha, Penulis Adalah Ketua Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Kabupaten Nabire
==========================

Sumber:http://suaraperempuanpapua.org/

Jangan lagi bermanis bibir dan mengaku negara demokratis

Unknown | 04.51 | 0 komentar
Jangan lagi bermanis bibir dan mengaku negara demokratis dan pendekar Hak Asasi Manusia. Mestinya Anda malu atas segala dosa politik di masa silam sampai sekarang ini. Ataukah Anda masih mau bersandiwara karena belum puas mencuri kandungan alam Papua Barat.
Tetapi, dosa itu harus Anda tebus. Kami tidak akan berhenti berteriak sebelum Anda menebus dosa. Siapa yang menggali lubang dialah yang harus menutupnya. Anda telah menggali lubang penderitaan bagi rakyat Papua Barat, maka Andalah yang harus menutupinya.
Jika semua ini tidak Anda lakukan, maka kami akan melawan selamanya. Kami akan mengajarkan kepada anak cucu kami dari generasi ke generasi bahwa musuh utama kalian adalah PBB, Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Jika Anda tidak menebus dosa, maka boleh saja generasi kami terus berganti dari waktu ke waktu, tetapi musuh kami untuk selamanya adalah Anda.
Semua kejahatan ini akan menjadi kenangan pahit dalam sejarah dunia hingga hari penghakiman terakhir. Semoga Anda menebus dosa dan bertaubat kembali ke jalan yang benar. Tuhan, jangan lupakan dosa-dosa politik mereka, sebelum mereka menebus dosa dan bertaubat

"DENGARLAH AKU, DENGARLAH MEREKA"

Unknown | 04.50 | 0 komentar
Hidup memang panggung sandiwara
Begitu banyak mahluk berpura-pura
Mereka adalah Penjajah di Negeriku
Penjajah negeriku yang hampir remuk ini
Mereka mengumbar beragam sukacita
Namun goresan hati tetap tak berhenti melukai hatiku
Hatinya, hati mereka, dan hati kami semua.

Dia janjikan kesejahteraan namun yang ada kemelaratan
Dia janjikan kemakmuran namun yang ada kemiskinan
Dia janjikan keadilan namun yang ada ketidak adilan
Ini itu mereka janjikan, tapi apa? Mana?

Semua mereka umbar demi merebut kekuasaan
Siapa yang kuat dialah yang menang
Hei Bung, ini bukan perlombaan
Ini bukan ajang mengumpulkan kekayaan
Ini bukan ajang mencari kekuasaan
Bangsa ini bukan tempat yang layak untuk itu semua
Ini menyangkut HAK SEBUAH BANGSA YANG MERDEKA.

Atau mungkin apakah memang kau duduki Alam dan Pulauku,
Hanya untuk membesarkan namamu?
Hanya untuk menuangkan bakatmu menjadi seorang Pahlawan yang Adil?
Atau memang kau adalah Pencuri,Pembunuh yang tak berperi kemanusiaan ?

Maafkan aku mengungkapkan semua ini
Aku dan mereka kecewa melihat Semua yang kalian lakukan terhadap kami
Disini kami menangis, hati kami terluka
Semuanya terasa sangat miris
Kami hanya ingin menuntut Hak kami
Dengarlah aku, dengarlah mereka
Kami ingin hidup tenang di negeri kami
Katanya kalian adalah negara hukum bukan?
Tapi kenapa hukum itu tidak kau tegakkan?

Justru kau beli, kau uangi
Kau bilang kita satu, tapi dimana letak kesatuan itu?

Ah Tuhan…sangat banyak yang ingin ku goreskan
Sangat banyak yang ingin ku ungkapkan
Negeriku kacau Tuhan
Ibu-ibuku merintih kesakitan
Anak – anaknya berteriak
Ingin agar Ibunya segera pulih
Tapi teriakan itu tak didengarkan
Seakan berteriak di sebuah gua

Suara itu memantul, suara itu hanya bisa kembali
Saat ini kami hanya bisa berharap
Tuhan menjamah negeri ini
Tuhan pulihkan negeri ini
Dan semoga Penderitaan dan Penindasan ini segara berakhir
Sesungguhnya itu yang kami rindukan
Dengarlah aku, dengarlah mereka.

"GORESEN KECIL"

Unknown | 04.49 | 0 komentar
semua ini telah menghilang
dan ku tergelam terlalu dalam
tenggelam diantara air mata
yg berlinang dan terjatuh disana.

ku coba bangkit, bangun dari kesengsaraan
bangkit melawan semua cobaan
bangkit melawan jati diri yg kini padam
namun tak bisa ,ku hanya memaksakan kehendakku saja..

disana mungkin kini telah timbul benih asmara
timbul beberapa butir keindahan
namun disini hanya tangisan, tawa yg memaksa dan ejekan
dan beberapa luka dihati

lama kucoba bangkit
mungkin ku bisa mencobanya
tapi semua itu kau selalu menutupinya
karna masih ada goresan kecil yg memaksa ku untuk Bangkit.

Oleh:
Curahan Hati Rakyat Papua Barat

“UNTUKMU POLITIKUS BIROKRAT PAPUA”

Unknown | 04.47 | 0 komentar
Kami tidak butuh
ungkapan bela sungkawamu birokrat,
kami tidak butuh
kritikan pedismu legislatif

kritikan dan rasa berkabungmu
tak akan hidupkan kami kembali
lindungilah orang papua
dengan tugasmu birokrat

Ukirlah jasamu legislator
Tentang Perlindungan Hak Hidup Orang Papua
Tentang Perlindungan Hak Ulayat Orang Papua
Tentang Perlidungan dan Pelestarian Budaya Papua

Agar kami Dapat menggenggam kebebasan hidup
Sembari Nikmati Mentari pagi
Diatas Bumi Cederawasi
Tanpa tekanan kekerasan
Dibalik Perangkap sistim Penjajahan

Nyawa Rakyat Papua
diujung Sengsara
Mandulnya Legirlator Papua
Seakan menyuburkan Pembantaian

Dari Puncak Kepunahan Kami Berseru
Hai MRP Apakah Kau Buta
Dimana suaramu
Disini Anak Adat Papua
Terperangkap Laras M 16

Sang Penyambung Lidah Rakyat Papua
Ngoceh kala HAM Berat Terjadi
Namun sayang hanyalah kata
Yang kian berlalu

Mengapa Eksekuti Papua Membisu
Saat Timah Panas Aparat Keamanan
Menembus tubuh rakyat Papua
Saudara kandungmu sendiri
“Kritikanmu Adalah Pelitaku”


Oleh: Curahan Hati Rakyat Papua Barat

Jangan Menyerah

Unknown | 04.46 | 0 komentar
Jangan menyerah Tuhan masih sayang kepada Anak BANGSA PAPUA, karena berjuanganmu sangat mulia,dan Kudus karena berjuanganmu bukan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan untuk perjuta-juta manusia Papua Melanesia beberapa ratus-ratus tahun kedepan..Tuhan tahu kapan Dia mau memberikan kebebasan bagi Tanah Papua, hanya kita berharap dan berharap saja kePada-Nya. Tuhan Allah Bangsa Israel dan Bangsa Papua sedang membuat suatu tanda-tanda mujizat-Nya menuju kebebasan total..Dulu tahun 1990-an tidak ada ruang bagi kita kaum tertindas ketika pemerintahan Otoriter Soeharto, tetapi setelah adanya reformasi 1998 maka kita memiliki banyak ruang dan peluang hanya kita tidak menjadi “satu” antara gunung, lembah, dan Pesisir pantai artinya kita memiliki banyak faksi juga satu hal yang harus kita evaluasi.
Satu hal yang sangat pertendangan yaitu Semua pejabat Papua menutup mata dengan UANG JIN dan dihipnotis dengan roh setan NKRI dan Paha putih (Perempuan Jawa) hal ini rahasia umum.
Beberapa Faktor yang mendorong para pejabat Papua untuk tetapi setia dan kerja sama adalah Ekonomi dan Jabatan Politik memiliki daya tarik tersendiri sementara mengabaikan penderitaan rakyatnya sendiri.. para pejabat Papua perlu membaca Kisah nyata dalam Alkitab dimana Seorang pahlawan Israel yaitu Musa ketika bangsa Israel kerja Rodi selama 40 tahun dibawa pimpinan Raja Mesir yaitu Firaun .Musa membela mati-matian walaupun dia anak angkat dari seorang kepercayaan Firaun karena musa tahu diri siapa musa,asal usulnya darimana maka ada dua orang berkelahi Musa membelanya setelah itu, dia pelarian ke mesopotamia dan memiliki istri dan anak sebenarnya Musa memilih keenakan karena dia jauh dari penyiksaan tetapi ia tahu diri bahwa ia keturunan Israel makanya musa masih sayang bangsanya dan tinggalkan istri dan anak tercinta dan kembali datang melawan Firaun untuk membawa keluar bangsa Israe dari perbudakan raja Mesir. Beda dengan sifat ketamakan Para Pejabat Papua yang paling jahat, jijik dan syadis benar kelakuannya padahal mereka bukan anak angkat atau anak tiri apalagi anak darah dari NKRI keturunan Ras Melayu?? Pejabat Papua hanya pembantu dan pesuruh atau maaf "Buatan Boneka Indonesia" kata lainnya adalah pejabat mainan. Contoh: OTSUS isinya NOL tetapi bungkusannya BESAR/ GEMUK. Kedua Sering para pejabat ke Jakarta minta Projek dan minta Bantuan dana pasti uang beli uang, padahal tidak ada dalam teori dan UU Indonesia, pejabat Papua dibodohi datang bawa uang dari papua untuk beli uang dijakarta misalnya Dana ABPN,DAK,DAU,DAN HIBAH pun sama dll.
Pejabat Papua dapat tipu oleh pusat, sebab Isi OTSUSnya kosong karena praktek Pemerintahan Sekarang yang pemerintah papua menjalankan adalah UU 32 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu turunan dari UU No. 29 Tahun 1998 dengan sejumlah urusan wajib dan pilihan sesuai amanat UU 32 yaitu Desentralisasi atau penyerahan sebagian kewenangan kepada pemerintahan Daerah di 34 Provinsi dan 511 Kabupaten Kota. Sementara dari UU No. 21 Tahun 2001 tentang OTSUS tidak berjalan alias mandul, maka kata rakyat PAPUA OTSUS sudah ALMARHUM karena mayat dari OTSUS itu telah dikirim ke Jakarta untuk kebumikan di taman pahlawan Kalibata Jakarta Timur.
Maka itu Kemerdekaan Bangsa Papua Barat merupakan komitmen bulat dari seluruh jiwa,raga dan darah atas nama alam papua,tulang pelulang nenek moyang para pahlawan PAPUA BARAT serta demi Nama Tuhan Allah YHW Bangsa Israel dan Allah Bangsa Papua bahwa kami tetap berjuang mati-matian sampai dengan titik penghabisan darah kami. Mulai dari Generasi tahun 1960-an sampai dengan generasi sekarang dan generasi berikutnya tetap ANTI Indonesia Kecuali manusia Melanesia Papua hilang dari bumi Cendrawasih yaitu Tanah Papua yang kami cintai. (
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)

SUARA HATI...

Unknown | 04.45 | 0 komentar
Walaupun tak semua orang memilih pekerjaan yang sifatnya mulia tanpa imbalan, dan walaupun itu taruhan nyawa! Tuan Bucthar Tabuni Bersama Tuan Filep Karma dan penjuang2 yang lain dipenjarakan, disiksa, dianiyayah bukan karena curi barang milik orang lain, bukan karena perkosa orang pu istri, bukan karena mabuk atau melakukan kejahatan lainya.
T I D A K............................., tetapi menerima dan menghadapi semua penderitaan, siksaan, dan dalam kurungan trali besipun, seperti foto dibawah ini hanya karena membelah umat Tuhan yang di tindas oleh Penjayah NKRI dan kapitalis asing, hanya karena membelah kebenaran dan keadilan, hanya kerena berjuang untuk kebebasan Orang Papua dan Negeri Papua barat ini dari ancaman koloni2 kapitalis asing! Menganggap semua penderitaan itu menjadi profesi seorang pejuang, tekat dan komitmen berjuang apa adanya, apapun resiko dan tantangan, relah menderita semua penderitaan itu dengan tangisan cucuran air mata, dan hanya punya 1 kerinduan, bagimana penjajahan itu harus berakhir terhadap umat Tuhan rakyat Papua di negeri ini!
Tuhan Allah yang hidup dengan kuat kuasah-Mu berkatilah mereka dan juga kami semua, Tuhan.... jangan membawa kami kedalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. Karena Engkaulah Yang Punya kuasa atas langit dan bawa kolong bumi ini! (
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)

Demi Satu Tujuan

Unknown | 04.42 | 1komentar
Sekian lama rasa resah yang datang
menghampiri tanpa kuharap
berharap saat ini hanya ilusi
tak nyata dalam kenyataan
namun semua fakta, bukan mimpi bunga tidur....

Demi satu tujuan.........
putaran waktu rubahkan semua
masih disini berharap ini berlalu
kami beraksi dengan cara kami
tiada terpaksa, ini panggilan jiwa
yang telah ada sebelum terlahir....

detik menit waktu yang berganti tak goyahkan
semangat! hilang ditengah lesu dan rendah nyali
melihat realita sesama kawan saling menjual
hilangnya idiologi terbeli ambisi hasilnya apatis
berdasar kosong yang searah.......

Semua demi satu tujuan.......
masih ada waktu, walau terasa lama
harapan tetap diatas, walau jalan berliku
aku.... kau, kita dan mereka adalah pelaku
bukan penonton, catatlah bagianmu didalam sejarah
baktikan cinta dalam bukti yang nyata untuk perjuangan

biarlah segala resah, rasa kita bersama hilang tersapu
tak tinggalkan ambisi, ego pecahkan tujuan kita
semakin kita sadari, semakin kita dapat bersama melawan
ini fakta, bukan ilusi.....satu langkah di dalam perlawanan

merebut hak kesulungan yang kita miliki.................

semua demi satu tujuan, kebebasan sejati
diatas negeri penuh misteri
saat ini, masa kini dan masa depan anak cucu.........

INDONESIA TAKUT PAPUA MERDEKA

Unknown | 04.40 | 0 komentar
Indonesia takut kepada setiap gerak langkah OPM-TPN,DIPLOMAT2 dan gerakan setiap faksi yg ada.
Maka sekarang para pejabat dan petinggi MILITER RI merekrut Badan Intelijen Negara,rakyat sipil asli orang papua dan non papua yang lama di papua untuk memata-matai setiap gerakan orang papua didalam negeri maupun diluar negeri.
Di INDONESIA Bidang Ekonomi,pertambangan,bahan2 mentah hasil SDA smua berasal dri papua kemudian diolah di jawa dan jual ke papua dgn harga mahal dan semua rakyat miskin asal jawa,Batak,Toraja,Manado,Makasar,NTT,AMBON dan orang melayu lainnya hidup di papua bagaikan sorga bagi mereka. karena dipapualah mengurangi beban negara, mengurangi tngkat kemiskinan di drh mereka karena papua dikuasai semua bidang mulai dri Birokrasi(Satpam,staf,kasubdin,kasubag,kedin,sekda sampai bupati dan wakil bupati juga 90% dikuasai oleh mereka(Para penjajah) dan bidang ekonomi,TNI,POLRI, medis Pedagang kaki lima transportasi darat,laut mereka kuasai. Rakyat papua dipinggirkan ditanah mereka sendiri.
aneh ketika Orang Asli Papua kerja di daerah mereka sangat susah sistem pemerintahan di tanah ras melayu sama persis sistem pemerintahan kerajaan hanya pemerintahan di papua sja demokrasi karena berbagai suku,ras dan agama bisa kerja dipapua.
Saya sebagai anak tanah papua tidak terima perlakuan ini mari kita LAWAN sampai PAPUA harus merdeka dari negara KOLONIAL Indonesia negara kafir. (
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)

Tak Ada Kata Lain Selain LAWAN

Unknown | 04.39 | 0 komentar
Jangan Berpikir bahwa kebohongan, kepalsuan, dan kejehatan yang berakar lama akan hilang karena kebaikan para penguasa.
Jangan berpikir mereka mencintai kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Tetapi, marilah kita belajar dari sejarah.
Sejarah telah cukup bercerita bahwa kebohongan, kepalsuan, dan kejahatan telah mengakibatkan penderitaan bagi Rakyat Papua Barat. Kejahatan itu akan menjalar kemana saja, termasuk dalam ke dalam hidup kita. Kita memang selalu senasib dan mempunyai musuh yang sama.

Tidak ada kata lain yang bisa kami sampaikan, kecuali mengajak untuk Melawan....Lawan dan Lawan. Jangan sampai sejarah lama terulang kembali, yaitu sejarah kebohongan, kepalsuan, dan kejahatan. Tetapi, demi kebenaran, maka tidak ada pilihan lain kecuali Lawan dan Lawan. "Akhirnya Kebenaran bisa di salahkan tetapi tidak bisa di kalahkan." (
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)

MAJU TAK GENTAR KATAKAN LAWAN.

Unknown | 04.36 | 0 komentar
RASA damai kian mahal saja di Papua. Kekerasan dan pembunuhan tiada henti meneror Bumi Cenderawasih. Eskalasinya bahkan semakin merisaukan dari waktu ke waktu. Ini tanda bahwa masa depang bangsa ini sangat curam.
Wajah retak Papua membuat banyak nyawa melayang sia-sia. Korban berjatuhan dari hari ke hari, sampai kapan akan berakhir ini semua, apakah dengan kondisi yang kita hadapi apakah kita diam
membisu?
Berduka, berkabung dan menyesali tak kan pernah mampu mengubah keadaan. Hanya bergerak, melangkah dan berbuatlah yang bisa menggantikan kedukaan menjadi kebahagiaan. Hati yang terluka adalah seumpamanya besi bengkok, walau telah diketuk, sulit kembali menjadi bentuk asalnya.
Ingatlah, kepedihan kita hari ini akan terasa indah dan manis saat kita mengingatnya kelak.
Jika Anda menginginkan sesuatu yang belum anda miliki, maka Anda akan harus melakukan sesuatu yang belum pernah anda lakukan. Jika enggan mengambil risiko, kita tak akan pernah kalah. Tapi tanpa berani menanggung risiko, Anda tak akan pernah menang.
Ketakutan adalah teman terbaik sekaligus musuh terburuk. Ini seperti api. Jika bisa mengendalikannya, itu bisa untuk memasak dan menghangatkan rumah. Sebaliknya jika tidak bisa mengendalikan justru akan membakar dan menghancurkan kita, dan usirlah ketakutan yang ada dalam diri kita, sebab ketakutan itu merupakan musuh utama kita.Yang terbaik adalah : "kita telah mencobanya", dan yang terburuk adalah : "Aku akan mencobanya"
Kita HARUS tahu kita bisa menang, kita HARUS berpikir kita bisa menang, dan kita harus merasakan kita bisa menang. Untuk meraih kesuksesan, tidaklah cukup dengan melakukan yang terbaik. Terkadang kita harus melakukan apa yang diperlukan Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang dia peroleh, melainkan apa yang sangat ia rindukan untuk diraih . Kita hidup untuk saat ini, kita bermimpi untuk masa depan, dan kita belajar untuk kebenaran abadi.
Manusia adalah makhluk satu-satunya yang dapat menebang pohon, mengolahnya menjadi lembaran kertas, dan menulis Stop Penggundulan Hutan diatas kertas tersebut. Inti keperjuangan adalah menjalani dengan usaha dan ditambahi dengan keiklasan.

MAJU TAK GENTAR KATAKAN LAWAN. (
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)
 

KEADILAN DI TANAH KIAN MAHAL, PEMERINTAH INDONESIA IBARAT BUAH KENDONDONG TERLIHAT INDAH DARI KULIT NAMUN DALAM PENUH DENGAN DURI

Unknown | 04.34 | 0 komentar
Sungguh ironis dan sangat mengerikan nasib Bangsa Papua Barat, mengapa keadilan di tanah Papua kian mahal untuk dinikmati, apakah manusia Papua di tanah Papua itu ditempatkan oleh Tuhan untuk dimusnakan dari tanahnya sendiri ? atas nama pembangunan atas nama penegakan hukum orang Papua terus menerus dibantai dari tahun ke tahun, berawal dari tahun 1963 sampai detik ini harapan hidup masa depan akan cucu bangsa Papua terancam Punah.

Air Mata dan darah terus mengalir seantero tanah Papua Barat, selama 51 Tahun Papua diitegerasikan ke dalam NKRI kekerasan belum berakhir Resim Orde Lama Resim Orde Baru, masuk lagi reformasi namun kekerasan dengan kekuatan militer belum juga memberikan sebuah keadilan bagi Rakyat Papua Barat.

Keadilan kedamaian di tanah Papua terlalu mahal untuk dinikmati oleh rakyat Papua Barat seperti manusia lain di muka bumi ini. Negara tidak menjami keselamatan rakyatnya, Rakyat Papua barat terus menyerit kesakitan darah dan air mata terus mengalir.

Pemerintah Indonesia di Papua seperti Buah Kendondong

Atas nama penegakan Hukum rakyat Papua Barat terus di korbankan atas nama pembangunan rakyat rakyat Papua terus menjadi minioritas di tanahnya sendiri. Pembangunan menjadi topeng untuk merampas hak Tanah rakyat Papua Barat. Resim demi Resim terus sili berganti belum memberikan dampak yang postif bagi rakyat Papua Barat, Pemerintah terlihat Seperti Buah Kendondong terlihat bagus dari kulitnya namun didalamya penuh dengan duri dan urat, begitulah pemerintah indonesia di Papua seperti buah kendongdong, pemerintah dan TNI/POLRI terlihat baik dan di media masa selalu mempublikkasikan tentang pembangunan dan kesejahtraan namun dalam perakteknya pembangunan, kesejatraan, dan penegakan hukum hanya topeng melegalkan pemerintah Indonesia melakukan penindasan dan pembantaian serta perampasan tanah adat terus berjalan.

Praktek genosida manusia Papua

Peraktek pemusnahan Manusia Papua dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai peraktek secara sistematis dan terustruktur, melegalkan pengiriman minuman keras dari luar Papua dengan lebel khusus,penualan Minuman keras secara bebas di berbagai kota di Papua dengan alasan bahwa minuman keras menghasilkan pendapatan Daerah PAD yang lebih besar bagi kabupaten kota di Papua.pada hal minuman keras berpengaru tingginya angkah HIV di Papua dan juga meningkatnya pembunuhan dan hancurnya kasus moral manusia Papua.

Pembunuhan melalui HIV AIDS anigka penyakit menular tersebut di Papua dari Tahun ke takun semakin meningkat belum ada upaya yang konkrt dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penyakit yang mematikan tersebut, penyebab angkah HIV di papua karena mengancam pemusnahan manusia Papua.

Pembunuhan melalui Pengobatan gratis dan Keluarga Berenca (KB) sebenarnya KB tidak layak untuk di terapkan di Papua karena Jumlah Manusia Papua lebih kesil dibandingkan manusia di Pulau jawa, dampak memperlakukanya KB memberikan kebebasan atau pelung untuk orang melakukan hubungan seks bebas karena karena tidak mukin hamil, akhirnya angka HVI terhada Ibu-ibu rumah tangga dan remaja sangat tinggi.
Pembunuhan melalui tima panas dengan stikma separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GSB) Kerakan Sipil Bersenjata (KSB), Kerombolan, Orang Tak Dikenal (OTK) dan lain –lain Sitikma ini selalu dipakai oleh pemerintah dan TNI polri untuk melakukan peraktek pemusnahan manusia papua, Setiap orang asli Papua bebrbicara demi keadilan dan kebenaran serta berteriak atas tanah mereka dirampas oleh pemerintah selalu menistikmakan separatis pada akhirnya mereka harus dibunuh dibunuh dengan tima panas dengan alasan menghambat pembangunan, selain itu selalu mengistikmakan separatis dan GPK dan lain-lain

Ide Separatis dan Teroris Jadi Proyek TNI Polri

Tidak ada separatis dan teroris di Papua Barat, yang ada hanyalah rakyat yang tuntu hak penentuan nasib sendiri yang secara legal dilindungi oleh hukum internasional. Ide separatis dan teroris diciptakan oleh negara untuk memojokan perjuangan legal orang Papua Barat, juga diciptakan oleh TNI Polri yang memiliki nafsu perluasan teritori TNI.Polri dan uang. Demi uang saja, negara tipu aparat negara dan aparat negara tipu negara alias “baku tipu rame”.

Stigmanisasi “ Teroris” adalah langkah baru jurus lama Negara Republik Indonesia untuk membungkam Perjuangan Papua Merdeka. Sebelumnya, sejak proses aneksasi Papua oleh Indonesia, stigma “ hitam,keriting dan bodoh” telah dipasang sejak lama dan memasung pikiran dan ruang gerak Orang Papua sejak operasi Trikora 1961 hingga Reformasi 1988. Kini sejak 1988 hingga 2012, perjuangan Papua makin mengkistal dan mendapat tempat di dunia international, cara lama memasang stigma kembali terjadi dari “ Bodoh” menjadi “ Teroris”.

Indonesia gencar dengan promosi UP4B sebagai bentuk keseriusan pemerintah membangun orang Papua tapi dengan memasang stigma “Teroris” telah terjadi pemutarbalikan fakta dan pembohongan yang dinilai “Sesat Pikir”. Indonesia dinilai gagal dalam membangun manusia Papua. Indonesia dinilai tidak mampu bahkan tidak memiliki itikad baik sedikitpun untuk membangun manusia Papua. Selain itu kini menerapkan Otsus Plus atau Pemerintahan Papua merupakan sebuh sitem yang akan menghancurkan masa depan dan harapan hidup orang papua.
Ketidakmampuan negara dalam mengatasi gejolak politik Papua Merdeka dengan memberikan stigma"Teroris" kepada Orang Papua dinilai merupakan sebuah konspirasi licik bahwa Indonesia menunjukan dirinya semakin tidak berdaya menghadapi Gerakan. Papua Merdeka.

Resim SBY Budiyono

Resim SBY Budiyono akan berahir dalam tahun ini, apakah dalam tahun 2014 setelah pemilihan persiden barua akan kah ada perubahan dan keadilan di tanah papua ? yang menjadi pertanyaan adalah SBY latar belakang dari partai democrat di angkap orang mengerti demokrasi dan mengedepakan Hak Asasi Manusia namun dalam perakteknya resim SBY penuh dengan pertumpahan darah dan air mata. SBY pembunuh berdara dingin dan penuh dengan kejahan kemanusian di Tanah Papua, SBY menanamkan beni kebenzian rakyat papua kepada pemrintahan Indonesia di tanah Papua.

Pesta demokrasi di Indonesia akan berlangsung dalam tahun 2014 pada bulan april mendatang, baik itu pemilihan Legislatif maupun Eksekutif maupun pilpres, apakah kita yakin bahwa ke depan persinden barus di indonesi akan manjamin keselamatan manusia Papua dari kepunahan ?

Apkah kita Yakin bahwa manusia Papua akan di sejatrahkan oleh pemerintahn baru yang akan mendatang ? sulit untuk kita pastikan bahwa resim yang akan datang mampu menjamin kesejahtraan rakyat papua dan keselamatan nasib masa depan orang Papua di kemudian hari.

Belum tentu hal perubahan akan terjadi kepeminpinan persiden yang akan dating karena calon persiden dalam pilpres yang akan mendatang semuanya latar belang Militer seperti Wiranto adalah baret Hijo orang pernah melakukan pembantaian rakyat sipil di biak Papua, pernah melakukan operasi di Aceh dan tmor Leste, Sedangkan calon persiden Prabowo Wiranto salah Peminpim miler baret merah, kopasus yang pernah melakukan operasi di Mapinduma dan Operasi Pada tahun 77 dan prabowo juga pernah melakukan operasi di Timur leste. Sedangkan Yokowi gubernur DKI Jakarta saat ini menjadi persiden kemukianan besar dia tidak tau kondisi papua sehingga dia akan mengandalkan kekuatan militer di Papua Barat. Kemudian Yokowi dicalonkan oleh partai PDIP partai yang dipimpin oleh Mega Wati yan pernah Membunuh peminpin Besar bangsa Papua Theys H Eluay pada saat itu Megawati Persiden Indonesia.

Dengan demikian jika orang Papua harus mempertimgbangkan baik-baik untuk menghadapi pesta demokrasi yang akan dating, jika Rakyat Papua Barat ikut dalam pemilihan persiden yang akan dating makan secara tidak langsung kita sendiri memperpajang sejarah penindasan dan pemusnahan Manusia Papua dari Bumi cendrwash.

Sebab tujun pemerintah Indonesia di papua bukan manusianya melainkan kekayaan alamya, sesuai dengan pernyataan Ali Mutopo bahwa, setelah Terikora mengatakan bahwa:

(Kami mencaplok wilayah Irian Barat ke dalam Pangguan Ibu pertiwi bukan karena kami mencintai mas-mas Irin barat Namun kami itegerasi Irian Barat Karena kami mencintatai Emas-Emas Papua, jadi Jika orang Irian mau Mendirikan Negara berarti mereka (orang Papua) mita pada Allah mereka supaya Tuhan Allah memberikan pulau di Pasifik supaya mereka mendirikan Negara mereka disana, Negara Boneka Butan belanda harus dibubarkan.)

Sesuai dengan kutipan Ali Murtopo diatas maka kini hal tersebut telah terbukti bahwa selama 52 Tahun lebih NKRI menduduki di Tanah Papua pemerintah tidak membangun orang Papua namun yang ada hanya pembunuhan dan penindasan perampasan hak tanah adat, pemerkosaan marginalisasi penculikan darah terus mengalir di negeri ini.

Apakah orang Papua akan ikut dalam pesta demokrasi yang akan mendatang untuk memilih persiden dan wakil persiden untuk lima tahun kedepan ? jika demikian maka jangan heran bahwa tahun 2020 orang Papua akan tinggal nama pulau ini akan dikuasi oleh orang asing yang dating dari luar. Jika kita tidak mau orang papua punah dari tanah Papua mari kita lebih baik Golput Karen Golput adalah Hak ada kami tidk ada Undang –undang yang melarang melarang orang Golput.
Jika kita tetap mempertahankan penjajahan NKRI melalui pesta demokrasi di Papua maka jangan kita menyesal dikumudian hari penindasan akan terus menigkat dan orang papua lambat laun akan punah dari tanah ini. Semoga hal ini menjadi perhatian kita bersama demi masa depan anak cucu Bangsa Papua yang akan datang.(Nesta Gimbal,
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)

SELAMATKAN TONG PU BUDAYA PAPUA

Unknown | 04.32 | 0 komentar

Jayapura 17 Februari 2013. Polisi membubarkan dan blockade aksi budaya di jayapura, Aksi budaya yang dikordinir oleh Koalisi Pemuda Mahasiswa Bangkit (KPMB) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM ) BEM Uncen tersebut dibubarkan paksa oleh Kepolisian Polresta Kota Jayapura.

Aksi budaya papua pada hari ini 17 Februari 2014 dimulai pada pukul 08.00 WPB. Pagi masa berkumpul di depan kapura Uncen perumnas III waena, kemudia masa lain berkumpul di depan kantor pos Abepura, Aksi Budaya tersebut dilakukan dalam sebuah tema yang merupakan tuntutan utama adalah ( Selamatkan Tong Pu Budaya Papua ) dalam aksi tersebut semua masa aksi menggunakan pakaian adat dan budaya Papua.

Sejak pagi masa melakukan orasi politik di depan Gapura uncen kemudian pada pukul 10.00 WPB masa bergerak locmack dari perumnas III ke abepura, pada saat masa sampi di lampu merah Polisi memblokade masa aksi. Beberapa kordinator lapagan melakukan negosiasi dengan pihak aparat kepolisian namun polisi tidak gubris dan tetap melarang masa aksi untuk melanjudkan aksi demo damai tersebut, dan secara paksa membubarkan masa aksi.

Pada awalnya panitia aksi melayangkan surat pemberitahuan ke Polresta dan Polda Papua bahwa KPMB akan melakukan aksi demo damai dengan bentuk aksi seni budaya, sesuai dengan surat pemberitahukan ke polisi pada hari ini masa rakyat yang terkabung dalam KPMB dan Bem uncen tersebut melakukan aksi budaya secara damai namun lagi-lagi polda papua melalui kapolresta jayapuara membubarakan masa aksi secara paksa.

Polisi dalam hal ini polresta jayapuara membubarakan dan memblokade masa aksi dengan alasan bahwa di Indonesia tidak ada budaya seperti yang kalian pake, kamu segera bubar karena kamu membawa abudaya darimana ? Indonesia tidak ada budaya seperti ini tegasnya KIKI KURNIA wakil Kapolresta Jayapura sataunnya polisi yang sedang menghadang masa di Lampu merah waena.

Setelah polisi dibawa Pimpinan Wakil Kapolresta Jayapura Kiki Kurnia memblokade dan membubarkan masa aksi tersebut sehingga masa kembali berkumpul di depan gapura uncen dan melakuakan pembakaran di jalan dan menkelar akasi di perumnas III waena. Pada saat gelar aksi di depan gabura uncen, hal ini menadakan bahwa pembunggaman ruang demokrasi di Papua terus dilakukan oleh kepolisian Polda di seluruh tanah air Papua Barat, selain itu Polisi juga telah menhianati budaya papua, dimana pada saat polisi menghadang masa aksi tersebut mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada budaya seperti ini jadi kalian bawa budaya darimana katanya, hal ini membuat masa aksi marah.

Dalam aksi tersebut masa aksi mengancam bahwa jika polisi menyagkal mengianati budaya kami maka, Kami rakyat papua akan melakukan aksi yang lebih besar dengan budaya Papua, dan akan boikot pilpres 2014 tegasnya salah satu masa aksi dalam orasinya, selain itu dalam aksi budaya tersebut kordinator aksi Beny Wetipo menyerukan Kepada rakyat Papua dan semua Pihak selamatkan budaya Papua dari persaingan budaya asing yang mengancam Ras Budaya Papua. (Nesta Gimbal ,
Curahan Hati Rakyat Papua Barat)



Tak Ada Demokrasi di Papua

Unknown | 22.58 | 0 komentar
‘Orang-orang Papua selalu jadi korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia … Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi.’
Kelly Kwalik kepada Jimmy Erelak, dalam Markus Haluk (2013: 286)
JUDUL tulisan ini digubah dari pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia dalam pembukaan Manifesto Pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996, ketika diktator Orde Baru masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya, lima paket UU politik adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang teguh memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
Lima belas tahun reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun 2003 tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya menyusul ditahan sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan berekspresi. Rakyat Papua adalah korban sekaligus tumbal bagi persekongkolan pemodal internasional, militer, dan pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas dasar itulah artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta masalah di Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian Theys Eluway di tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia berlangsung. Di sana tampak penyingkiran sistematis dan politis orang Papua di tanahnya sendiri. Mengapa  tidak ada perubahan pendekatan dari Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting dijawab, sama pentingnya  dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua warisan politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan itu adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi Papua.
Memahami peta masalah dan solusi papua
Tidak mesti menjadi orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua adalah kita. Mengenal masalah Papua akan memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya: suatu negeri yang proses negosiasi kebangsaannya belum selesai, apalagi harga mati. Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang harus diubah oleh Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena masalah sekaligus solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat kekuasaan Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh dan Papua[1]  sekaligus memberi keberpihakan pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus Dur, khususnya akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran Provinsi Papua (Inpres No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin memburuk. Frans Maniagasi, dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua), di tahun 2004, memandang persoalan Papua berakar pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia terhadap Papua, dan sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua sama, yaitu ‘seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh sengketa – yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme.’
Sebelumnya, di dalam Papua Road Map yang diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja. Terdapat empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan; inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. (LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan kompromi antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI. Berdasarkan analisis konflik tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir mengusung agenda dialog. Pemerintah merespon wacana dialog, yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa: ‘Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.’[4]
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun hasil rekomendasi dialog damai tidak disikapi dengan positif oleh pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan masih terus berlangsung ketika masyarakat Papua mengajak berdialog dengan Jakarta. Komunikasi konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya meyakinkan Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua, Socratez Sofyan Yoman (2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus dilakukan antara pemerintah Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa syarat, dan dimediasi oleh pihak ketiga (internasional). Hal ini dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia yang cacat partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan Orde Baru terhadap perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, di tengah syarat dan tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap dialog yang dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu mundur teratur dan tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk apapun. Peningkatan kekerasan di Papua oleh militer Indonesia justru menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan rakyat Papua, yang sebetulnya tidak berhasil ‘diintegrasikan’ selama kekuasaan Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang intelektual Papua dari National Papua Solidarity: ‘untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional. Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”’
Oleh sebab itulah, pada kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian besar orang Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob, koordinator WestPapua Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua berbasis di Jerman, dalam satu kunjungannya ke sekretariat NAPAS, mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan orang Papua terhadap kemungkinan peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan di Jakarta dan di Papua dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan rakyat Papua. Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia perubahan pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah target advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi dialektis dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara kehendak orang Papua dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun penyerahan administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir seluruh spektrum politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin memburuk. Mereka bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks meliputi sejarah dan status politik, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat asli, konflik agraria dan lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial, budaya. Memposisikan satu masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan yang merugikan, khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk bagi rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena justru solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Pelanggaran HAM sebagai upaya sistematis penyingkiran rakyat Papua
Tidak ada satupun data yang bisa mengkonfirmasi adanya perbaikan situasi hak azasi manusia di Papua di era reformasi.
Menurut Markus Haluk (2013), sebanyak 366 bentuk pelanggaran hak sipil politik terhadap rakyat Papua terjadi sejak tahun 2008 hingga 2012. Pelanggaran tersebut dalam bentuk penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran, penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM.
http://politikrakyatdotcom.files.wordpress.com/2014/01/napas-aksi.jpg
Dalam laporan tersebut, penembakan dan pembunuhan mendominasi angka pelanggaran HAM di Papua (105 kasus), disusul penyiksaan berat (50 kasus), dan pengekangan demonstrasi damai (35 kasus). Tren kekerasan bahkan semakin meningkat pasca diselenggarakannya Kongres III Rakyat Papua (KRP), 16-19 Oktober 2011. KRP III sendiri dibubarkan paksa oleh aparat gabungan pada 19 Oktober, dan Komnas HAM mengonfirmasi telah terjadi empat pelanggaran HAM oleh aparat dalam peristiwa tersebut.[7] Dan sejak saat itu, tren penembakan, penganiayaan dan pembunuhan di tahun 2012 meningkat, dilakukan oleh apa yang disebut aparat sebagai OTK (Orang Tak Dikenal) selain juga oleh polisi. Menurut catatan KontraS sebanyak 54 peristiwa dilakukan oleh OTK dan 84 peristiwa dilakukan oleh polisi.
Berbagai peristiwa ini terjadi di tengah kesimpulan banyak pihak terhadap kegagalan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang sedianya lahir sebagai jalan tengah penyelesaian konflik dalam merespon aspirasi rakyat Papua sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah membangun Papua. Otsus berlandaskan pada empat pilar yaitu: (i) Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli Papua; (ii) Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus; (iii) Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia; (iv) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR) serta Peradilan HAM. Dari empat pilar tersebut, yang terlaksana, dengan banyak problematika, hanyalah Majelis Rakyat Papua dan Komnas HAM Papua.
Dana Otonomi Khusus sejak tahun 2002 hingga 2012 yang berkisar 33 trilyun[8]  tidak juga menyelesaikan persoalan kemiskinan di Papua. Sejak tahun 1996-2011 Human Development Index orang Papua tetap yang terendah.[9] Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat Statistik Jakarta, menyebutkan penduduk Papua berjumlah 3,612,854[10]  jiwa (1,790,777 orang asli Papua dan 1,822,677 pendatang). Disparitas tingkat kemiskinan penduduk Indonesia, berdasarkan rilis Bappenas 3 Januari 2012 menempatkan Papua di posisi tertinggi di Indonesia, sebesar 31,98 persen. Otonomi Khusus yang dijanjikan juga belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui 4 (empat) program utamanya: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Dari data yang dikeluarkan Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua, 2010, APBD Provinsi  Papua tahun 2009 mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 242,06 milyar. Jumlah ini setara dengan 4,71 persen APBD atau 9,28 persen dari dana otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD,  anggaran pendidikan Papua tahun 2009 seharusnya minimal sebesar  Rp 1,03 trilyun. Apabila menggunakan Perda No. 5/2006 dengan ketentuan 30 persen dari dana otsus, anggaran pendidikan Papua pada APBD 2009 paling sedikit seharusnya Rp 782,94 milyar.
Sementara itu peristiwa kematian akibat sakit yang sudah bisa diobati, HIV/AIDS, dan ketidaksediaan bahan pangan, terus terjadi. Masih menurut Foker LSM, alokasi APBD Propinsi Papua untuk sektor kesehatan tahun 2009 sebesar Rp. 295,29 milyar (5,74 persen dari APBD atau 11,31 persen dari dana otsus). Kendati demikian dari sisi persentasi, situasi ini belum memenuhi amanat UU Otsus di mana sektor kesehatan menjadi prioritas pendanaan. Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health Organization), yang menetapkan anggaran kesehatan 15 persen dari APBD.
Angka penderita HIV-AIDS hingga 16 Desember 2012 telah mencapai 13.000 jiwa menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua,[11] dan kawasan pertambangan mendominasi jumlah orang-orang yang terinfeksi. Dari catatan media centre UP4B dalam hal kesehatan pada Februari 2013,[12] dana Dekonsentrasi Provinsi Papua sebesar Rp. 49,4 milyar dan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri sebesar Rp. 13,2 milyar.
Pada awal dan pertengahan April 2013, 95 orang (15 orang menurut keterangan Pemerintah) meninggal; 61 orang juga meninggal di Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua; sementara 535 orang lainnya menderita sakit, terutama sejak November sampai Februari 2013 di Distrik Kwor Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Peristiwa kematian 95 warga dan ratusan yang sakit di Kwor tersebut diduga karena kekurangan gizi dan gatal-gatal. Di Distrik Kwor terdapat 8 Kampung dan didiami 2.250 jiwa (penduduk). Menurut tokoh gereja setempat, peristiwa kematian dan sakit ini sudah lama dilaporkan kepada petugas kesehatan yang berkunjung di Puskemas pembantu (Pustu) tetapi belum ada respon balik dari pemerintah setempat.[13]
Peristiwa yang serupa terjadi di Distrik Semenage, Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua: 61 orang meninggal karena sakit. Peristiwa ini terjadi sejak 15 Januari sampai 30 Maret 2013. Penyebab kematiannya akibat berbagai penyakit seperti sesak nafas, diare, sakit ulu hati, cacingan, badan bengkak-bengkak, dan jantung bengkak. Berdasarkan hasil penelitian selama kunjungan pastoral di Distrik Segema, tokoh gereja setempat, Pastor John Jonga dan Dorkas Kosay, mengatakan bahwa di kampung-kampung terdapat anak-anak dan ibu-ibu yang sakit, mereka tidak mendapat pelayanan medis dari petugas kesehatan karena tidak ada tenaga kesehatan di Puskes Pembantu. Hanya seorang kader (pembantu Mantri dan bidan) yang berada di tempat. Ia pun tak bisa berbuat banyak karena bukan bidan yang mengikuti sekolah formal. Tidak ada penyediaan obat-obatan yang memadai, meskipun obat yang tersedia seringkali berhamburan di lantai Puskesmas Pembantu.[14] Fakta di lapangan berbeda dengan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo yang mengatakan bahwa terdapat sebuah Puskesmas Pembantu dengan 5 orang petugas kesehatan (3 orang perawat dan 2 orang bidan) di Distrik Semenage pada tahun 2009.
Kasus kematian warga akibat penyakit kekurangan pangan dan gizi buruk di Kabupaten Yahukimo pernah terjadi sebelumnya di tahun 2005 dan 2009. Dalam peristiwa itu 220 orang meninggal dunia. Selain di Kabupaten Yahukimo, wabah kolera dan muntaber terjadi pada bulan Juli 2008 di Kabupaten Dogiyai. Menurut laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi Papua, sebanyak 239 Warga Dogiyai telah meninggal dunia akibat wabah kolera dan muntaber yang terjadi antara April-Juli tahun itu. Korban terdiri dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Dalam situasi itu, perhatian pemerintah sangat lambat dan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Kabupaten dan Provinsi.
Pada 4 Desember 2007, sebanyak 21 orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba Kabupaten Paniai, Papua, meninggal dunia akibat  kelaparan. Korban 21 orang itu terdiri dari 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan dan 12 orang lainnya anak-anak. Tokoh masyarakat adat setempat, Maxsimus Tipagau, mengatakan kelaparan terjadi karena gagal panen, di mana musim es menghancurkan tanaman masyarakat. Tidak ada bantuan dari pemerintah Kabupaten Paniai, hingga mereka meminta bantuan dari PT. Freeport, tanpa mendapat respon. Sebagai catatan, Dumadama berada di wilayah konsesi Freeport.[15]
Di tengah kegagalan Otsus yang belum dievaluasi secara komprehensif, pemerintah telah membuat institusi baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Lembaga ini dianggap sebagai solusi sepihak pemerintah Jakarta untuk menjawab kegagalan Otsus. UP4B merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan Masterplan Program Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonessia (MP3EI) yang disusun pemerintah pusat. Di dalam presentasi Bambang Darmono[16]  ‘Merajut Harmoni: Peran UP4B dalam Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat’ disebutkan bahwa MP3EI adalah kerangka acuan yang digunakan selain Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Papua tahun 2010-2014. Tidak jelas di mana posisi Otsus dalam kepentingan itu, bahkan tak pernah satu kalipun dirujuk dalam presentasi tersebut.
Menurut laporan akhir tahun 2012 Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP),[17] terobosan UP4B dalam memperjuangkan pendidikan dan dana pembangunan, khususnya di daerah pegunungan, belum mampu memacu sinkronisasi kerja di antara instansi terkait, juga terutama untuk mengontrol implementasinya. Ageda sosial politik untuk membangun komunikasi di antara masyarakat sipil yang menjadi salah satu peran UP4B masih belum nampak. Pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan terhadap penggunaan dana-dana mulai dari provinsi hingga ke kampung-kampung belum mampu memperbaiki kualitas pembangunan bagi masyarakat. Masih terdapat perbedaan yang sangat besar antara agenda pemerintah dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan.
MP3EI dilaksanakan dalam semangat percepatan pertumbuhan ekonomi berlandaskan ketergantungan terhadap investasi asing, akumulasi berbasiskan industri ekstraktif yang dampak sosial dan lingkungannya semakin mengkhawatirkan, sekaligus karpet merah untuk para pemiliki kapital. Sehingga MP3EI pada dasarnya hanyalah daur ulang kebijakan deregulasi dan akan menjadi sumber bencana di masa depan.[18] Pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing dalam arus neoliberalisme selama lebih dari 3 dekade terakhir sudah terbukti memanen kegagalan ketimbang keberhasilan di dalam perspektif mempercepat laju pengurangan kemiskinan.[19]
Sehingga kekhawatiran banyak pihak bahwa strategi dalam pengamanan investasi akan memperkuat penempatan militer (TNI/POLRI) dalam jumlah besar, yang sebetulnya pun telah berlangsung selama ini, sangat beralasan. Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji, mengatakan, bahwa MP3EI dan UP4B adalah kebijakan soft power yang paling strategis untuk menjalankan harmonisasi kesejahteraan di Papua dalam koridor NKRI dan kebangsaan, sambil, ‘tidak melupakan cara-cara hard power untuk mewaspadai tindakan penggunaan senjata oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab,’ karena menurutnya, ‘angkat senjata tak bisa dihadapi dengan doa. Angkat senjata harus dihadapi dengan senjata, apalagi Indonesia juga punya kekuatan.’[20]
Sulit untuk tiba pada kesimpulan lain, berdasarkan semua fakta pelanggaran HAM sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya yang terus berlangsung sebagaimana digambarkan di atas, selain memang terjadi penyingkiran yang sistematis terhadap rakyat Papua. Berbagai kebijakan yang menghamburkan uang seperti disengaja membuat situasi bertambah buruk melalui peningkatan korupsi birokratik di seluruh jajaran pemerintahan.[21] Sejak Orde Baru berkuasa dengan fokus kebijakan dan pendekatan yang lebih seragam dan represif, Indonesia sudah gagal mengintegrasikan Papua. Secara politik pemerintah pasca reformasi juga gagal menunjukkan komitmen yang lebih beradab untuk meraih kepercayaan rakyat Papua. Terobosan yang dilakukan Gus Dur kandas,di tangan para elit yang konservatif. Sejak awal aspirasi mayoritas rakyat Papua berbeda dengan apa yang diberikan Jakarta.
Aspirasi itu dilandasi oleh apa yang disebut para aktivis hak azasi manusia di Papua sebagai Memoria Passionis atau Ingatan Penderitaan. Memoria Passionis adalah kenangan akan trauma akibat marjinalisasi sosial dan ekonomi secara umum, pengingkaran terhadap harga diri yang sering dilakukan, dan kadang-kadang teror secara terbuka. Memoria Passionis mulai diekspresikan sebagai sejarah penderitaan orang-orang Papua dan disampaikan ke Jakarta ketika sebuah tim yang terdiri dari 100 pemimpin (Tim 100) dari seluruh penjuru Papua mengajukan tuntutan akan kemerdekaan terhadap Presiden Habibie pada 26 Februari 1999.[22]
http://tabloidjubi.com/wp-content/uploads/2012/12/papua-merdeka-1.jpg

Papua dijajah dua kali
Persoalan Papua bersifat sistemik. Terdapat penindasan kebangsaan sekaligus eksploitasi kapital. Gugatan Papua terhadap status politiknya sekaligus adalah gugatan pada orang Indonesia terhadap sejarah politiknya sendiri. Sengketa politik Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada di hadapan kita saat ini.
Pada 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan de facto pada 1945 – seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia pada 1928. Belanda mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat itu West New Guinea) pada Indonesia.[23] Hasilnya “integrasi” Papua ke Indonesia, di bawah todongan senjata, melalui apa yang dianggap sebagai jajak pendapat rakyat (Pepera) 1969, hanya diikuti sekitar 1024 orang Papua dewasa dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.
Kita ingat dua tahun sebelum Pepera, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia, peristiwa ini dapat terjadi setelah Suharto Orde Baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum?
Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya ditemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah pemain-pemainnya, sementara di saat yang sama wilayah-wilayah lain Indonesia juga menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara itu juga.
Pepera adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua. Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.[24] Di antara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam latar semacam itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber alam Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62 persen tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72 persen telah mengalami deforestasi – terbesar dari semua wilayah.
Grasberg milik PT FI adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporan tahun 2010, keuntungan yang didapat PT FI sebesar Rp. 4000 trilyun. Terakhir eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 milyar USD.[25] Sementara gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg pada tahun produksi 2013 ditargetkan naik 39,2 persen menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5 persen menjadi 1,1 milyar pound dibanding sebelumnya 694 juta pound. Apakah artinya penjelasan seperti ini?
Berbicara tentang Freeport, bahkan juga tentang seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam roadmap MP3EI, tak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, setting sosial budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi-keuntungan demi pertumbuhan ekonomi belaka. Jelaslah bahwa sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, dan kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orde Baru. Di tahun 1990an di sekitar area tersebut populasinya  membludak menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat Timika menjadi “zona ekonomi” yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara.[26] Satu persen royalti untuk masyarakat asli Papua yang diberikan PT FI pada kenyataannya hanya kembang gula yang tidak jelas juntrungnya, dan pada prakteknya justru ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHOPFlm6M2Z71qojw4wtIGMLzwoqXuEqUXk9LQs666eAmgl4wwIj2uTECAwTgcJwoO5mdLc3PijjpdUEADdDREPYg3zJy_Hszwb4aaT5XwI1jbVdwLtrWZ2ihQk27PYvuNV-UA_UtCWOP5/s1600/tentara.jpg

Elit yang (di)Rusak
Otonomi khusus dan pemekaran adalah penyumbang besar hancurnya mental para elit politik Papua, disamping fondasi untuk tumbuh menjadi elit politik modern pun tak pernah bisa berkembang di masa Orde Baru akibat persaingan dengan orang-orang yang didatangkan (Amber atau pendatang). Dana-dana otonomi khusus yang dikorupsi oleh para elit diberbagai jajaran birokrasi, pertarungan primordial para calon kepala daerah dan pendukungnya menjelang dan ketika pilkada berlangsung, gaya hidup pesta dan seks, adalah citra yang diketahui umum dan semakin biasa dikalangan para elite yang malas tau dan lebih suka bersantai di kota-kota, apalagi ke Jakarta.
Padahal UU Otsus sebetulnya juga dapat memberi jembatan bagi elit-elit asli Papua untuk berkonsolidasi karena kebijakan afirmatif yang mengijinkan pengutamaan orang Papua di birokrasi pemerintah. Namun, terdapat masalah karena proses Papuanisasi yang cepat sejak 1998 tidak menyediakan persiapan untuk masa transisi.  Akibatnya penerimaan pegawai, dan pengambilalihan jabatan, sebagiannya mengabaikan aturan kepegawaian, jenjang karir dan golongan, terutama kompetensi.[27] Disinilah cikal bakal keterpisahan yang semakin dalam antara para elit dan mayoritas orang Papua (rakyat kebanyakan).
Persoalan menjadi bertambah runyam oleh percepatan pemekaran yang diinstruksikan oleh Presiden Megawati lewat dekrit pada 23 Januari 2003, yang mengabaikan mandat UU Otsus tentang syarat pemekaran mesti melalui pertimbangan MRP dan persetujuan DPRP, membentuk dua Propinsi baru (Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah), tiga kabupaten baru (Paniai, Mimika, dan Puncak Jaya), dan satu kotamadya (Sorong). Dan ternyata, gagasan ini bukan barang baru, karena di tahun 1999 gubernur (Freddy Numberi) dan tiga wakil gubernur Papua waktu itu (John Djopari, Herman Monim, Abraham Atururi) sudah mengusulkannya, dan mereka dijanjikan akan menjadi gubernur di masing-masing calon propinsi pemekaran. Tapi janji itu tak ditepati yang membuat beberapa diantara mereka frustasi.[28]
Motif pemekaran selanjutnya, menurut International Crisis Group, adalah misi Badan Intelejen Negara (BIN) yang didorong oleh orang Papua sendiri, Jimie Ijie. Ia mengatakan Papua yang secara administratif tidak dipisah-pisah akan memupuk nasionalisme Papua. Ia bersama 315 orang Papua kemudian mendukung Ataruri merundingkan masalah tersebut dengan BIN dan Departemen Dalam Negeri. Selain itu, bagi militer negara, pembentukan propinsi dan kabupaten baru akan mensyaratkan peningkatan jumlah pasukan, korem, juga kodim.[29]
Pemekaran kemudian menyuburkan politik elit primordial yang berdampak adu domba antar rakyat. Bagi sebagian elite Papua, Otsus dan pemekaran diinterpretasikan sebagai keleluasaan untuk menentukan nasib sendiri atas dasar sentimen etnis. Partai politik nasional hanya kendaraan taktis saja, walaupun tidak bisa melepaskan dari kepentingan strategis partai-partai nasional tersebut. Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati di Papua harus berasal dari warga keturunan Papua asli membuat putra-putra daerah tampil mau menjadi pemimpin, baik sebagai bupati, legislatif, maupun kepala-kepala dinas. Mobilisasi massa yang dilakukan oleh elite lokal sering terjadi dengan menggunakan politik etnosentrisme.[30]
Muridan Widjojo, dalam satu percakapan pribadi tertulis, mengatakan bahwa elit Papua berada pada tahap obsesi kekuasaan tradisional kepala suku, dan konstituen primodialnya yang dimainkan dalam arena demokrasi. Hasilnya, bupati berperilaku bukan sebagai pejabat negara yang demokratis tetapi sebagai kepala suku yang menguras sumber daya negara (kab/kota/provinsi) untuk menjaga loyalitas konstituen primordialnya. Anggaran negara dilihat sebagai sumber keuangan yang tiada habis, seperti alam Papua yang menyediakan sagu dan binatang buruan tiada habisnya.
Lukas Enembe, Gubernur terpilih Propinsi Papua, dari Partai Demokrat, adalah contoh paling gres dari oportunisme. Ia dan jajarannya mengajukan Otonomi Plus (Mei 2013), yang tidak berbasiskan evaluasi apapuan terhadap Otonomi Khusus maupuan UP4B. Proposal yang paling mengemuka adalah prosentase pengelolaan dana yang lebih besar bagi daerah, tanpa punya kesimpulan kemana saja trilyunan dana otonomi khusus selama ini mengalir, serta janji grasi bagi para Tapol—padahal sudah pernah diiming-imingi SBY bertahun-tahun lalu, namun sudah ditolak oleh para Tapol—yang sampai saat ini belum satu suarapun keluar dari pihak pemerintah. Di saat yang sama, banyak orang-orang Papua yang juga mempercayai Enembe karena ia pandai memainkan sentimen dan harapan orang Papua terhadap kemerdekaan. Begitu ia dilantik ia mengatakan ‘tidak perlu ada dialog, karena saya ada hubungan telepon langsung dengan kelompok TPN/OPM.’ Ia juga mengatakan, dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 1945 ‘SBY punya hadiah khusus.’[31]
Momen-momen ini telah dan sedang mencipatakan kekecewaan mendalam rakyat Papua sekaligus ketidakpercayaan yang memang sudah tersebar luas terhadap orang-orang Papua (khususnya para legislator) yang masuk jalur formal dan terkena ‘virus Indonesia.’[32] Disinilah peran penting elemen-elemen pemuda-mahasiswa progresif yang tumbuh seiring, maupun pasca, Papuan Spring (momen ketika tim 100 mendatangai Habibie hingga Kongres II Rakyat Papua tahun 2000). Elemen-elemen muda ini tidak terkait atau sedang membuat jarak dengan para elit yang terkena ‘virus (elit) Indonesia’ itu. Sebagain dari mereka besar bersama dan mendapat insipirasi dari perjuangan teman-teman Indonesia mereka dan teman-teman di luar negeri.  Mereka bekerja untuk menegakkan HAM, hak-hak lingkungan, masyarakat adat, dan juga penentuan nasib sendiri.
Namun demikian, terobosan politik dan hegemoni politik masih dipegang oleh para elit Papua korup yang dipelihara oleh elit Indonesia yang tak kalah korupnya.
NKRI belum final, bukan harga-mati!
Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengancaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas lokal, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini – termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan –merupakan produk dari operasi pertambangan PT Freeport. Dan kejahatan lainnya – seperti kekerasan – adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Saat ini tak satupun data bisa dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang pasti tentara organik dan non organik bertambah, pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah,[33] orang-orang yang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 30 orang ditangkap dan dibui sebagai tahanan politik.[34] Hingga saat ini, 22 orang sudah ditahan atas tuduhan makar, 3 orang dibebaskan, dan 7 lainnya belum diketahui statusnya.[35] Reformasi yang sudah berlangsung 15 tahun di Indonesia, sama sekali tidak berlaku di Papua.
Dari berbagai fakta ini, tidak ada kerugian sebetulnya jika kita mengakui bahwa NKRI sama sekali belum selesai. Lima puluh tahun Papua bersama Indonesia, yang sudah mengorbankan ratusan ribu nyawa, bahkan beberapa suku/marga yang dimusnahkan karena terkait Organisasi Papua Merdeka,[36] stigmatisasi separatis pada semua yang melawan pemerintah Jakarta, tidak juga bisa menghentikan suara-suara yang menuntut penentuan nasib sendiri. Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang turut menjadi bagian tim penyusunan Road Map Papua, pun sudah mengakuinya: NKRI belum final ditinjau dari kompleksitas masalah Papua.[37]
Dari sudut pandang perjuangan demokrasi Indonesia, turunnya Soeharto sekaligus juga bermakna menilai kembali ke-Indonesiaan kita yang sejak 1965-1966 hingga 1998 dipelihara melalui rasa takut, anti perbedaan, anti-ideologi, militerisme, anti separatisme, bahkan anti-politik. Papua adalah bintang kejora di ujung Timur yang justru akan mengubah perspektif kita atas bangsa Indonesia yang kita kenal melalui versi Orde Baru. Memperjuangkan masa depan Papua menghendaki keadilan dalam melihat sejarah, menyingkirkan prasangka-prasangka ras yang mungkin dihidupkan dalam pikiran kita. Dan satu gerakan solidaritas dari orang-orang Indonesia yang mencintai kemanusiaan Papua adalah langkah penting untuk memulai proses itu. Pembangunan gerakan Solidaritas Aceh-Papua di masa 2003-2004[38] adalah sebuah contoh yang baik, yang semestinya dapat dilakukan lagi.
Namun kesulitan utama yang sedang menghadang saat ini adalah kembalinya militerisme ke atas panggung politik Indonesia. Semakin meredupnya solusi dialog Jakarta-Papua dalam kerangka Papua damai yang diusung Jaringan Damai Papua (JDP) adalah konsekuensi dari ketidakberdayaan semua elite sipil Indonesia era reformasi terhadap politik militer, termasuk sebagian aktivis mahasiswa 1998, sehingga bangkitnya kembali para Jenderal Orde Baru. *** (Zely Ariane, koordinator National Papua Solidarity (NAPAS) dan anggota Politik Rakyat)
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Politik Rakyat. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Kepustakaan:
Al Rahab, Amiruddin (2000), Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme (Jakarta: Komunitas Bambu).
Haluk, Markus (2013), Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Papua (Jayapura, Papua: Honai Centre dan Penerbit Deiyai).
Widjojo, Muridan (2009), Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (Jakarta: YOI, LIPI, Tifa Foundation).
Yoman, Socratez Sofyan (2011), West Papua: Persoalan Internasional (Numbay/Jayapura: Cendrawasih Press).
_________
[1] ‘…Di Timor-Timur, rakyat Maubere tidak pernah berhenti melawan peyerbuan militer dan penjajahan oleh rezim Orde Baru; rakyat Aceh dan Papua Barat menuntut hak penentuan nasib sendiri.’ Pembukaan Manifesto Partai Rakyat Demokratik, paragraf 7: http://www.prd.or.id/organisasi/dokumen-sejarah-prd/20110513/manifesto-partai-rakyat-demokratik-lama.html diakses 26 Mei 2013.
[2] Gus Dur Bapak Demokrasi Papua: http://www.jpnn.com/berita.detail-57061, diakses 27 Mei 2013.
[3] ‘The root of the problem in Papua is trust. Jakarta clearly distrusts Papua, and vice versa,’ Frans Maniagasi, intelektual Papua dari Pokja Papua: http://lists.topica.com/lists/indonesia-act@igc.topica.com/read/message.html?mid=810266059&sort=d&start=22621/
[5] Sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan administrasi  wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) tersebut antara lain: Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab administrasi seluruhnya,” bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV); selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan ‘intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan’ (Pasal XV); di akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB, diselenggarakan the act of free choice bagi rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan Indonesia (Pasal XVIII); Indonesia ‘akan menghormati komitmen tersebut’ (Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua, termasuk hak-hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul dan melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).
[7] 4 Pelanggaran HAM di Kongres Rakyat Papua III: http://news.detik.com/read/2011/11/04/125200/1760261/10/4-pelanggaran-ham-di-kongres-rakyat-papua-iii diakses 28 Mei 2013.
[8] Total dana Otsus menurut laporan Forum Kerjasama LSM Papua hingga tahun 2010 berkisar 18,81 trilyun. Tentang total dana Otsus ditambahkan dana bantuan infrastruktur sejak tahun 2011, lihat di: http://suaraperempuanpapua.org/index.php?option=com_content&view=article&id=967:dana-otsus-harus-dipisahkan-dalam-apbd-papua-&catid=27:berita-hari-ini&Itemid=60 dan http://nasional.kompas.com/read/2011/10/28/13333787/Dana.Otsus.Papua.2012.Naik
[10] Dikutip dari Jim Elmslie, ‘West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?’ http://sydney.edu.au/arts/peace_conflict/docs/working_papers/West_Papuan Demographics_in_2010_Census.pdf  (diakses 28 Mei 2013).
[13] Laporan koresponden NAPAS di Kwor, Kab. Tambrauw.
[14] Laporan kunjungan Pastoral di Stasi Samenage Paroki Hepuba Keuskupan Jayapura, Maret 2013.
[15] Dokumentasi dan Laporan koresponden NAPAS.
[18] Lihat Siti Maemunal, ‘MP3EI dan Keselamatan Rakyat,’ http://indoprogress.com/mp3ei-dan-keselamatan-rakyat/
[19] Sebuah studi panjang dari sosiolog dan pemerhati ekonomi politik Amerika Latin terkemuka James Petras, terhadap manfaat investasi asing di negara-negara Amerika Latin, menunjukkan hal sebaliknya. Dalam studinya, Six Myths About the Benefits of Foreign Investment
The Pretensions of Neoliberalism (2006), Petras merangkum temuannya itu sebagai berikut: (1) mitos bahwa investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas  pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi ‘know-how’ lokal yang baru; (2) mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/pelayanan); (3) mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor; (4) mitos bahwa pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-barang finansial di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan; (5) mitos bahwa sebagian besar negara-negara Dunia Ketia tergantung pada investasi asing untuk menyediakan kebutuhan modal  bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi; (6) para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih banyak lagi, yang selanjutnya menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan. Fakta-fakta di Amerika Latin mengkonfirmasi mitos-mitos tersebut. Lihat: http://indoprogress.com/enam-mitos-keuntungan-investasi-asing/ dan http://monthlyreview.org/2006/04/01/neoliberalism-myths-and-reality
[20] MP3EI dan UP4B Strategis Atasi Persoalan Papua: http://www.jurnas.com/halaman/4/2011-11-10/188516
[22] Timmer, Jaap, Desentrasilasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua, 2007, hal: 603.
[23] NAPAS Mengecam Pelarangan Peringatan 50 Tahun pemindahan administrasi West Papua Guinea dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963: http://infonapas.blogspot.com/2013/04/1-mei-biarkan-rakyat-papua-berekspresi.html.
[25] Keuntungan Freeport  Rp. 4000 Trilyun, negara dapat 1%nya: http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=4975
[27] Papua Road Map, hal 62-63
[28] Timmer, Jaap, op/cit., hal: 606.
[29] Timmer, Jaap, Ibid., 607.
[30] Lefaan, Avelinus, Etnosentrisme dan dan Politik Representasi di Era Otonomi Khusus Papua, Ringkasan Disertasi Program Studi Kajian Budaya dan Media, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2012.
[32] Timmer, Jaap, op.cit., hal: 607.
[34] Laporan koresponden NAPAS, 30 April – 22 Mei 2013.
[35] Killings, injuries and arrests of peaceful protestors: 1 May Papua commemoration: http://tapol.org/sites/default/files/TAPOL%20Briefing%2016%20May%202013.pdf
[36] Laporan internal koresponden NAPAS.
[37] Buletin Satu Papua edisi I, diterbitkan oleh National Papua Soldidarity (NAPAS): https://docs.google.com/file/d/0Bx_VPR19e4LwbTFnNGd0U2hCZEk/edit
[38] Aksi pertama Solidaritas Aceh Papua (SAP) di Jakarta, 8 November 2003: http://www.geocities.ws/achehnews/acheh_papua.html

=====================================
Sumberhttp://indoprogress.com/
Share Button
 
Media Merdeka : KNPB NEWS | AMP Jogja | NRPB
Copyright © 2011. YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
© Copyright 2014 Papua Merdeka
Proudly powered by Blogger